Taruhan pertama

2016 Words
Catatan: Glosarium/Footnote ada di bagian akhir cerita. Tulisan bold sekaligus italic menandakan kata tersebut ada di Glosarium/Footnote. Contohnya: Player International Business Institute (IBI).. Seluruh himpunan mahasiswa bubar, sesaat setelah upacara penyambutan mahasiswa baru telah usai. Aku menghela nafas lega, pidato sambutanku tadi tidak berujung petaka. Sesaat, kami digiring ke kelas masing-masing, hendak diperkenalkan situasi sekolah oleh kakak angkatan. Tatapanku bergulir ke kiri, ke arah gadis berbondu merah. Tak kuduga, ternyata kami memang sekelas. Walcott, wakil ketua BEM itu meruncingkan tatapannya padaku, "Galih, majulah. Lalu pilih satu perempuan yang akan mendampingimu." "Emm, mendampingiku?" potongku sontak kebingungan. "Ya, kalian akan bernyanyi 'mars pelajar' di depan panggung saat upacara penutupan berlangsung." ungkap Walcott menggemparkanku. Aku bangkit dari kursiku, bergulir ke depan kelas. Mataku melacak seisi ruangan, mencari satu wanita yang pantas bersanding denganku. Entah mengapa, hati ini malah menunjuk gadis berbondu merah. "Lama sekali memilihnya!" suara samar melayang dari barisan belakang. Aku hampiri gadis berbondu merah itu. Kutarik tangannya, mendesaknya untuk ikut berdiri di hadapan kelas. Hatiku berdegup, terlalu gugup saat kugenggam tangannya. "Siapa namamu?" tanya Walcott pada gadis di sampingku. "Kellyn Staling." balas gadis itu. Walcott bangkit dari bangkunya, tangannya serahkan masing-masing kertas untuk kami berdua. Kutatap lembaran itu, kertas yang memuat nada-nada ceria mars pelajar. Sungguh, aku tak tahu cara menyanyikannya. Ini lagu pelajar amerika, aku tak terbiasa dengan lagu ini. "Ikuti saja suaraku." bisik Kellyn padaku. Sepertinya parasku yang gelagapan dapat dengan mudah ia baca. Benar sekali, aku butuh pertolonganmu Kellyn. Aku pun mulai bernyanyi, ikuti suara Kellyn yang memandu iringan lagu ini. Perlahan, suaraku mampu mendekap suara merdu miliknya. Secara tak sengaja, bola mataku menangkap wajah Joseph beraut geram. Mungkinkah ia cemburu denganku? Atau ia takut jika taruhan ini aku yang memenangkannya? Lebih tepatnya bila aku memenangkan hati gadis di sebelahku. Waktu bergulir singkat, aku dan Kellyn kini tengah berdiri di atas panggung. Sedang dendangkan lagu kebanggaan kami. Bunyi riuh tepuk tangan mengakhiri pertunjukan ini. Sekejap, kami berdua turun dari panggung saat upacara penutupan telah berakhir. "Maaf telah membawamu ke atas panggung. Tapi, terimakasih atas bantuannya.." sambarku agak kikuk, hentikan langkah Kellyn yang berjalan di depan. Saat menoleh, tatapan manisnya berlabuh pada wajahku. Layaknya model iklan shampo, kemilau rambut panjangnya tergerai jatuh, menari-nari, berdansa bersama sepoi belaian angin. Sungguh, hatiku kian bergetar gugup melihatnya. "Kenalkan, namaku Kellyn." Ia berikan salam tangan kepadaku. Sebelum sempat berjabatan dengannya, mendadak segurat tangan menyambar jemari Kellyn. "Kenalkan, namaku Joseph. Kita akan sekelas nantinya." sapa pria yang baru datang, membuat hatiku merasa dongkol dibuatnya. Seorang pemuda oriental merapat pada kami bertiga. Wajahnya amat putih mulus, seperti kebanyakan anggota boy band. Tampilannya juga sangat modis, layaknya seorang artis saja. Kami pun saling berkenalan, mulai rekatkan ikatan tali persahabatan. Bermula disini, di depan aula sekolah, kami berempat saling bertutur sapa. Ada aku, Kellyn, Joseph dan juga Park Nam, pemuda Korea yang ikut bergabung dalam lingkaran kecil kami. *** "Setiap ada masalah, aku selalu pergi ke tempat ini." beber Joseph sembari melirik ke bawah, ke arah makam kakaknya. "Apa kau ada masalah?" Wajahnya menoleh padaku, "Ya, aku harus jadi bidak pemenang. Tapi aku tidak yakin akan memenangkan kehidupanku sendiri." tuturnya bermajas. Bunga-bunga itu ia tabur, tergerai di atas rerumputan makam. Ia tatap satu nisan mencuat, tangannya mengusap lirih batu ukir tersebut. Stephanie Hall, nama itulah yang terukir abadi di atas batu marmer tersebut. Setelah berdoa, tangan Joseph bersimpuh di bahu kiriku. "Semoga ia tenang di alam sana, dan aku tidak boleh gagal seperti dia." "Maaf, tapi mengapa ia gagal?" tanyaku tidak mengerti. "Dia adalah bidak yang gagal bermain monopoli, kekalahan adalah hal yang pantas. Tapii kematian... bukanlah jalan terbaik untuknya." papar Joseph sambil menata bunga-bunga di depannya, semakin membuatku bingung saja. Kami berdua bangkit berdiri, hendak beranjak dari tempat ini. Satu jam kemudian, kami tapakan kaki di depan bangunan besar. Sebuah gedung menjulang, yang di atasnya terpampang besar tulisan 'Hall Smart Home'. Jiwaku berdecak sesaat, Hall? Pasti, perusahaan ini adalah milik Tuan Taylor. Hall Smart Home, adalah perusahaan pembangun 'perumahan cerdas'. Bila perumahan lain dibangun dengan konsep biasa, perumahan yang didirikan perusahaan ini menggunakan teknologi modern. Dimana pemilik rumah dapat mengatur semua bagian rumah menggunakan sistem yang terintegrasi ke smartphone. Mau nyalain AC, buka pintu gerbang, kocorin air, semua itu dilakukan hanya dengan mengetuk sebuah aplikasi ponsel. Joseph dan aku masuk, sembari kuamati pesona keramik kaca yang menerjang kaku tembok bangunan. Semua pegawai tampak sibuk, saat kami lintasi sebuah lorong besar yang berperan sebagai jalan utama. Paras Joseph melongok padaku, "Cepatlah, presdir sudah menunggumu!" Sorot matanya menunjuk sebuah ruangan, tempat itu adalah ruang kerja Tuan Taylor. Sesaat melangkah, aku pun beringsut memasuki ruangan itu. Aku duduk, posisiku dan Tuan Taylor saling berhadap-hadapan. Pria itu mulai angkat bicara, memperkenalkan kondisi serta pandangan masa depan perusahaan ini. Ia raih sebuah map di sudut meja. Jemarinya membuka lembaran dokumen secara kilat. Sibakannya berhenti tepat di halaman lembar terakhir. Dokumen itu berisi sebuah kontrak pekerjaan antara aku dan perusahaan ini. "Jangan terburu-buru, kau bisa kapan saja menandatangani kontrak ini. Karena jika sudah terlibat, kau tidak akan pernah bisa lepas dari ini." p***s Tuan Taylor memberi arahan. Kualihkan pandanganku pada map itu. Tanpa berpikir panjang, lesat kutanda tangani kontrak itu tanpa keraguan sedikitpun. Aku yakin, bergabung dengan Hall Corporation adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku. Joseph menghampiriku, ketika aku baru saja keluar dari mulut ruangan."Jadi, kau akan bekerja sebagai apa?" tanyanya penasaran. "Oh, aku akan bekerja di keadministrasian." "Maaf, andai saja aku punya kekuasaan. Aku akan membantumu untuk dapatkan posisi yang lebih baik. Bahkan ayahku saja tidak mempunyai kekuasaan tertinggi seperti itu" sesal Joseph agak kecewa. "Tak masalah, memang kau bekerja sebagai apa?" Wajahnya terpapar raut kusut. "Aku hanya kepala gudang. Tidak lebih." Aku dan Joseph kembali melangkah, ia mengantarku menuju satu titik dimana aku ditempatkan bekerja. Sambil berjalan, perkataannya tadi sungguh mengundang kecurigaan. Setelah mendengar seiris ucapannya. Kini aku yakin, ada percikan masalah antara dia dan perusahaan ini. Dan yang lebih aneh lagi, ayahnya saja tidak mempunyai kekuasaan tertinggi seperti itu. Lalu, siapa pula yang mempunyai kekuasaan itu? Bukankah perusahaan ini adalah milik keluarga Hall? Bahkan terpampang nyata di depan gedung, bahwa nama besar perusahaan ini dilabeli dengan nama Hall, bukan nama yang lain. Sesampainya di ruang kerjaku, Joseph mulai menarik langkahnya keluar, hendak kembali ke singgasana kerjanya. Seorang wanita menepi padaku, saat aku sedang sibuk-sibuknya membenahi meja kerjaku ini. "Hai, aku Lin. Kudengar kau juga satu kampus denganku." sapanya singkat, buatku terdiam untuk beberapa saat. Kualihkan pandanganku cepat padanya. Ia masih muda, kulitnya bersih, dan terpancar raut oriental yang kuasai semesta wajahnya. Namun, pijaran mata manisnya itu sedikit tertutupi kaca mata besar bulat miliknya. Tak seperti kebanyakan orang oriental yang bermata sipit. Ia dianugerahi mata besar merona. Lucu, sangat menggemaskan. Setelah hanyut dalam arus perbincangan, sosoknya pun mulai dapat tergambar olehku. Wanita ini, Lin Xia, adalah kekak kelasku, empat semester lebih dulu dariku. Ia berasal dari China, dan ia juga telah membuka toko roti yang sekaligus menjadi rumah baginya. "Aku magang disini hanya tiga bulan. Jadi, kita harus bekerja sama dengan baik." Sepasang mata mengilap Lin melirikku malu. Warna wajahnya merah padam setiap kubalas perkataannya. Mengapa ia seperti itu? Selalu kikuk ketika tatapan matanya berpapasan dengan milikku. Sumpah, aku belum bisa membaca arah pikirannya. Andai saja Kellyn tidak pernah singgah. Mungkin saja kompas hatiku menunjuk dia sebagai 'si incaran hati', seseorang yang jejak degup hatinya selalu aku ikuti. *** Sekerumun besar mahasiswa berkumpul, menatap bentangan panjang mading sekolah. Aku dan Joseph mulai merapat, menelusup masuk melalui celah mahasiswa yang lengang. Tatapanku bergidik kaku, melihat nama Joseph terpajang di posisi kedua dalam nilai tertinggi UTS. Sekali lagi, sorot mataku bergulir ke satu lini di atasnya. Penasaran siapakah orang yang meraih nilai tertinggi itu. Hatiku bergetar, satu nama yang bertahta paling atas ternyata adalah namaku, Galih Santoso. Mendadak dari arah samping, segurat tangan nakal menepuk bahuku, "Selamat sang juara. Sesuai janjiku, karena nilaimu tertinggi maka kuteraktir kau makan!" "Bagaimana denganku? Bukankah aku juga juara?" sambar Joseph tak mau kalah dariku. Kellyn hanya mengangguk, tangannya menyeret kami menuju mobilnya. Ketika keenam kaki ini berjalan beriringan, tiba-tiba seorang pemuda menghentikan laju kami seketika. "Kalian mau kemana? Bolehkah aku ikut?" "Tentu saja boleh, tapi kau bayar sendiri ya." balas Kellyn kepada pemuda berpakaian nyentrik itu, Park Nam. Lain sekarang lain besok. Gaya rambutnya selalu berubah-ubah. Kini rambutnya berwarna cokelat, tidak seperti kemarin yang pirang emas. Hmm, kurasa ia lebih cocok jika menjadi seorang model, bukan pengusaha. "Baiklah, akan kita rayakan kemenangan ini!" sahut Park Nam yang tampaknya sudah tahu bahwa aku dan Joseph meraih nilai tertinggi di kampus. Sekejap, mobil merah yang kami tunggangi menepi di pesisir jalan. Kami berempat turun. Pandanganku berhenti tepat di depan tulisan 'Lin's Bread & Coffee'. Benakku terdiam sejenak, Toko roti Lin? Jangan-jangan toko ini milik wanita yang magang di kantorku, Lin Xia. Diakah itu? Parasku berpaling ke pintu masuk, lesat melihat wanita yang menyambut kedatangan Kellyn. Benar saja, rupanya toko roti ini punya wanita itu. Setelah berjabat tangan dengan teman-temanku, sorot mata Lin mulai melirik ke arahku. Kedua mata kami saling berpapasan. Tampaknya ia sudah tahu bahwa yang ia pandang adalah aku, teman kerjanya. "Oh, kenalkan dia Galih." jelas Kellyn, "Dia memperoleh nilai tertinggi, jadi kau harus siapkan roti terbaik disini." ujarnya lagi pada Lin. Sedangkan Lin hanya membatu saat menatapku. Ia masuk ke dalam tanpa menyapaku terlebih dulu. Ada apa dengannya? Setumpuk rerotian terbentang di atas meja makan. Pesanan itu diantar oleh Lin sendiri, meski ia punya dua orang pekerja. Dengan ganasnya Joseph bidik sebuah roti besar yang bertahta di tengah. Namun sayang, tangan Park Nam terlebih dulu menyambar bungkusan itu. Seperti anak kecil, seringkali Joseph dan Park Nam berebut makanan. Namun kami berdua, Kellyn dan aku, hanya menikmati remehan roti yang dekat dengan jangkauan. Ya, benar, sangat menyedihkan. Semua roti yang menguasai meja perlahan lesap. Lantas Joseph keluarkan sebuah karton dari dalam tasnya. Kellyn dan Park Nam heran, mereka belum mengerti apa yang dilakukan oleh lelaki itu. Aku raih sebuah plastik, membantu Joseph benahi rumah-rumah dan sertifikat. "Masih zaman bermain monopoli seperti itu? Kita kan bisa bermain lewat game virtual?" gumam Park Nam sedikit risih. "Kurasa ini lebih menarik. Ini lebih nyata. Bukankah bisnis dijalankan dalam kehidupan nyata?" sahut Kellyn cepat. Park Nam bergeming, ia kalah bicara dengan wanita yang duduk di sampingnya itu. Agar permainan lebih menarik, kami berempat membuat sebuah kesepakatan. Kami pun menyanggupinya, lalu masing-masing dari kami menulis permintaan pada secarik kertas. Kertas itu dijuluki 'kertas keinginan', sebuah kertas kecil yang digulung, dan akan dibuka setelah permainan berakhir. Bagi yang juara satu maka keinginan itu wajib dikabulkan oleh yang juara terakhir. Dan kesepakatan itu berdasarakan usulan sahabatku, si pemuda monopoli, Joseph Hall. Tak terasa, durasi permainan telah terpacu lama. Park Nam pekikan teriakan bangga setelah memenangkan alur bisnis monopoli. Sesuai janji, ia menyandang predikat juara, dan berhak menerima hadiah tersebut. Bibir Kellyn cemberut basah, sebab ia harus membayar kekalahannya pada Park Nam. Ketika dia sibak kertas keinginan Park Nam, ternyata permintaannya adalah 'Bagi lelaki yang kalah, ia harus menjadi pembantuku. Namun jika wanita yang kalah, ia harus berkencan denganku selama seminggu penuh.' Kellyn tatap lembar bisu kertas gulung itu sekali lagi. Warna wajahnya mulai berganti lusuh. Tangannya bergetar kaku, jemarinya meremas ujung kertas yang ia pegang. Apakah yang sesungguhnya ia pikirkan? Sampai-sampai mengambil keputusan selambat itu. Semoga saja ia menerima permintaan manja dari Park Nam. Karena jika Park Nam dan Kellyn berkencan, maka kesempatan Joseph untuk dapatkan hati Kellyn akan semakin kecil. Dan pada akhirnya, akulah yang akan memenangkan taruhan itu, kesepakatan antara aku dan Joseph pada masa orientasi berlangsung. Sorot mata Kellyn kembali sambangi paras Park Nam. Ia tidak punya alasan untuk menolak keinginan pemuda tersebut. "Baik, kita akan berkencan." tegasnya gegerkan kami semua. Kuberpaling pada Joseph, rautnya mencair ketika mendengar jawaban itu. Ia seperti pion yang salah langkah. Andai saja Joseph tidak mencetuskan kesepakatan itu, atau juga jika ia yang memenangkan permainan ini, mungkin saja arah kemenangan akan berpihak padanya. Secara tak sengaja, sorot mataku menangkap seseorang dari kejauhan. Dari arah meja kasir. Ia tengah membacaku, mengamati setiap lekuk garis wajahku. Tatapannya mulai goyah, ia palingkan mukanya saat kubalas sorot matanya. Lin, mengapa ia melihatku seperti itu? Mungkinkah ada yang salah denganku? Namun sekali lagi, aku belum mampu menyelami dasar pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD