Part 2 : Bidadari Dengan Mata Biru

1038 Words
Part 2 : Bidadari Dengan Mata Biru   Saat mata pemuda itu terbuka, dia melihat sepasang manik berwarna biru dalam, sangat tajam dan indah. Mata itu seakan menyedot kesadaran yang baru mulai terkumpul namun di lain pihak juga menyejukkan. Si pemuda mencoba mengerjap, mencari tahu apakah dia masih berada di dunia nyata ataukah telah bertemu dengan penguasa semesta. Barangkali, sosok di depannya adalah malaikat. Beberapa kali dia mencoba untuk memfokuskan pandangan, tapi untuk membuka mata saja sudah terasa berat. Perlahan dia membiarkan sedikit demi sedikit cahaya mengintip masuk. Lalu kembali dia membuka kelopak mata setelah mampu menyesuaikan dengan terangnya sinar yang datang. Rasa terkejut menyergap. Lembaran rambut halus berwarna coklat gelap menyapu wajah pemuda yang baru sadar sepenuhnya itu. Dia melihat seorang gadis manis bertubuh munggil. Hanya saja kecantikannya tidaklah luar biasa, masih kalah jauh dengan Penelope, sang mantan tunangan. Ya, Penelope sudah pasti telah menjadi mantan tunangannya. Dia tidak akan pernah mau melanjutkan pertunangan dengan gadis berhati iblis tersebut. Penelope memang terkenal dengan paras cantik nan rupawan serta bentuk tubuh indah. Semua orang mengatakan betapa beruntungnya dia yang telah mendapatkan tunangan sesempurna Penelope, tapi kenyataan berkata lain. Apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan. Bagaimana mungkin Penelope masih saja berada di dalam otak. Sedangkan dia tahu pasti wanita menyebalkan itu telah mengiringnya menuju maut. Mengambil keuntungan dari kematiannya. “Syukurlah Anda sudah siuman.” Gadis itu tampak memerintahkan beberapa pria untuk melakukan beberapa hal. Lalu kembali fokus pada pria yang masih terbaring di atas ranjang. “Anda sudah lebih baikan? Siapa nama Anda?” tanya gadis manis itu tidak sabaran. “Lionell.” Pemuda itu terbatuk-batuk lagi. “Baiklah Lord Lionell, mengapa Anda bisa terdampar hingga kesini?" tanya gadis itu penuh selidik. “ “Biarkan dia bernapas dulu, Miss,” saran salah seorang pria tua yang berdiri di belakang. “Sir,” jawab Lionell pelan. “Aku bukan seorang lord.” Dia merasa gadis manis itu tidak terlalu suka dengan kehadirannya. Tapi siapa juga yang tidak akan curiga dengan kehadiran pria yang terikat kaki dan tangan. Bisa saja, orang tak dikenal itu adalah penjahat. “Baiklah, minta dokter untuk memeriksanya lagi.” Gadis itu beranjak pergi. “Pastikan dia tetap berada di kamarnya!” Sementara beberapa orang mulai mendekat. Salah seorang pelayan masuk dengan semangkuk bubur jagung di atas nampan. Mereka menyuapkan beberapa sendok bubur sebelum akhirnya Lionell menolak, perutnya masih terasa bergejolak, berputar seperti ombak yang menghempaskan dirinya. “Anda harus menghabiskan obat ini, Sir.” Pelayan pria memaksakan dua sendok obat masuk ke dalam mulut. Lionell yang masih lemah hanya terdiam tak berdaya dan akhirnya kembali tertidur. Saat terbangun lagi, Lionell sudah dapat melihat dengan jelas. Dia berada di sebuah kamar sederhana, namun begitu wangi. Sepertinya ini bukan mimpi. Kalau begitu, gadis tadi, yang serupa bidarari, seharusnya juga nyata. Tapi di mana gadis itu? Mata biru dan aroma tubuh gadis itu seakan melekat jelas dalam ingatannya. Ruangan kamar kosong, tidak ada satu pun pelayan. Lionell berusaha duduk. Kepalanya sudah tidak terlalu pusing, sementara perutnya mulai bergemuruh lapar. Baru saja dia akan bangun dan duduk, pintu kamar terbuka. "Sir Lionell, aku akan memerintahkan pelayan membawakan makanan dan obat lagi untuk Anda. Sepertinya keadaan Anda sudah membaik.” Gadis itu berdiri, memeriksa dari jauh. "Terima kasih," ucap Lionell pendek, dia masih sulit menerima perpindahan kejadian dari di ambang maut hingga kini terbaring nyaman di atas ranjang dengan seorang gadis yang tadi menatapnya begitu dekat. “Dan kita akan membicarakan tentang cara mengembalikan Anda ke tempat seharusnya berada sesegera mungkin. Secepatnya,” ucap gadis itu sambil berjalan ke pintu. Sepertinya dia tidak ingin berlama-lama beramah-tamah dengan Lionell. Lionell tahu nalurinya tepat. Gadis ini ingin dia segera pergi. Sikap praktis, sopan namun tidak ramah ditunjukkan dalam gerak-gerak, tatapan mata serta ucapan. Melihat satu-satunya orang yang dapat menjelaskan keadaannya akan pergi dari kamar tempat dia berbaring, Lionell panik. “Tunggu!" Gadis itu berbalik. Menatap tak sabaran. Lalu kembali berbalik, seakan panggilan Lionell tidak penting.  "Siapa nama Anda, Lady?” teriak Lionell kesusahan. Lionell mencoba menahan si gadis sebelum menghilang di balik pintu kayu. “Abigail, hanya Abigail saja Sir.” Suara Abigail terdengar tegas sebelum menutup pintu.   Tak berapa lama seorang pelayan masuk, nampan yang dibawa mengeluarkan aroma  sedap. Lionell segera mencoba duduk, dua kali terjatuh sebelum akhirnya duduk tegak bersandar pada tiang tempat tidur. Pelayan itu menyembunyikan senyum. Dengan sopan dia meletakkan meja kecil dan nampan. Sebuah serbet dibuka. Lionell tak sabaran, tanpa menunggu pelayan itu meletakkan serbet pada pangkuannya, dia telah membuka tutup nampan dan meraih isi nampan kemudian memakannya dengan rakus. Pelayan tersebut terdiam, menggeleng pelan. Lionell tidak memedulikan keadaan sekitar atau tatapan mata si pelayan. Perutnya menuntut diisi. Entah berapa lama dia pingsan. Daging bacon serta potongan sandwich dan daun selada terus diambil secepat mulut mampu mengunyah. Lionell tidak dapat menghitung berapa banyak sandwich yang dia raup. Sesekali Lionell meneguk s**u yang terus dituangkan pelayan ketika gelasnya kembali kosong. Sang pelayan hanya mengulum senyum, dia tetap diam dan melayani Lionell dengan penuh hormat. Kembali gelas s**u kosong, dari sebuah teko keramik pelayan tersebut mengisi lagi. Di dalam hati dia berharap pria yang mereka selamatkan bukanlah penjahat yang akan mengacaukan ketentraman hidup mereka. Semoga saja bukan. Setelah potongan sandwich ke delapan—Lionell mengetahuinya karena pelayan tersebut menyodorkan nampan baru yang berisi delapan potong sandwich baru, yang artinya nampan pertama juga berisi potongan dalam jumlah yang sama—yang masuk ke dalam perut, Lionell mulai memperlambat gerakan. Dia kembali mengingat tata cara seorang bangsawan ketika makan dan minum. Mengembalikan kesadarannya akan etika yang diajarkan serta ditanamkan orang tuanya sedari dia kecil. “Apakah Anda ingin makanan yang lain Sir?” Si Pelayan membawa nampan kosong lalu mengangsurkan pada pelayan muda yang berdiri di depan pintu kamar.   Lionell menggeleng. Dia yakin pelayan-pelayan akan membicarakan mengenai betapa rakusnya dia. Tapi jangan salahkan tingkah Lionell yang lupa dengan segala aturan dan tata krama. Bagaimana tidak, dia telah berhari-hari hari terombang ambing dengan tangan dan kaki terikat, kedinginan, kehujanan, kepanasan serta tanpa makanan. Jika kalian menganggap sekeping roti kering itu makanan, maka kalian salah. Karena Lionell bahkan yakin roti itu tidak layak dimakan. Di dalam hati, Lionell yakin akan segera menghadap malaikat maut. Ternyata takdir tidak menyeretnya pada ombak kematian. Dia berhasil selamat, malah bertemu dengan bidadari  yang sepertinya cukup enggan membuka diri padanya.   *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD