Part 4 : Tunangan

2860 Words
Part 4 : Tunangan   Lionell berdiri pada batas akhir padang bunga. Dari kejauhan dia menatap Abigail. Gadis itu terlihat sangat cocok dengan ladang lavender. Gerakan lembut tangan yang menyentuh hamparan bunga serta sosoknya menonjol diantara kelopak-kelopak ungu. Aroma lavender tidak bisa menyamarkan wangi tubuh Abigail. Entah mengapa ada yang sangat mengusik hatinya kala memandang gadis itu. Saat berada di dekat Lionell, Abigail seakan membangun sebuah benteng yang tinggi. Lionell merasakan adanya peti rahasia yang tersimpan rapat. Dan dia sangat ingin menemukan kuncinya. Menjadi seseorang yang membuka peti rahasia itu serta menyelami cerita di dalamnya. Tapi mengapa dia ingin melakukan semua itu? Sementara kemungkinan besar sang gadis hanya akan menjadi salah satu bagian dari kehidupannya sebelum kembali ke kenyataan kota London. Abigail dan Pulau Lavender, lebih mirip cerita dongeng yang dimimpikan saat tertidur. Lagipula dia masih mempertanyakan siapa sebenarnya Abigail ini. Mungkinkah dia adalah simpanan Baron? Sangat disayangkan bila gadis manis dan terlihat cukup berpendidikan ini hanya menjadi kekasih gelap seorang Baron. Berbagai pemikiran tentang Abigail muncul di otak Lionell. Dari kemungkinan apakah Abigail adalah saudara jauh Baron, pendamping, petugas pengurus rumah tangga. Atau sebuah pemikiran gila mengenai Abigail yang adalah putri dari petani atau penyewa lahan setempat. Yang hanya ingin menikmati kehidupan mewah ala bangsawan. Menghalalkan segala cara, termasuk menjadi bagian gelap dari kehidupan Sang Baron. Lionell mencoba mengingat-ingat soal Baron pemilik pulau ini. Menurut Abigail dan beberapa pelayan pemilik Pulau Lavender adalah Baron Gardenning. Setelah membongkar catatan ingatan di otak, Lionell yakin dia pernah berjumpa dengan Baron Gardenning beberapa kali pada pesta-pesta yang diadakan kalangan bangsawan kota London. Walaupun Lionell hanya saudara sepupu Duke, namun dia masih termasuk dalam daftar tamu utama. Karena dia yakin Duke of Marmalade akan memastikan namanya berada di dalam daftar undangan yang sama dengan Sang Duke. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Duke of Marmalade tidak bisa melakukan apapun tanpa dia sebagai tangan kanann. Ibaratnya Duke adalah tubuh, sedangkan otak penggeraknya adalah Lionell. Menurut penilaian Lionell, Baron Gardenning telah berusia sekitar lima puluh delapan tahun dan melalui prediksinya Miss Abigail masih berusia dua puluh tahun. Sungguh suatu perpaduan yang tidak pas. Perbedaan usia yang sangat jauh. Ditambah lagi Baron sudah memiliki seorang istri yang cukup menarik. “Sedang melamun?” tanya Lionell tanpa sadar, otak dan tubuhnya tidak sejalan. Ternyata Lionell tidak hanya menatap serta memikirkan Abigail, namun tapak kakinya terus mendekati gadis itu. Dia sama sekali tidak mengetahui sedari tadi dia melangkah seiring otaknya menelusuri Abigail. Lionell meyakinkan diri untuk menjauhi gadis manis yang mungkin akan menjadi sumber teka teki masalah. Namun tangan, kaki, mulut dan matanya bagaikan terseret arus yang sangat deras. Ada magnet maha kuat yang menarik agar mendekat. Abigail sedikit terkejut. “Tidak, aku sedang mencoba menghitung masa panen bunga-bunga ini,” sahut Abigail singkat.   “Ladang yang sangat indah,” ucap Lionell tulus. Abigail hanya tersenyum, namun senyuman itu dapat  membuat Lionell mengubah penilaiannya tadi. Gadis itu tidaklah cantik seperti Penelope yang kecantikannya telah tersiar hingga ke seluruh negeri. Bahkan kecantikan Penelope dikatakan dapat membuat bunga-bunga menjadi menunduk malu. Namun Abigail manis dan menarik dengan caranya tersendiri. Lionell merasa pada ujung-ujung jemari Abigail, bisa membuat bunga-bunga mekar dengan indah. Seperti ada bubuk sihir peri kecil yang ditaburkan di sekeliling gadis itu. Terdengar gila dan menggelikan memang, untuk pria seusianya masih memikirkan peri dan keajaiban sihir. Namun Abigail dan Pulau Lavender mengingatkannya pada dongeng yang pernah dibacakan ibunya. Mengenai seorang peri bunga, kali ini khususnya yang menjaga ladang lavender. Abigail mengangguk, menjawab pertanyaan Lionell. Dia merasa bingung. Pria ini mendekat, menyapa, bertanya lalu terdiam cukup lama. Seakan sedang berada di tempat lain. Tapi, tiba-tiba saja tangan Lionell terulur, mengambil dua lembar daun kering yang sedang menikmati riak ombak kecil di lautan rambut coklat gelap milik Abigail. Abigail terkesiap, ada desir yang memompa darah cepat. Dia merutuk sikap bodohnya, Hal biasa! Hanya dedaunan kering. Dia hanya mencoba bersikap sopan. Ingat itu. Abigail jarang berdiri berduaan dengan pria dewasa, pria yang memiliki pesona tak terbantahkan. Dia menjadi terlalu bingung untuk menyikapi gerak-gerik Lionell. Dibesarkan puluhan tahun di pulau yang kecil. Di mana tiap hari bertemu orang-orang yang sama memberi kenyamanan dan rasa kekeluargaan yang besar. Dan juga, jumlah pemuda atau pria dewasa yang belum menikah, tidaklah banyak. Sehingga munculnya Lionell seakan menjadi hal baru yang menarik perhatian Abigail. Sesaat mereka hanya diam, saling berpandangan, ada hal yang tak dapat dijelaskan dengan  kata-kata tentang rasa yang sedang menyelimuti mereka. Terlalu awal untuk dikatakan sebagai riak perasaan, akan tetapi lambat laun hempasan ombak itu tiba dengan pasti hingga di pesisir pantai hati mereka. Tiba-tiba saja Abigail menarik diri. “Anda telah bertunangan Sir?” Abigail terkejut saat mendapati dirinya kecewa ketika melihat sebuah cincin perak pengikat yang sering dipakai dalam pertunangan kalangan atas kota London. Cincin yang pernah dibacanya pada lembar berita Lady, lembaran berita terkemuka yang dibawakan Kapten Peter selama beberapa tahun ini agar Abigail mengetahui perkembangan para Lady, itu saran dari kapten kapal yang telah menganggapnya sebagai adik kecil kesayangan. Cincin berwarna perak polos dengan ukiran inisial nama kedua pasangan itu melingkar dingin di jari manis sebelah kiri Lionell. Lionell melihat arah pandangan Abigail pada cincinnya. “Ini?” Abigail mengangguk. “Dulunya,” Lionell berhenti sejenak untuk menikmati wajah penasaran Abigail. Seharusnya Lionell berhenti dan menutup mulutnya saat itu juga. Tapi rasa aman dan wajah penasaran Abigail membuatnya membuka mulut lagi. “Sebelum aku terombang-ambing di lautan lepas,” lanjut Lionell. Wajah Abigail memucat. Dia menutup bibirnya dengan kedua belah telapak tangan. “Sesuatu yang buruk telah terjadi pada kalian berdua di lautan lepas?” Lionell hanya mengangguk pelan. “Aku turut berduka,” sambung Abigail. Lionell kembali menimbang perasaannya. Apakah benar adanya menceritakan pengalaman hidupnya pada Abigail. Namun perhatian dan kesedihan yang ditunjukkan Abigail tidaklah terlihat palsu. “Apakah kapal yang Anda tumpangi beserta tunangan anda terhempas ombak? Apakah tunangan Anda tidak terselamatkan?” Mata Abigail mengambarkan kecemasan. Otaknya kembali memutar kejadian pada saat dia menemukan Lionell. “Tapi demi Tuhan, aku tidak melihat tunangan Anda, atau orang lain yang berada di dekat potongan perahu kecil. Aku benar-benar tidak memperhatikan, keadaan sudah malam serta ombak-ombak kecil memaksaku berenang secepatnya ke tepi pantai.” Abigail berkata dengan cepat. “Ditambah tubuh Anda sangat dingin dan kaku.” Lalu Abigail merasakan hatinya diremas. Dia ceroboh, telah melakukan kesalahan besar, yang mengakibatkan hilanganya satu nyawa. Nyawa tunangan Lionell yang seharusnya bisa diselamatkan. Lionell baru menyadari ternyata Abigail yang menyelamatkannya. Gadis itu terlalu cemas sehingga melupakan sikap menjaga jarak. “Astaga, betapa bodohnya aku. Sungguh bodoh, bodoh, bodoh!" Tampak Abigail sangat menyesali kelalaiannya. "Mengapa tidak melihat dengan teliti saat kejadian itu. Seharusnya aku memeriksa lagi sebelum terburu-buru meninggalkan pantai.” Abigail meremas jemarinya dengan perasaan kacau. Lionell hanya tersenyum sedih. Gadis manis ini ternyata begitu baik. Dia bahkan menyalahkan diri atas semua yang telah dia lakukan. “Apakah aku telah melewatkan petunjuk kecil sehingga nyawa tunangan Anda tidak terselamatkan?” Abigail mengigit ujung kuku tangan dengan kebingungan. Lionell hanya mengeleng pelan. “Tidak, Anda tidak melakukan kesalahan apapun, Miss.” “Dan lagi saat aku menemukan Anda, sebagian besar tubuh Anda masih terikat tali. Kecuali tangan sebelah kanan Anda, Sir,” ucap Abigail. “Dia tidak berada di perahu kecil itu,” ucap Lionell. “Dia hanya menatapku dari tepian geladak kapal, saat aku terikat di perahu kecil.” “Kalian terpisah?” “Tebakanmu hampir tepat, Miss.” Lionell menunjukkan senyum getir yang menawan. “Astaga! Kapal kalian diserang perompak?” Abigail kembali menerka. “Bagaimana mungkin ada perompak di perairan sekitar sini? Bukankah para pasukan kerajaan telah berhasil menangkap sebagian besar dari mereka. Dan membuat para perompak itu tidak berani beroperasi lagi.” Puluhan kemungkinan berkeliaran di kepalanya. Dia merasa sangat berdosa bila memang benar dia telah melewatkan kemungkinan menyelamatkan tunangan Lionell saat itu. “Dia ditangkap perompak? Karena itukah Anda begitu terburu-buru ingin kembali ke London? Anda ingin melaporkan kejadian tersebut dan meminta bantuan?” Abigail mencecar Lionell dengan berbagai pertanyaan. Baru kali ini Lionell melihat Abigail berbicara lepas dengannya. Berbicara lebih dari sekedar basa-basi serta melepaskan benteng pertahanannya. Lionell masih diam. Dia belum tahu apakah memberitahukan mengenai apa yang terjadi padanya di kapal kepada Abigail adalah hal yang tepat. Bagaimana jika gadis itu ternyata ada hubungan dengan Penelope? Tapi, tidak mungkin Abigail berteman dengan Penelope. Mereka berdua adalah sosok yang sangat jauh berbeda. Lagipula Lionell hapal dengan sikap Penelope, mantan tunangan yang enggan bersahabat dengan orang yang tidak bermanfaat untuk kepentingan pribadinya. Apalagi orang yang jauh lebih rendah darinya. “Jika memang benar maka aku akan mengusahakan kapal secepatnya.” Abigail beranjak dari tempatnya berdiri sedari tadi. “Aku akan meminta Kakek Patterson untuk menggunakan Blue Diamond untuk membawa Anda secepatnya ke London.” Tangan Abigail ditarik oleh Lionell. “Blue Diamond?” tanya Lionell. “Yah, sebenarnya kami memiliki sebuah kapal kecil yang dipergunakan untuk keperluan darurat. Dan Kakek Patterson yang dapat menahkodainya. Walau sebenarnya kondisi kesehatan Kakek Patterson sudah tidak terlalu baik.” Abigail menjelaskan. Lionell mengangguk-angguk. “Maka dari itu aku tidak menawarkan Blue Diamond sejak pertama. Tapi untuk keadaan darurat ini, kurasa Kakek Patterson bersedia menarik jangkarnya dan kembali berlayar.” Abigail menyakinkan Lionell. “Terima kasih. Tapi kurasa tidak perlu merepotkan Kakek Patterson.” Lionell tersenyum gembira. Perhatian tulus dari Abigail membuat dia yakin gadis itu masih murni, belum tersentuh intrik-intrik licik. “Tapi, tunanganmu harus segera diselamatkan, Sir. Anda tidak boleh menunda-nunda. Nyawanya begitu penting!” Abigail terlihat kesal. “Tidak. Dia tidak ditangkap perompak.” Lionell melihat wajah Abigail berubah marah. “Anda membohongiku, Sir!” Gadis itu menghentak kakinya kesal. “Tidak sepatutnya Anda mengarang cerita. Anda mengatakan bersama dengan tunangan di kapal sebelum akhirnya terhempas ke lautan.” Abigail menuntut penjelasan. “Yah, aku memang bersama tunanganku sebelumnya." Lionell berusaha menjelaskan. Salahnya, membiarkan gadis di depannya menarik kesimpulan sendiri tanpa dicegah. "Anda mencoba menipuku?” Abigail kemudian bergerak mundur, menatap Lionell dari atas kepala hingga kaki. “Atau Anda salah satu perompak? Karena itukah alasannya Anda terikat?" cecar Abigail. "Bukan, aku tidak sedikit pun bermaksud menipumu, Miss Abigail. Sungguh. Hanya saja, ceritanya begitu rumit. Dan...," ucapan Lionell terhenti. "Dan?" "Memalukan." Lionell menelan ludah. "Jelaskan padaku sebelum aku berteriak menyuruh penduduk pulau untuk menangkapmu dengan tuduhan penipuan!" ancam Abigail. Lionell menghela napas, dia akhirnya harus menceritakan semua yang dialaminya lagi. "Kami bersama-sama melakukan perjalanan dengan Blue Ocean, kapal mewah milik sepupuku. Kemudian, hal diluar perkiraan terjadi padaku. Namun aku yakin dia tidak mengalami hal buruk sedikit pun. Bahkan mungkin saat ini dia sedang menikmati jamuan teh di sebuah taman yang indah.” Lionell kembali menertawai dirinya sendiri. Dia telah diperdaya oleh ajakan Penelope. Bukan! Perjalanan mengarungi lautan itu bukan kah diatur oleh sepupunya, Duke of Marmalade. Penelope memaksa untuk turut serta yang langsung saja disetujui oleh sepupu tersayang itu. Lionell mengumpat kesal. Bagaimana bisa Duke of Marmalade ikut dalam rencana pembunuhan ini. “Ada apa? Ada yang salah?” Abigail bingung dengan kekesalan Lionell yang tiba-tiba. “Tidak, tidak. Aku hanya baru menyadari telah diperdaya. Ditusuk oleh seseorang yang sangat kupercaya.” Lionell menatap langit. Sungguh hal yang aneh. Dia sedih sekaligus gembira. Setidaknya dia terlepas dari Penelope yang menyebalkan. “Apa maksudnya?” Abigail semakin bingung. “Tidak, lupakan saja.” Lionell tersenyum. “Lalu mengenai tunanganmu?” Abigail masih ngotot bertanya. “Aku memang dulu memiliki tunangan. Tapi telah kehilangan tunangan untuk selamanya dalam peristiwa itu.” Lionell menatap langit biru. Kembali bayangan wajah Penelope yang tersenyum sinis muncul. “Aku menyesal mendengarnya. Turut bersedih atas apa yang terjadi pada Anda dan tunangan Anda.” Abigail menundukkan kepala sejenak. “Tapi tidak sepenuhnya tepat,” ucap Lionell sambil memasang teka teki. “Maksud Anda, Sir?” tanya Abigail. “Panggil saja, Lionell. Sir tidak digunakan untuk seorang sahabat yang telah menyelamatkan nyawaku.” Lionell tersenyum. Lionell berhutang budi pada Abigail yang menemukan dan menyelamatkannya. Jadi baginya Abigail adalah malaikat yang turun dari langit. “Baiklah kalau Anda menginginkan seperti itu. Tapi ada baiknya Anda juga memanggilku dengan Abigail saja.” Abigail juga meminta Lionell memanggil namanya saja. “Jadi kita setidaknya kita sudah sepakat mengenai hal yang sama.” Lionell tersenyum. “Dan satu lagi, hentikan bersikap terlalu formal kepadaku. Kita sahabat, bukan?” pertanyaan Lionell dijawab anggukan. “Jadi ceritakan padaku mengenai kejadian yang menimpamu di kapal.” Abigail terlihat tidak lagi memasang tembok pembatas dalam percakapan dengan Lionell. Sehingga Lionell lebih nyaman. “Aku memang melakukan perjalanan laut bersamanya, Lady Penelope Badge. Hanya saja aku baru mengetahui rencananya dan sepupuku saat berada di tengah lautan.” Lionell terdiam. “Rencana? Tunangan dan sepupu Anda membuat sebuah rencana kejutan?” Abigail kembali bertanya. Lionell menatap Abigail, “Anda? Apakah itu sesuai dengan kesepatan seorang sahabat?” “Maaf,” jawab Abigail. “Kembali kepertanyaanku tadi. Kejutan apa maksudmu?” Abigail mengingatkan Lionell. “Yah, semacam kejutan. Tapi bukan kejutan manis di hari ulang tahun,” ucap Lionell. “Jadi?” Abigail penasaran. “Dia mengejutkanku dengan memutuskan kesepakatan pertunangan sejak kecil yang dibuat oleh kedua orang tua kami, pada saat itu juga.” Abigail menyimak setiap perkataan Lionell dengan penuh perhatian. “Astaga! Tega sekali dia melakukannya. Dan kamu mencintainya?” tanya Abigail namun Lionell hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. “Lalu apa hubungan keadaanmu yang hampir menjemput maut dengan putusnya pertunangan itu?” Abigail semakin penasaran. Dia tidak menyadari telah masuk terlampau dalam. Terseret arus Lionell padahal sejak awal dia telah menetapkan untuk membangun benteng pertahanan dari pria-pria semacam Lionell.  “Hubungannya tentu saja ada. Dia akan menjadi gadis yang bebas tanpa perlu membayar denda atas pembatalan pertunangan bila aku dinyatakan meninggal atau hilang ditelan ombak lautan.” Abigail terkejut dengan fakta yang dipaparkan oleh Lionell. “Tidak mungkin!” Abigail menolak percaya. “Mungkin saja,” sahut Lionell. “Untuk apa?” tanya Abigail bingung.   “Sebuah gelar, kebanggaan, kedudukan dan kenyamanan yang lebih baik. Menjadi Lady dari Sir Lionell Bridewood tentunya tidak akan lebih menarik daripada menjadi seorang Duchess of Marmalede, sepupuku.” “Sepupumu?” Abigail terdiam. Mencoba mencerna apakah yang diungkapkan Lionell adalah sebuah kenyataan atau karangannya belaka. “Sepupuku tersayang.” Kembali Lionell menegaskan. “Mengapa harus dengan melenyapkan nyawamu? Tidak bisakah dibicarakan baik-baik?” Abigail baru menyadari ada begitu banyak hal yang tidak pernah dia ketahui di luar sana. Lionell menggeleng, helaan napas panjang seakan memberi jawaban betapa dia sangat lelah dengan dua mahluk bodoh yang bersekongkol untuk membunuhnya. Padahal bila sepupunya mau memberitahunya mengenai perasaannya pada Penelope. Tentu saja, Lionell dengan senang hati segera melepaskan Penelope kepada Duke of Marmalade. “Sepertinya sudah tidak bisa dibicarakan lagi,” sahut Lionell. “Aku tahu! Kamu begitu mencintainya sehingga tidak rela melepasnya, bukan?” tanya Abigail semakin penasaran. “Aku rela melepaskannya namun karena juga terikat perjanjian pembatalan pertunangan maka sulit bagiku untuk bergerak. Dan seorang anak dari Sir Bridewood tentunya tidak memiliki sejumlah uang untuk membayarkan kebebasannya memilih istri.” Lionell menghela nafas panjang. “Untuk apa Anda harus membayar sebuah pembatalan pertunangan?” Abigail benar-benar pusing. Mengapa kehidupan para bangsawan begitu rumit. Hal sederhana diatur dengan sangat merepotkan semua pihak. “Karena itulah aturannya. Aku harus puas menerima pertunangan yang telah disetujui kedua belah pihak keluarga.” Lionell menatap mata Abigail. “Lagipula dengan adanya pertunangan ini aku mendapatkan keuntungan selama beberapa tahun berupa kebebasan dari kejaran para Lady dan ibu-ibu yang siap menjaring calon suami potensial setiap musimnya. Kamu tidak akan suka dengan intrik dan cara-cara yang mereka lakukan untuk mendapatkan calon suami potensial.” Lionell menutup penjelasan dengan senyum. “Heem, cukup rumit.” Abigail mengerutkan dahi. “Satu lagi, kamu belum menjawab pertanyaanku seutuhnya. Apakah kamu tidak mempermasalahkan pemutusan hubungan pertunangan ini? Kamu mencintai tunanganmu?” Abigail menatap penuh tanya. “Sejujurnya aku tidak peduli dengan pertunangan ini. Ada atau tidak semuanya tidak menjadi masalah,” ucap Lionell. “Bila saat kamu kembali ke London dan tunanganmu telah menikah?” Pertanyaan Abigail mengantung dengan tepat. “Bila begitu, maka aku akan menerima uang pembatalan pertunangan yang sesuai.” Tawa Lionell membuat Abigail ikut tersenyum.“Uang yang sudah sepatutnya kudapatkan untuk semua kesulitan yang mereka akibatkan.” “Kamu tidak berniat menuntut atau menjerat tunanganmu dengan hukuman?” Abigail berpikir Penelope harus menerima hukuman yang sepantasnya. “Mantan tunangan, harap diingat. Dan tidak, aku tidak ingin berurusan ataupun berada dalam jarak yang dekat dengan mereka.” Lionell merasa tergelitik dengan rasa penasaran Abigail. Gadis itu seakan mencoba membelanya. “Tapi saudara sepupumu mengambil Penelope, tunanganmu. Kamu tidak marah?” tanya Abigail geram. “Marah? Mungkin sedikit kekesalan pasti ada.” Lionell menunjukkan ujung jari kelingkingnya. “Tapi bisa kukatakan, cukup beruntung. Mengetahui wajah asli gadis itu sebelum akhirnya dia menjadi istri atau yang lebih parahnya lagi, ibu dari anak-anakku.” Abigail kembali mengangguk. Dia menyetujui pemikiran Lionell. Bila Penelope bisa melakukan tindakan tidak baik seperti yang direncanakannya pada tunangannya, maka tidka tahu rencana besar dan mengerikan seperti apa lagi yang bisa dilakukannya. “Mengenai sepupu dan mantan tunanganku. Sesungguhnya mereka sangat cocok, aku rasa,” ucap Lionell santai. “Lagipula siapa yang tidak terpesona dengan kecantikan Penelope.” “Kamu juga kecewa dengan pilihan Penelope?” Abigail berharap Lionell menjawab dengan jujur. “Tidak, kecantikannya tidak sepadan dengan tingkah lakunya yang menyebalkan,” ucapan Lionell membuat hati Abigail sedikit gembira. Dan perasaan gembira ini yang membingungkan Abigail. Mengapa? *            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD