Episode 4

1609 Words
Tetapi terkadang Bunga dan Teresia iseng meledekku, seperti pagi ini. Ketika aku keluar dari mobil milik Andre. Dia langsung menyambutku di depan pintu, "Asyik dianterin lagiiiii!" Sambil berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil, dasar cewek rese... Aku mengabaikannya, bosan dengan tingkahnya itu. Meski begitu, dia tetap saja bersenandung riang meledek. "Kenapa gak dipacarin aja Ri? Dia kayaknya sudah mulai nyaman sama kamu!" Bunga terus mengoceh saat aku sedang membuat menu pesanan pelanggan. Dia mengutarakan saran-saran yang menurutku agak ngaco. Mana mungkin aku harus mendekati orang seperti Andre...? Cuek, datar, irit bicaranya. Singkat, padat, jelas. Terlalu kaku dia itu. Eh, tapi dia tertawa padaku ketika di mobil? Apa benar dia sekaku yang aku pikirkan? "Ngelamun lagi nih...!" Aduh. Aku melamun lagi tanpa sadar, padahal tanganku sedang memegang mesin pembuat kopi esspreso. Segera kulanjutkan kegiatanku dengan agak sebal karena Bunga berjingkrak kegirangan. Dia berhasil memergoki aku yang sedang melamun tadi. Dan kenapa juga aku terus memikirkan Andre? Hah? Apa?! Hush! Aku berusaha menepis pikiran-pikiran yang berseliweran di kepalaku, agar lebih fokus bekerja. Hari ini pelanggan kafe lumayan ramai. Jadi aku bisa menyibukkan diri dengan bolak-balik melayani pembeli, mengantar pesanan, membuat menu pesanan atau sekadar menyapa mereka. *** Lalu Bunga juga mengerjaiku ketika jam istirahat siang tiba. Bukan mengerjai sih, tapi tugas. Tapi yang menyebalkan itu, tugasnya milik dia, dan malah dibebankan padaku. Dia mendapat pesan dari Andre untuk mengantarkan menu ke perpustakaan Universitas, tempat Andre bekerja. "Kamu saja deh! Aku lagi pegal kaki, Ri! Yaaa, plis..." Sengaja dia rupanya. Jelas-jelas tadi pagi dia berjingkrak girang di depanku, sekarang malah bilang pegal? Alasan klasik cewek itu. Terpaksa aku harus menuruti keinginannya. Daripada mendengar semua rengekan dan kalimat-kalimat pujian yang berlebihan yang dilontarkannya. "Ayolah, Ri. Tolong, kamu kan gak hanya manis, tapi juga teman yang baik hati..." bla bla bla Langsung saja, aku menyeberang jalan raya, sambil menenteng bungkusan kertas berisi makanan pesanan milik Andre. Jarak Universitas memang tidak terlalu jauh, hanya saja, keramaian jalan raya kadang membuatku malas untuk ke sana, karena banyaknya kendaraan dan orang yang berlalu-lalang. Aku bertanya pada seorang Mahasiswi di sana, mengenai arah perpustakaan, karena memang aku belum tahu. Dan beberapa menit kemudian, barulah aku sampai. Perpustakaan itu besar juga ternyata. Aku harus menengok ke sana kemari untuk mencari si pemesan makanan. Nah, ketemu akhirnya. Pria yang memakai kemeja biru lengan pendek itu sedang duduk di depan komputer, dalam ruangan petugas perpustakaan. Terlihat dari balik kaca pembatas. Aku meminta tolong pada orang yang baru saja akan masuk ke ruangan tersebut, untuk mengantarkan pesanan milik Andre. Orang baik itu, dengan senang hati meng-iyakan permintaanku. Kulihat dari balik kaca, Andre hendak meminta tolong juga pada orang tadi. Dia menyodorkan uang, maksudnya untuk membayar pesanan tadi. Namun dia membatalkan niatnya, ketika melihatku. Alhasil, dia menghampiriku secara langsung. Sialan, kenapa tidak dititipkan saja ke orang tadi sih? Aku sedikit...aarrrrggh kenapa aku merasa grogi ketika dia melangkah semakin dekat? Andre muncul dari balik pintu. Dia bicara tanpa basa-basi, "Kok kamu yang ngantar sih?" "Bunga gak mau, katanya lagi pegal. Mungkin sengaja kalian mengerjaiku!" Aku langsung menuduhnya, karena sudah yakin mereka bersekongkol. Andre mengangkat alis. "Kalau ngomong, itu lihat ke orangnya, Neng. Pake fitnah segala, lagi..." Ish, apa dia tidak merasa juga? Dia itu terlalu tinggi dibandingkan denganku yang hanya sebatas bahunya. Apa dia tidak mengerti betapa pegalnya aku harus mendongak tinggi ketika bicara sambil menatapnya? Atau memang aku yang terlihat aneh? "Eh? Mau kemana? Bayar Bang!" Dia malah melangkah ke arah deretan kursi tempat membaca. Lalu mengambil tempat dan mulai memakan pesanan tadi. Aku mengikutinya dan duduk di sampingnya. Menyebalkan, aku harus melakukannya karena dia belum memberikan bayaran untuk makanannya. "Ya makan, lah. Saya lapar tahu," Dia sengaja rupanya, membiarkanku menunggu sambil menontonnya makan. Aku bangkit dari kursi. "Mau kemana, Ri?" Tiba-tiba, aku langsung terbahak mendengar ucapannya barusan. "Kenapa?" Tanyanya, dahinya berkerut melihatku tertawa. "Tumben manggil pakai nama," Dengan santai, aku melihat-lihat koleksi buku yang berjajar rapi di rak yang tingginya hampir menyentuh langit-langit. Daripada menonton Andre makan, lebih baik melihat buku. "Memang maunya panggil apa?" Lanjutnya, sambil terus makan dan sesekali melihat ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu, tanpa menjawabnya. Maksudku agar dia tidak terus bicara, karena sedang mengunyah. Khawatir tersedak. Beberapa menit kemudian, aku memprotesnya, untuk segera membayar, dan aku harus kembali ke kafe. "Lama banget makannya..." sambil bersidekap, dengan raut cemberut. Dia tidak menjawab, malah asyik dengan minumannya sekarang. Beberapa orang menoleh kepada kami, seperti menonton sebuah drama. Mungkin juga karena mereka melihatku yang terus menggerutu pada Andre. Tetapi tiba-tiba, seorang rekan Andre menghampirinya. Memberitahukan sesuatu, lalu terlihat mereka mengarahkan pandangan pada dua orang yang berdiri di dekat pintu. Sepertinya ada yang ingin menemui Andre. Andre terlihat menghela napas berat, lalu mengangguk pelan. Dia bangkit dan menghampiriku. "Ini. Terima kasih ya, ambil saja kembaliannya. Buat beli es cendol," Ujarnya, sambil menyerahkan uang lima puluh ribu padaku, dibarengi senyum menyeringai. Dia memperlakukanku seperti anak kecil. "Ih, apaan sih! Tapi...makasih ya," Dia mengangguk, lalu mengantarku sampai ke pintu utama. Saat aku berjalan ke dekat dua orang yang sepertinya akan menemui Andre, yaitu seorang pria setengah baya dan wanita yang sangat cantik memakai busana merah, aku merasa aneh. Karena mereka sempat menatap aku yang berjalan di samping Andre, dengan raut datar bahkan cenderung tak suka. Sekalipun aku berusaha melihat mereka dengan ramah. Andre melambai padaku, sebelum aku hilang dari balik pintu. Entah hanya perasaanku saja atau tidak, dia seperti sengaja bertingkah manis padaku di depan dua orang itu... Huh dasar cowok itu, membuatku harus berlama-lama di tempatnya! Lagi-lagi aku dikerjai orang! Tapi, dua orang itu siapa ya? Apa mungkin orang tuanya? Luka-luka yang samar dan tak nampak berdarah Belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kering Setiap malam luka itu selalu membuatku meringis Bukan keinginanku, sungguh bukan Namun rindu sialan itu penyebabnya Rindu akan dirimu Yang selalu bersikap hangat dan manis padaku Seolah kau memang sangat mencintaiku Kau berbohong, pembohong dan penipu Berlagak seolah setia Padahal tidak Hilang tiba-tiba bagai ditelan bumi Atau seperti sosok hantu yang raib tanpa jejak Aku benci situasi menyakitkan ini... Bukan, Tepatnya, aku benci kau *** Hari Minggu Aku terbangun pada pukul 05.00 pagi, sekalipun ini adalah hari libur. Karena memang aku sudah terbiasa bangun sangat pagi, kata pepatah, supaya rezeki tidak dipatuk ayam. Ada-ada saja memang ya. Tapi, aku setuju, karena bangun pagi memang banyak manfaatnya. Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi dengan penuh semangat, meskipun hari ini tidak akan pergi kemana-mana. Tidak apa-apa, karena mandi dua kali sehari adalah ritual wajib dalam hidupku. Setelah itu, barulah aku mengisi perut dengan lontong sayur yang dijual di sekitar tempat kostan-ku. Kebiasaan yang kurang baikku yang tidak usah ditiru adalah, menghabiskan makanan sambil bermain ponsel. Dan aku yakin, zaman sekarang banyak orang yang melakukannya. Mataku bolak-balik menoleh pada makanan dan layar ponsel. Saat sedang asyik chat dengan rekan kerjaku di grup, tiba-tiba aku mendapat pesan dari Maria, adikku di rumah. Isi pesannya memintaku untuk segera pulang ke rumah kami. Saat aku bertanya ada perlu apa, dia tidak menjawab dan hanya menyuruhku untuk pulang saja. Segera. Karena katanya penting. Segera pula kuselesaikan sarapanku dan bersiap untuk pulang hari ini. Sebenarnya, tingkah Maria yang tidak menjelaskan kenapa aku harus pulang secepatnya itu, sedikit mengganggu pikiranku. Karena rasanya aneh. Dan aku malah jadi berpikir... Tidak. Aku tidak boleh berpikir macam-macam, meskipun di benakku terlintas tafsiran negatif. Tidak boleh. Setelah hampir satu jam, barulah aku tiba di rumah, di daerah Sentul City. Bukan rumah yang berada di kawasan perumahan elit, melainkan hanya rumah biasa. Karena aku terlahir dari keluarga yang biasa saja, semacam kelas menengah ke bawah. Ketika sampai, keadaan rumah cukup sepi. Biasanya ada ibu dan ayah yang meramaikan rumah dengan candaan pada dua adikku. Kulangkahkan kaki sambil untuk mengetuk pintu sebanyak dua kali. Muncul seorang remaja laki-laki berusia sekitar lima belas tahun. Dia tersenyum tipis ketika melihatku. "Azka! Kamu sehat dek?" Aku menepuk punggung Azka, adik keduaku yang masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dia memang terlihat paling kalem di antara kami bertiga. Mungkin karena dia seorang laki-laki, namun aku melihat sedikit keanehan dari raut wajahnya. Seperti raut kurang bersemangat. Dia segera memintaku masuk rumah. Di ruang tengah, aku segera duduk untuk meluruskan kaki yang lumayan pegal. "Kak Maria kemana Ka?" Tanyaku pada Azka yang sedang menyunguhiku dengan air putih. "Sebentar, Azka panggilin dulu ya," Dia melangkah ke kamar Maria di belakang ruang tamu. Dua menit kemudian, Maria muncul menghampiriku. Dia memelukku dengan senyuman tipis, sama seperti senyum Azka tadi. Gerak-geriknya seolah ingin menceritakan sesuatu, namun ditahan. Aku bisa membacanya, terlebih dia memintaku untuk pulang karena ada sesuatu yang penting. Tetapi aku tidak akan mencecarnya untuk segera mengatakan maksudnya. Aku menunggu dia memilih waktu yang tepat untuk mengutarakan, karena dia pasti merasa tak enak jika berbicara langsung sementara aku baru sampai di rumah. Alhasil, kami malah berbincang beberapa saat, dan sekalian aku melepas lelah sehabis perjalanan. Tiba-tiba aku tersadar sesuatu. "Bapak sama ibu mana, Mar?" Ujarku, setelah obrolan kami hampir berada di akhir topik. "Bapak biasa, kerja Kak. Kalau ibu...eh sebenarnya, aku minta Kakak pulang karena mau beritahu sesuatu tentang ibu," Mendadak Maria menundukkan wajahnya, dan suara di ujung kalimatnya terdengar agak serak. "Mar? Kenapa?" Tanyaku, karena dia terdiam beberapa saat. Azka menyimak kami di depan pintu rumah. Aku meliriknya sekilas, ekspresinya mirip dengan Maria. Lalu Maria berkata lirih, "Kak, ibu udah nggak ada..." Seketika aku terdiam. Kaku bagai patung. Jantungnku serasa tercabut, tubuhku tiba-tiba terasa sangat lesu. Padahal, aku yakin sekali, tadi pagi aku menghabiskan satu mangkuk besar lontong sayur sebagai pengisi energi. Padahal, aku juga yakin, di perjalanan tadi aku baik-baik saja. Semoga dugaanku salah... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD