Part 3 : Pulau Lavender

2114 Words
Part 3 : Pulau Lavender   Setelah beristirahat satu harian sejak siuman dari tidur panjang dan mendapatkan makanan, pakaian, membersihkan diri serta ramuan ajaib yang begitu wangi aromanya, Lionell terlihat lebih segar. Hari ini dia dipersilahkan menikmati makan siang di ruang makan utama. Lionell diantar oleh seorang pelayan menuju ruang makan utama. Jarak kamar tidur dengan ruang makan ternyata cukup jauh. Dan bisa dipastikan Lionell akan tersesat bila tidak ada yang menunjukkan arah. Dia sepanjang perjalanan terus memperhatikan bentuk kastil ini dengan seksama. Sebuah bangunan tua yang tidak terlalu mewah namun rapi. Terlihat setiap lorong selalu terdapat sebuah lukisan bunga yang indah dan besar. Selain kastil tua yang terasa nyaman, Lionell sangat senang dengan pelayanan di tempat ini. Tidak bisa dipungkiri Lionell penasaran dengan gadis yang dilihatnya kemarin. Saat memasuki ruang makan Lionell melihat Miss Abigail duduk dengan begitu anggun. Seekor kucing bermain-main di bawah kursi dengan lincah, menunggu Abigail memberikan sepotong bacon atau sosis. Gadis itu menatap Lionell yang berdiri di ujung meja makan. Sikapnya langsung berubah. Punggungnya tegak kaku, bibirnya tidak lagi tersenyum. Abigail menikmati makanan dalam kesunyian. Lionell mengedarkan pandangan lalu memutuskan untuk mengambil posisi duduk tepat di depan Abigail, berharap gadis itu akan menyapa atau sekedar tersenyum. Harapannya tidak terwujud, Abigail memilih sengaja tidak menatap Lionell. Seorang pelayan membawakan nampan berisi sarapan. Setelah dua tiga suapan Lionell melihat Abigail yang masih membisu. Tidak mencoba bercakap-cakap dengannya. Akhirnya pria itu berusaha membuka percakapan. "Selamat pagi, Miss Abigail." Sapaan ramah yang ditanggapi dengan sebuah anggukan kepala. Lionell mencoba kembali memulai percakapan. “Maaf, kapan aku bisa bertemu dengan tuan rumah? Aku ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan serta kebaikannya mau menampung dan mengobatiku,” ucap Lionell dengan sopan. Abigail hanya menatap sesaat sebelum kembali meneruskan makan. “Maaf, apakah kamu mendengar ucapanku, Miss?” Lionell memastikan suaranya cukup terdengar. “Baron Gardenning sangat jarang ke kastil ini. Mungkin Anda bisa mengucapkan terima kasih setelah bertemu dengannya di London,” balas Abigail sangat sopan. “Jadi pemilik kastil ini adalah Baron Gardenning. Dia berada di London sekarang ini.” Lionell mengulang penjelasan Abigail untuk memastikan sekali lagi. Abigail hanya mengangguk dan kembali menatap piringnya. Lionell menyadari tidak ada guna berbasa-basi dengan gadis di hadapannya. Gadis itu tidak mengharapkan pengganggu yang membebani serta menambah tugasnya. “Lalu bagaimana dengan pengaturan transportasiku kembali ke London?” tanya Lionell langsung. Abigail menghentikan sarapan lalu berdiri, dia memberi isyarat agar Lionell mengikuti. Dengan enggan Lionell beranjak dari kursi. Sebelum pergi, dia sempat mengambil tiga potong roti. Dia sesekali mengeluarkan roti dan memakannya, sembunyi-sembunyi. Tapi lama kelamaan Lionell menyadari Abigail sama sekali tidak melirik sedikitpun. Itu membuat dia bebas mengisi perut yang masih lapar hingga roti di tangan habis.   Sesampainya di perpustakaan besar yang nampaknya merangkap menjadi ruang kerja, Abigail mempersilahkan tamunya duduk. Lionell berjalan pelan, memperhatikan ruangan tersebut. Sebuah meja besar tampak kokoh di depan deretan rak-rak yang terisi dengan aneka buku. Lionell membaca sekilas, judul-judul yang tercantum di sampul cukup beragam. Lionell mengalihkan perhatian kepada dinding di sebelah rak. Lagi-lagi terdapat lukisan bunga, kali ini bukan hanya satu bunga. Sebuah taman bunga yang luas, tepatnya. Penelusuran Lionell terhenti oleh suara Abigail. Abigail mengambil kertas dan mulai menulis. “Akusudah mengecek dan kapal yang mengangkut bahan makanan dari London ke Pulau Lavender akan tiba sebulan lagi. Anda Sir, bisa menumpang kapal itu untuk kembali ke London. Akuakan memastikan semua kebutuhan Anda selama perjalanan terpenuhi.” “Pulau Lavender?” tanya Lionell bingung. Abigail mengangkat kepalanya dan memandang Lionell dengan tatapan bertanya.”Ada masalah dengan pulau ini?” “Aku belum pernah mendengar tentang pulau ini,” ucap Lionell. "Tentu saja," jawab Abigail acuh tak acuh. "Maksudnya?" “Anda dan semua bangsawan London itu tidak mungkin mengenal pulau ini. Pulau tidak penting. Kalian terlalu sibuk dengan hinggar binggar pesta kalangan atas. Season, pesta, anggur dan segalanya,” ucap Abigail sinis. “Lagipula pulau ini terpencil.” “Kalian bisa bertahan dengan hanya kiriman bahan makanan yang dilakukan sebulan sekali?” Lionell mengabaikan sindiran Abigail tentang kelakuan bangsawan London serta dirinya. “Di pulau Lavender ini  hanya terdapat lima keluarga kecil dan beberapa pelayan untuk kastil tua ini,” sahut Abigail. “Heem, pulau yang kecil,” gumam Lionell. “Mengapa aku tidak pernah mendengar pembicaran mengenai pulau ini ketika Baron Gardenning mendatakan aset keluarganya.” Lionell mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Para bangsawan dan masyarakat Inggris diharuskan melaporkan jumlah kekayaan mereka. “Pulau sangat kecil ini pastinya dianggap tidak terlalu penting. Lagipula Baron mungkin sudah lupa dia memiliki pulau ini,” sahut Abigail. “Apakah Baronmu sekaya itu sehingga melupakan dia memiliki sebuah pulau?” Lionell mengetukkan jarinya ke pegangan kursi yang terbuat dari kayu pilihan. Kursi dengan warna coklat gelap, dengan ukiran mawar berwarna emas. Sebuah hal yang terbilang mewah untuk ukuran kastil tua. “Tidak. Baron tidak sekaya yang Anda kira. Dia hanya melupakan pulau ini.” Lionell melihat seberkas sinar sendu singgah di ujung mata Abigail saat menjawab pertanyaannya tadi. “Kurasa pembicaraan kita sudah cukup.” Abigail menutup percakapan. “Aku tidak akan bertanya mengenai dirimu, alasan Anda terikat dan terdampar bersama perahu kecil yang hancur. Kami akan segera melupakan Anda begitu Anda pergi dari tempat ini.” Matanya kini mengancam. “Karena itu, aku harap Anda tidak perlu mengetahui begitu banyak mengenai pulai ini serta tak perlu pula mengingat pulau ini pernah ada.” “Menarik….” Lionell mengangguk-angguk. Dia tidak berada dalam kondisi dapat menawar, jadi lebih baik dia mengikuti aturan dari orang yang sepertinya memegang kuasa atas seisi pulau, jika dia ingin selamat tentunya. Akan sangat lucu bila dia yang berhasil selamat dari kematian di laut, kemudian berakhir tanpa nyawa di tangan para penduduk pulau. Sebelum sempat Lionell melanjutkan percakapan Abigail telah berkata, “Baiklah. Anda, Sir, telah mendapatkan kepastian mengenai keberangkatan dan akomodasi untuk kembali ke London.” Abigail berdiri dari tempat duduknya. Mengisyaratkan dengan halus kalau dia mengharapkan Lionell keluar dari ruangan tersebut. Entah mengapa Lionell masih ingin terus berada di dekat gadis ini. Gadis yang tidak terlalu cantik atau menawan, hanya saja sikap kaku dan sopan itu seakan menyembunyikan rahasia yang memancing untuk Lionell ungkap. Lagipula ada semacam aroma wangi, hangat nan mengelitik tubuh Lionell. Dia mau menghidu lebih banyak lagi. Sekali lagi Abigail memberi isyarat, mengusir halus. Namun Lionell tetap diam, berpura-pura tidak mengerti. Dia segera memutar otak,  mencari cara agar pembicaraan dapat berlanjut. “Mengapa pulau ini bernama Lavender?” tanya Lionell. Abigail sangat memuja Pulau Lavender, hal ini membuat dia  melupakan maksud untuk mengusir Lionell keluar. Dia tidak menjawab hanya berjalan menuju sebuah gorden berwarna ungu lembut. Lionell menatap penasaran. Apakah gadis ini enggan menjawab dan berbicara, sengaja memunggungi dirinya. Abigail menemukan sebuah tali panjang berwarna biru. Ditariknya tali  dan tersibaklah gorden tebal itu. Sebuah jendela kaca bening berukuran besar yang langsung menghadap ke bagian luar terpampang. Cahaya matahari langsung menyergap masuk, memenuhi setiap sudut ruang perpustakaan. Lionell berdiri dari tempat duduknya, dengan penasaran segera mengikuti ke dekat jendela dan melihat hamparan padang lavender di hadapan dari atas kastil. Padang lavender indah layaknya negeri peri bunga. Matanya membelalak tak percaya. Jadi ini alasan dia selalu dapat mencium aroma yang begitu harum. Tapi, wangi lavender dan Abigail sedikit berbeda, aroma Abigail lebih hangat.   “Luar biasa! Ini sebabnya pulau ini bernama Lavender,” serunya. Lionell berdecak kagum. Berkali-kali dia menggelengkan kepala takjub. Dan sebuah senyum kecil yang tidak sempat disembunyikan Abigail terlihat dari ujung mata Lionell ketika dia berdiri di sisi Abigail.  Dengan terang-terangan mengagumi keindahan padang lavender juga gadis lavender. Lalu mata Lionell menangkap ada kegiatan yang sedang berlangsung di bawah sana. “Mengapa begitu banyak pekerja mengurusi bunga-bunga tersebut?” Lionell memperhatikan beberapa orang terlihat  sibuk menyemprotkan entah cairan apa ke hamparan bunga. “Karena kami harus memastikan bunga-bunga tersebut tidak gagal panen,” jawab Abigail. "Lavender? Dipanen?" Lionell tak percaya. "Ya," sahut Abigail. Dia puas menyadari kalau Lionell terkagum-kagum pada ladang lavendernya. "Untuk apa dipanen?" tanyanya lagi. "Dijual kembali," sahut Abigail. “Bunga-bunga itu bisa menghasilkan uang?” Lionell bertanya. “Penghasilan terbesar pulau ini adalah dari bunga. Kami membuat teh dan parfum.” Abigail menjelaskan. Setelah mengucapkan kalimat itu Abigail terlihat menyesalinya. Dia kembali memasang wajah sopan tanpa ekspresi. “Teh dan parfum?” Lionell merasa seperti orang bodoh yang terus menerus mengulangi ucapan Abigail. Dia menatap wajah Abigail yang tertimpa sinar matahari. Wajah gadis itu terlihat bercahaya. Anggap dia mulai gila, karena sekilas merasa Abigail bagaikan ratu dunia peri. Hidung Lionell kembali menangkap wangi yang dia sukai. Dan itu berasal dari Abigail, bukan padang lavender. Aroma yang seakan mampu menyatu dalam dia kenali walau tercampur oleh berbagai parfum. Sudah begitu pas dan familiar di penciumannya. Seakan dia telah mengenal lama dan berada di dekat tubuh itu begitu lama. Hidungnya mungkin aneh, bisa membedakan aroma aneka bunga dan aroma tubuh Abigail. Tubuh gadis itu mungil, mengenakan gaun hijau biasa tanpa renda atau hiasan. Wajahnya pun polos tanpa polesan. Lionell sedikit curiga, siapa sebenarnya Abigail. Apakah dia seorang pendamping? Namun mengapa seorang pendamping tidak terlihat mendampingi putri dari Baron. Lagipula putri Baron Gardenning pasti saat ini sedang berada di London. Anehnya lagi Abigail bahkan bisa memerintakan penyediaan kapal dan urusan rumah tangga, juga mengatur semua pergerakan di pulau ini. Siapa sebenarnya gadis manis yang mencuri perhatiannya sejak dia membuka mata dan lolos dari maut? “Urusan kita telah selesai. Anda dapat kembali beristirahat di kamar Anda, Sir. Bila ada keperluan apapun, bunyikan saja bel maka pelayan akan datang.” Abigail tiba-tiba saja mundur ketika menyadari dia sudah berada sangat dekat dengan tamunya. Lalu segera memperlebar jarak dan membuka pintu perpusatakaan kemudian meminta dengan tegas Lionell keluar dari ruangan tersebut. Pintu dikunci. Lionell hanya dapat menatap penasaran. Masih ada waktu untuk mencari tahu lebih dalam. Masih ada waktu. * Keesokkan harinya, matahari pagi begitu bersahabat. Cerah menyinari lengkap dengan awan aneka bentuk yang terlihat sedang bercengkrama. Abigail berjalan ke ladang lavender, dia memetik sekuntum lavender yang baru mekar. Beberapa hari ini dia tidak bisa berkonsentrasi. Ingatannya selalu kembali pada saat dia menemukan Lionell. Abigail selain suka berbaring di ladang lavender, dia juga gemar menatap hempasan ombak di pantai. Dia ingat betul, malam ketika sinar rembulan begitu penuh dan terang menyinari, sebuah perahu yang tidak lagi berbentuk sempurna terombang-ambing di tepian pantai. Abigail masuk ke dalam air, rasa penasaran mendorong dia melupakan akal sehat. Sesosok pria terbaring di atas kumpulan papan hancur. Abigail dengan cepat mencoba menyeret dan melawan arus. Berharap sosok yang ditemukan masih bernyawa. Abigail tidak sempat memperhatikan wajah Lionell. Tidak  pernah terpikir apakah pria yang ditolongnya adalah penjahat atau orang baik. Abigail membawa hingga ke pantai dengan sekuat tenaga. Memeriksa denyut nadi serta detak jantung yang mulai lemah. Namun desah napas masih mengisi tubuh itu. Bergegas Abigail mencoba memompa keluar air laut dengan menekan d**a serta memberikan napas bantuan. Setelah beberapa kali mencoba dan hampir kehilangan harapan, pria itu memuntahkan sebagian air laut. Namun keadaan tidak langsung membaik, Lionell tetap tidak sadarkan diri. Dengan semua tenaga yang tersisa Abigail menaikkan Lionell ke atas White Rose – kuda putih – miliknya. Dia memerintahkan White Rose menunduk agar lebih mudah. Tapi tetap saja Abigail yang bertubuh kecil kesulitan, butuh hampir setengah jam untuk memastikan tubuh itu stabil di atas pelana. Abigail ingat jantungnya berpacu dengan waktu. Sebelah tangan memegang kekang, satu lagi sesekali memegang pria itu. White Rose dipecut agar segera sampai di kastil. Entah sudah berapa lama pria itu terombang-ambing di lautan. Tubuhnya basah kuyup dan kedinginan. Saat para pelayan membuka pakaiannya yang terlihat mahal dan memiliki label penjahit terkenal di london, Abigail melihat betapa otot-otot tubuh pria itu terbentuk dengan baik. Kulitnya begitu pucat namun halus, Abigail tahu dengan pasti butuh uang yang banyak untuk merawat kulit serta memanjakan dengan gaya hidup yang mewah. Abigail kembali dari lamunan panjangnya, dia menatap keadaan sekeliling yang sangat menakjubkan. Gaya hidupnya memang tidak seperti lady-lady di London. Berdandan mengikuti trend pakaian terkini. Mengenakan riasan di wajah serta menghadiri berbagai pesta. Hinggar binggar kemewahan serta pergaulan kalangan atas. Musim-musim perburuan calon suami dan debut. Dia hanyalah gadis yang disembunyikan dari dunia luar. Tidak pernah sekalipun Ayahnya, Baron Gardenning membawanya ke kediaman di London. Sepertinya dia sengaja diiisolasi serta dipenjara dalam sebuah pulau kecil. Namun saat matanya menerawang ke berbagai sudut, pulau ini tidak bisa dikatakan sebagai penjara. Terlalu indah dan menjatuhkan nama Pulau Lavendernya bila dikatakan seperti itu. Sejak pertama dia berada di pulau ini, Abigail selalu merasa dia memang terlahir untuk menjadi bagian pulau menawan ini. Lagipula keberadaan penduduk yang menerimanya hangat serta menawarkan perasaan penuh kasih membuat Abigail jatuh cinta sepenuhnya pada penjara kecil—demikian Baronessa Gardenning—ibu tirinya menyebut Pulau Lavender. Pulau Lavender adalah satu-satunya yang Abigail miliki, dia tidak pernah berpikir sedikitpun untuk membenci pulau ini. Dan Abigail tidak pernah ingin pergi dari tanah ajaib penuh kehangatan ini. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD