Episode 2

1118 Words
Setelah kejadian itu, perasaanku bahkan tidak enak hingga aku pulang ke tempat kostan. Meskipun Teresia dan Bunga mencoba menenangkanku baik secara langsung maupun secara tidak langsung lewat komunikasi jarak jauh. Mereka juga berjanji bahwa kejadian itu tidak akan sampai ke telinga owner kafe, jika aku tidak menginginkanya. Namun tetap saja, aku merasa malu dan kesal. Hingga terus terbayang-bayang... Aku sudah dengan percaya diri ramah dan riang menyapa pelanggan itu, mencoba akrab meskipun sifatnya tetap cuek. Tetapi nasib tidak mengenakan justru datang menghampiri. Bukannya membuat pelayanan terbaik, malah membuatnya marah. Sungguh sangat tidak mengenakan. Apa kau bisa menggambarkan perasaanku? Seharian aku terus membayanginya. Ekspresi wajah Teresia dan Bung yang kaget, raut dingin pria itu yang tersiram kopi, cairan yang meluncur menyiram wajahnya, lalu ekspresi kacau-ku saat itu... Aaarrrrgghhh! Rasanya menyebalkan sekali. *** Dan aku masih memikirkannya hingga tiga hari ke depan. Rupanya kejadian itu begitu membekas di hatiku. Sampai-sampai aku sulit melupakannya. "Udah gak apa-apa, Ri. Lagian, orangnya udah gak ada," begitu nasihat Bunga. Tapi, aku mengutarakan kecemasanku, "Bukan gitu. Aku cuma takut kejadiannya terulang lagi," "Gak akan Ri, orang itu cuma pelanggan biasa. Jadi, gak akan datang sering buat bikin kamu gugup," Lalu Teresia berkata secara tiba-tiba, "Tuh, datang lagi," sambil menatap ke arah pintu. Sontak saja, aku dan Bunga ikut menoleh. Benar, di depan sana tampak seorang pria muda menggeser pintu kaca hingga berderit pelan. Dia membawa ransel besar di pundaknya, lalu duduk di kursi dekat pintu. Melihatnya, sesuatu melintas di pikiranku. "Kok aku ngerasa kayak Dejavu lihatnya? Apa cuma perasaanku?" Bunga berkomentar. Teresia pun mengangguk setuju. Aku juga setuju, tapi aku diam tidak menjawab apapun. Malah sibuk dengan keterkejutanku. Dan tanpa sadar, aku kehilangan keseimbangan. Teresia menopang tubuhku dengan sigap. "Istirahat dulu, Ri. Duduk sini," Teresia membimbingku duduk di kursi kasir. Aku dan dia mendengar percakapan Bunga dengan si pria itu. "Halo mas, selamat datang lagi ya!" Dia menyapa dengan riang. Dan malah dijawab, "Memang kenapa? Gak boleh datang lagi ya?" Lagi-lagi tanpa menatap, hanya terus berfokus pada layar monitor di depannya. Lalu setelah percakapan kikuk itu, Bunga kembali ke area kami untuk membuatkan pesanan si pria cuek. Sudah kubilang, orang itu cuek. Titik. Dan tebakanku benar. Kepalaku serasa berputar. Apa ini karena efek terlalu banyak pikiran beberapa hari, ya? Aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah, agar lebih segar. Tetapi rasanya tidak lebih baik. Malah makin berdenyut. Aku segera keluar dari toilet. Dan ketika membuka pintu, ada seseorang yang telah mengantri. Si pria cuek. Pandangan kami bertemu. Aku tersenyum tipis padanya tanpa rasa kaget seperti sebelumnya, lalu menunduk hendak cepat-cepat pergi. Ketika tiba-tiba pandanganku menggelap begitu saja dan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Perlahan, kubuka mataku. Ruangan sejuk dengan d******i warna putih langsung tertangkap samar oleh penglihatanku. Bau obat. Ini rumah sakit? Atau klinik? Aku beringsut untuk duduk. Mencoba memulihkan ingatanku. Oh...ya, aku ingat. Sepertinya aku terjatuh di dekat toilet. Kuraba wajahku. Kacamata? Benda itu ada di meja ketika aku menoleh ke kiri. Dan segera kupakai. Sedetik kemudian, terdengar ketukan pintu. Tiga orang masuk. Bunga, seorang perawat wanita? Dan... Hah? Apa aku tidak salah lihat? Si cowok cuek itu? Perawat mendekat, untuk memeriksa kondisiku. Sementara Bunga tersenyum. Ada raut lega di wajahnya. Mungkin karena melihatku yang sudah siuman. Dan untuk orang yang ketiga, maksudku pria itu, aku hanya meliriknya sekilas, karena ada rasa canggung. Kurang nyaman rasanya jika aku bersitatap dengannya terlalu lama. Setelah memastikan kondisiku, perawat itu pamit dari ruangan. Dan Bunga mulai membuka percakapan. "Ri, tadi kamu pingsan pas ke toilet. Dan, mas...Andre ya?" Bunga menoleh sejenak pada pria itu, langsung dijawab, "Jangan pakai mas lah, pakai nama aja," "Ah iya. Dan kamu ditolong Andre, terus kita bawa kamu ke klinik ini. Aku sampai ngancam dia lho, karena curiga kamu diapa-apain sama dia." Bunga terkekeh di akhir cerita. Sementara pria yang ternyata bernama Andre itu hanya diam, menatap ke arah lain. Suasana hening lagi. Kami saling berdiam beberapa detik. Lalu aku segera mencairkan suasana. "Kalau begitu, terima kasih ya. Bunga, mas-eh, Andre," Kami segera keluar dari klinik itu. "Kamu langsung pulang aja ke kost ya? Gak usah balik lagi ke kafe. Besok kalau mau istirahat, tinggal kabarin ke bu bos atau pak bos," Kami masih bertiga ketika sudah berada di pintu depan klinik. Dan tubuhku masih terasa lemas. Usul Bunga memang tepat, apalagi dia mengatakan kalau wajahku pucat. "Mau naik apa? Taksi?" Bunga masih menawariku usulan. "Naik..." "Mau saya antar?" Tiba-tiba Andre yang sedari tadi diam, sekarang menawarkan diri. Bunga terlihat girang sekali mendengar ucapan Andre. Sepertinya tawaran itu sudah ditunggu sejak tadi olehnya. "Nah, bagus! Yah, tolong dianter ya!" "Oke." Gadis itu segera pamit setelah menitipkanku pada pria asing itu. Bahkan ada nada mengancam dari perkataannya. Mengancam jika Andre melakukan macam-macam padaku. Dan tanggapan Andre santai saja. Aku mulai terbiasa menyebut namanya meskipun baru tahu beberapa jam yang lalu. Tinggallah aku pulang bersama orang yang baru kukenal. Andre mengantarku pulang dengan mobil miliknya. Kami saling diam selama di perjalanan, tanpa mengobrol, kecuali sesekali membicarakan arah jalan menuju kostan-ku. Aku memperhatikannya sesekali. Orang dingin yang cuek, ternyata mau juga menolong. Kupikir dia adalah orang yang benar-benar tidak peduli tentang orang lain. Apalagi repot-repot menolong. Ternyata, aku salah. Pandangannya fokus ke jalanan yang cukup padat. Ups! Aku segera mengalihkan pandangan sebelum bola matanya melirik ke arahku. Dan dia melirikku sekilas. "Ada apa?" Tanyaku sedikit... "Yang ada apa itu kamu. Dari tadi lihat ke saya terus kan?" Ujarnya, sambil terus fokus menyetir. Sialan. Dia tahu aku berpura-pura. Sebentar. Aku jeda dulu cerita tentang si pembuat patah hati itu. Aku perlu mengisi ulang cangkir kopi yang telah kosong, sebagai energi untuk menguatkanku menceritakan kisah memilukan ini. Kenapa? Apa kau pikir aku bucin ya? Hahaha, Aku tidak peduli. Karena... Aku yakin, setiap orang yang sedang patah hati pasti mengalami sikap bucin. Tunggu. Satu menit saja. Aku segera kembali. 1 2 3 4 5 Oke. Selesai mengisi kopinya. Kita teruskan lagi kisah bucinnya. Dia mengantarku hingga ke depan pintu utama kostan. Membuat beberapa orang yang melihat, jadi memperhatikan lebih lama. "Te-terima kasih, ya, Andre..." Ternyata aku masih terbata juga. Andre hanya mengangguk samar, kemudian berpamitan. Dia tidak bicara banyak lagi, segera pergi. Mungkin selain karena cuek, juga karena kami bukan orang yang sudah akrab. Aku segera masuk ke kamar, merebahkan tubuh yang lumayan letih. Eh, tunggu. Aku tidak boleh tertidur sebelum membersihkan diri. Pantang. Lantas, kuraih handuk dan pergi ke kamar mandi. Ah... Guyuran air yang dingin ke seluruh badan, membuat pikiranku tenang. Segar. Dua puluh menit cukup bagiku untuk membersihkan diri. Jika terlalu lama, bukan sejuk lagi, tapi kedinginan. Rasanya hari ini aku merasa lebih baik. Tidak seperti beberapa hari lalu, yang membuat perasaanku kacau-balau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD