Episode 3

1283 Words
Jadi manusia itu memang serba salah ya? Sepi tidak enak. Ramai tidak enak. Maunya apa? Sekarang tiba-tiba satu minggu penuh tempat kerjaku begitu padat dan ramai. Entah ada apa dengan orang-orang. Padahal kemarin-kemarin sepi. Aku dan dua rekanku sampai hampir kewalahan melayani para pelanggan. Kami juga, jadi berbelanja keperluan kafe tiga kali dalam seminggu. Padahal biasanya seminggu satu kali, maksimal tiga kali. Bersyukurlah. Omset naik, cukup untuk menyenangkan bos. Dan kalau sudah begitu, Kami juga akan dapat bonus. Dan, Traktiran "Mbak kopi moka satu," Suara dingin menghampiri aku yang sedang asyik melihat-lihat menu di jam istirahat. Suara datar yang dingin itu sudah beberapa kali kudengar. Jangan-jangan... "Mbak?" Benar saja. Andre. Sudah cukup lama aku tidak melihatnya datang ke kafe. Setelah dia mengantarku pulang dua minggu yang lalu. Sekarang muncul lagi. Rambutnya sedikit lebih memanjang hingga dahi. Tidak seperti waktu itu. Eh, apa? Kenapa bisa-bisanya aku memperhatikan penampilan orang. "Eh...Andre. Kopi moka saja?" Aku bangkit dari kursi untuk segera ke dapur. Pria itu mengangguk. Dan ketika aku kembali ke meja kasir, Andre sudah duduk di salah satu kursi. Di dekat pintu. Seperti biasa. Aku memangut pelan, dan segera mengantar pesanannya. "Kenapa minta aku yang mengantar? Kan ada temanku?" Ujarku setelah menaruh kopi di mejanya. Sambil mengarahkan wajah pada Teresia yang sedang duduk di depan mesin kasir. "Pembeli adalah raja." Jawab Andre. Dengan nada datar. "Baiklah," aku menyeringai sambil berlalu. Dasar orang cuek. Sekali cuek tetap cuek. Untunglah aku sudah tidak aneh dengan sikap pelanggan yang satu ini. Begitu juga dengan rekan kerjaku. Tapi dia orang baik sih. Di antara kami bertiga, Bunga-lah yang paling berani berbicara banyak padanya. Dan aku terkadang memperhatikan gerak-geriknya. Terkadang dia melamun sejenak, menatap ke jalanan. Kemudian fokus lagi ke laptopnya. Kutebak. Dia pasti semacam penulis. Entah itu, pengarang. Blogger, mungkin. Perilakunya seperti sedang mencari ide. Astaga. Aku terlalu sering memperhatikannya. Karena dia pun hampir setiap hari datang ke tempat kerjaku. Sampai suatu hari aku tidak melihatnya lagi dalam waktu lama. Menghilang. Orang hebat. Pasti banyak urusan. *** Sampai, suatu hari... Aku pergi ke luar kota, mengunjungi saudara sepupuku. Ketika aku mengisi ulang saldo tiket kereta untuk pulang, aku melihat seseorang sedang duduk di tangga stasiun. Tubuh tinggi sekitar seratus tujuh puluhan senti, rambut yang agak ikal dengan hidung bengkok yang khas. Tidak salah lagi. "Andre!" Aku menghampirinya. Dia sedang sibuk dengan ponselnya. Langsung mengangkat wajah. Ternyata benar, itu dia. "Mbak pegawai kafe? Mana seragam kamu?" Sialan. Memangnya aku harus pakai celemek khas seperti di kafe, saat sedang pergi begini? "Aku sedang libur. Kau sedang apa di sini?" "Ngamen." Dia menjawab sembarang. Membuatku tertawa kecil. "Mau pulang ya? Bareng yuk?" Aku menawari. Entah kenapa, rasanya lucu berbicara dengan dia. "Tapi lokasi kita berbeda." Jawabnya dengan alis terangkat. "Tapi tujuan kereta kita sama." Aku sedikit menukas. Dan akhirnya dia setuju juga. Hujan deras turun ketika kami sampai di stasiun tujuan. Dari kereta, aku dan Andre berlarian menyeberang rel, menuju peron. Dingin. Aku enggan jalan dengan basah kuyup. Kupaksa Andre untuk menemaniku menunggu hujan di toko roti yang terletak di area stasiun. Hujan masih sangat deras. Aku tidak mau pulang sekarang. Percuma. Pasti basah kuyup nantinya. Dan lagi aku tidak membawa payung. "Bagus. Sekarang kamu nahan saya di sini," Andre menghela napas dengan raut bosan. Dia juga masih kesal karena kupaksa untuk menunggu di kedai roti bersamaku. "Gak apa kan? Jadi tahanan sementara. Hehe..." Kulahap roti isi daging menu khas tempat ini. Namanya Roti Maryam. Bersama secangkir teh hangat. Aneh juga... Aku tidak merasa canggung makan di depan orang yang baru kukenal. "Mas kok gak makan?" Tanyaku. Dia langsung mengomel protes, "Mas teruus! Berasa lagi di Surabaya." Mataku berbinar. Ternyata dia orang perantauan. "Waah...kamu orang sana ya?" "Bukan. Saya asli orang Tasikmalaya." Ternyata aku salah. Dia sepertinya enggan berkata panjang kali lebar. Dari tadi hanya bicara setengah-setengah terus. Terbersit sesuatu di benakku, melihat gerak-gerik dan ekspresinya wajahnya yang sedikit berbeda. Sambil menyeruput pelan teh milikku, mataku menatapnya santai. Lalu berkata pelan, "Kayak lagi ada masalah?" "Kepo." "Boleh tahu gak?" "Gak." "Ish! Makan ya? Aku bayarin deh!" Seruku dengan riang. Senang sekali melihat wajah masamnya. Dia mendecak. "Gak nyangka ya, kamu bawel." Komentarnya. Aku sedang memanggil pegawai kedai untuk memesan makanan lagi. Untuk Andre tentunya. "Nggak juga kok. Bawel juga kala-" "Kalau apa?" Dia mengangkat alis, protes aku tidak meneruskan kata-kataku. "Kalau tertarik sama orang tersebut!" Rasanya roti itu enak sekali. Sampai-sampai membuatku senang memakannya. Dan kini aku sedang merekahkan tawa ceria sambil mengunyah roti. Tetapi tidak dengan Andre. Dia justru mengerutkan dahi. Sepertinya salah paham dengan ucapanku barusan. "Maksudku, kalau seseorang menurutku menarik, maka aku akan cerewet di depannya. Menarik dan membuat nyaman, paham kan?" Jelasku. Dia pasti paham sekarang. "Hah?" Oh, belum ternyata. "Maksudku dalam komunikasi, jadi nyaman dalam komunikasi! Begitu," Apakah dia akan salah paham? "Cara bicaramu rumit. Saya sudah mengerti." Lega. Syukurlah dia tidak salah paham. "Sudah gak hujan. Ayo pergi," Dia bangkit tepat saat pegawai mengantar pesanan. Itu membuatku kecewa. "Yaah...makanannya gimana?" "Bungkus, boleh kan?" Dia menyeringai. Dan... Apa aku tidak salah lihat? Dia menyunggingkan senyuman tipis padaku. Akhirnya aku melihatnya tersenyum untuk pertama kali, setelah ratusan kali melihat raut datar, sebal, kesal, marah... Tidak kusangka, dia bisa tersenyum juga ternyata. Terkadang, aku berpikir, Bagaimana mungkin aku bisa tertarik pada orang seperti dia? Tipe dingin, cuek, pelit senyum, pelit ucapan... Oh, ya Dasar wanita...kalau hatinya sudah kepincut, pasti...ah sudahlah, jangan dibahas. Semua orang pasti tahu kelakuan wanita yang sedang jatuh cinta. *** Pagi-pagi sekali hujan besar turun. Aku baru akan berangkat bekerja seperti biasa dan sedang menunggu mobil angkot di depan gang. Terpaksa, aku harus berteduh di depan sebuah toko aksesoris ponsel. Bersama orang-orang yang kelihatannya akan berangkat berpergian. Niatku ingin menunggu sampai hujan agak reda pun batal. Karena setelah kulirik jam di tangan, aku bisa kesiangan. Apalagi hujan belum menunjukkan tanda akan reda. Aku merasa bimbang. Kenapa pula aku selalu lupa membawa payung? Satu persatu orang-orang yang juga berteduh dari hujan, mulai memaksakan diri untuk berangkat. Ada yang dijemput ojek online, taksi, atau berlari cepat buru-buru memasuki angkot meskipun basah kuyup. Aku mengeluh. Andai saja hujan ini segera berhenti. Tiba-tiba ada sebuah mobil ford cokelat tua menepi di depannya. Aku kenal mobil siapa ini, mobil yang pernah mengantarku pulang sehabis pingsan... Tidak salah lagi. Satu kaca pinggir mobil itu terbuka, dan pemiliknya memanggil namaku. "Andre?" "Ngapain di situ? Jadi pawang hujan?" Sapaan sembarangan itu meluncur begitu saja dari mulut cueknya. Aku mengabaikannya dan segera berlari ketika pintu depan mobil dibuka. Masuk tanpa ke dalam tanpa diminta pemiliknya. Syukurlah, aku tidak akan kesiangan dan dapat tumpangan gratis hari ini. Andre memacu mobilnya dengan pelan di jalanan lenggang. Aku sibuk me-lap kacamata yang berembun karena air hujan tadi. Lalu memakainya kembali. Celana jeans-ku juga sedikit tidak nyaman dipakai karena agak basah. Aku perhatikan, Andre fokus sekali menyetir sejak tadi, tanpa bicara sedikitpun. "Kenapa?" Dia bertanya saat kesekian kalinya aku melirik padanya. Aku hanya menggeleng saja, sambil melontarkan senyuman. Lalu berkata, "Kamu..." "Udah punya pacar?" Aku mendecak begitu dia memotong ucapanku, sembarangan lagi. "Bukan ish! Kamu kerja di manaaa!" Tukasku. Tak kusangka, dia malah tertawa pelan. "Kepo," hanya itu jawabannya. "Pelit! Udah cuek, datar gak ada ekspresi, pelit ngomong lagi!" Masa bodoh. Kucecar dia dengan kata-kata yang dirasa fakta. Dia hanya menggeleng pelan. "Buset, Neng. Pintar amat ngatain orang? Saya kerja di perpustakaan universitas dekat kafe kamu. Udah kan?" Jadi, dia seorang penjaga perputakaan? Pasti... "Penulis juga ya?" Aku menebak. "Blogger." "Ya semacam penulis juga kan?" Dia tidak menjawab lagi. Dan akhirnya mobil berhenti di depan kafe tempatku bekerja. Aku tidak perlu merasa malu pada rekanku, karena bagi kami Andre sudah dianggap teman. Selain sebagai pelanggan juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD