6. Malam Reuni

2095 Words
“Aku hanya berpikir, Aska mana yang telah membekukan kartu kreditmu.” Winny berdeham pelan, lalu menyesap jus alpukatnya dengan canggung. “Bukankah kau yang mengatakan untuk tidak berteman dengannya?” “Aku memang mengatakan itu, tapi tidak menyuruhmu berbohong kepadanya.” “Ini caraku untuk mengakhiri pertemanan dengannya.” “Wow, cara yang sangat brilian,” ejek Aska. “Aku tidak tahu kalau memiliki istri yang pandai berbohong.” Winny menyipitkan mata. “Aku juga tidak tahu kalau punya suami penguntit.” Aska tertegun sejenak, merasa jantungnya berdebar karena disebut ‘suami’ oleh Winny. Sekalipun ujung kalimat itu tidak nyaman didengar, tapi dia suka karena ini pertama kalinya diakui sebagai suami. Apakah ini pertanda membaiknya hubungan mereka? Kalau tahu begini, harusnya dia pulang saja setiap hari untuk memperbaiki hubungan mereka, bukannya sibuk di kantor. Karena telah diakui, Aska mulai membayangkan seandainya Winny menyambut kepulangannya dengan senyuman, lalu memeluknya. Dia kemudian dibawa ke ruang makan, yang telah tersaji makanan di meja. Makanan itu buatan Winny. Sembari makan bersama, dia bercerita tentang pekerjaannya di kantor, lalu Winny memuji kerja kerasnya, dan kalau dia sedang ada masalah di kantor, wanita itu akan memeluknya untuk memberi semangat. Melihat senyuman dan penghiburan sang istri, membuat lelahnya langsung hilang. Selesai makan, mereka ke kamar, melakukan hal yang seharusnya pasangan lakukan dengan penuh kasih. “Kenapa dengan wajahmu?” Aska tersentak kaget karena suara Winny, dan lamunannya pun buyar. “Huh?” “Wajahmu memerah.” Aska mengalihkan pandangan, kemudian meminum jus jeruknya. “Kau memikirkan hal-hal kotor tentangku dari hasil menguntit?” “Apa yang kau bicarakan?” “Kalau tidak, kenapa wajahmu mendadak memerah?” “Kalaupun aku memikirkan hal kotor memangnya kenapa? Aku memikirkan istriku, bukan istri orang lain.” “Dasar mesum.” “Aku m***m dengan istriku sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu. Hukum pun tidak bisa menghukumku.” “Kau bangga dengan itu?” “Lupakan. Kenapa kau ingin bertemu denganku? Apa kau tidak tahu kalau aku banyak pekerjaan?” “Pekerjaan menguntit?” Aska menyipitkan mata. Winny cemberut sebentar, lalu kembali menegakkan kepalanya dengan gestur angkuh. “Baiklah. Aku ingin bertemu denganmu untuk membahas acara reuni sekolah kami besok malam.” “Kau ingin pergi?” “Ya. Aku ingin ke sana.” “Tidak bisa.” “Kenapa?” “Kau akan bertemu dengan mantan pacarmu.” “Tentu saja bertemu dengannya. Kami teman sekelas.” “Tidak bisa.” “Kalau kau takut, kau bisa ikut denganku. Mereka juga membawa pasangan atau anak mereka.” “Tetap tidak bisa.” Winny menghela napas. “Baiklah, mari berbisnis.” Aska mengernyit. “Kalau aku bisa ikut reuni besok malam, aku akan ikut denganmu pada acara ulang tahun pernikahan orangtuamu minggu depan.” Aska tertegun sejenak. Setahunya, Winny tidak pernah mau mengikuti acara apapun yang melibatkannya. Entah ulang tahun, acara keluarga, atau perjalanan bisnis ke luar kota. Wanita itu lebih sudi terkurung di rumah daripada menghabiskan lebih banyak waktu dengannya di luar rumah. “Bagaimana?” tanya Winny, dengan seringai kecil. Dalam cerita aslinya, Winny pun menawarkan perjanjian yang sama demi bertemu Kai. Walaupun pada acara ulang tahun pernikahan minggu depan, akan ada sesuatu yang mempermalukan Winny, dia tetap ingin pergi ke acara reuni dengan membuat pertukaran ini. Masalah minggu depan, nanti lagi dia pikirkan. Pertama-tama Winny perlu menguji sesuatu tentang mengubah alur nasib Winny sebelum mengambil tindakan lebih jauh, dan cara menguji itu akan dilakukannya pada reuni besok malam. Jika tindakan kecilnya tidak terlalu berpengaruh terhadap kejadian-kejadian lain dalam novel, maka dia akan melanjutkan gerakan yang lebih besar untuk menghindari kejadian memalukan minggu depan. Jika sebaliknya, dia perlu memikirkan ulang strateginya untuk menghindari kesialan akibat mengubah alur novel. “Sepertinya kau sangat ingin bertemu mantan pacarmu, sampai mengubah kebiasaanmu.” Aska memerhatikan setiap gestur Winny untuk mencari tahu apakah sang istri memiliki rencana terselubung. “Apapun alasanku, kau tidak akan rugi dengan kerja sama ini.” “Memangnya aku rugi apa kalau menolak kerja sama itu?” “Apa kau tidak malu terus-terusan datang sendiri pada setiap acara, padahal sudah menikah?” “Aku tidak keberatan. Lagipula...” Aska sedikit menyipitkan matanya, dan suaranya menjadi lebih dingin. “Aku lebih suka mengurungmu agar tidak ada yang melihatmu.” Winny merasa tengkuknya merinding, tapi ekspresinya masih tenang dan arogan. “Terserah apa katamu. Aku tidak ingin berbicara panjang lagi. Melihatmu dan berada dalam satu ruangan denganmu, selalu membuatku sesak. Katakan saja keputusan akhirmu; ya atau tidak?” Untuk membuktikan dia muak melihat Aska, Winny langsung berdiri dan menenteng tas selempangnya. Tindakannya itu membuat netra biru sang suami meredup, dan ekspresinya menjadi sedikit melankolis dalam beberapa detik. Tapi memang dasarnya pria itu juga arogan, pantang baginya menunjukkan kelemahan. “Baik. Sepulang bekerja, aku akan menjemputmu─” “Tidak perlu. Aku bisa pergi dengan pengawal. Datang saja pukul sembilan di depan hotel Karnova. Aku menunggumu di sana.” Selesai mengatakan apa yang dia inginkan, Winny langsung pergi dari ruang pribadi dalam restoran itu. Beberapa pengawal langsung mengikutinya, sementara Tian memasuki ruang makan, dan menemui bosnya. “Bapak baik-baik saja?” tanya Tian, ketika melihat bosnya memejamkan mata dalam posisi menyandarkan kepala ke sofa. Tanpa melihat sekretarisnya, Aska menjawab, “Aku pikir akan gila karenanya.” “...” “Detak jantungku dan suasana hatiku berfluktuasi karena sikapnya. Terkadang aku bahagia hanya dengan kata-kata yang tidak berarti apa-apa. Dia membuatku melayang dalam sepersekian detik, tapi di detik berikutnya, dia mendorongku jatuh dari awan.” Mata Tian membulat terkejut. “Apa saya perlu membuat jadwal pemeriksaan dengan dokter Haris, Pak? Halusinasi, jantung yang mendadak berdetak cepat, dan perubahan suasana hati, bisa jadi gejala penyakit berbahaya, Pak. Apalagi Bapak terlalu banyak bekerja.” Aska seketika menatap Tian dari ujung kepala sampai kaki, lalu bertanya, “Berapa usiamu, Tian?” “Tahun ini tiga puluh tiga tahun, Pak.” “Kau belum menikah?” “Belum, Pak.” “Pernah pacaran atau berkencan?” “Dulu pernah beberapa kali kencan buta, Pak, tapi semua wanita itu membuat kepala saya sakit.” “Jadi kau tidak pernah berkencan lagi?” “Tidak, Pak. Saya ingin fokus berkarier dulu. Lagipula saya sudah cukup bahagia dengan Mili.” “Siapa Mili?” “Nama kucing saya, Pak.” “Ah, begitu.” “Apa saya perlu menjadwalkan bertemu dokter Haris, Pak?” “Tidak usah. Aku sudah lebih baik setelah bicara denganmu.” Tian tersenyum lebar. “Saya senang mendengarnya, pak. Apa Bapak membutuhkan hal lainnya?” “Tidak. Kita kembali ke kantor.” Aska berdiri, lalu melirik Tian yang berjalan di belakangnya. “Aku akan memberimu tambahan bonus akhir bulan ini. Belikan makanan untuk Mili.” “Terima kasih banyak, Pak.” “Kapan-kapan aku ingin melihat kucingmu. Mungkin saja kucingku bisa luluh jika bertemu Mili.” “Bapak punya kucing?” Aska tersenyum kecil. Jika ada wanita yang melihat senyumannya saat ini, mereka mungkin akan berteriak kegirangan dan menjatuhkan diri ke pelukannya. “Ya, kucing milikku cukup liar.” “Apa Bapak perlu bantuan saya untuk menjinakkannya?” Aska berhenti melangkah, lalu menyipitkan mata untuk mengintimidasi Tian. “Hanya aku yang boleh menjinakkannya. Bonusmu akan dikurangi separoh.” Tian menganga tidak percaya, dan menangis diam-diam di dalam hati. “Di mana salahku?” *** Aska tertegun melihat Winny di dekat pintu masuk hotel. Wanita itu mengenakan gaun hitam panjang berbahan brokat, dengan panjang lengan mencapai bahu. Rambutnya yang disanggul menonjolkan leher putih nan jenjangnya, menambah kesan elegan jika disandingkan dengan sapuan tipis make up di pipinya. Kalung dan anting-anting sepaket merupakan merk Triple A yang paling mahal yang pernah dibuat perusahaannya. Dia tidak menyangka Winny akan mengenakan set perhiasan itu, mengingat wanita itu selalu membuang semua pemberiannya. Sang istri menjadi terlihat sangat cantik, seperti ratu di karpet merah. Seolah ada ratusan kamera yang menyorotnya. Aska yang sangat senang, berjalan mendekat, tapi kemudian menyadari bahwa sudah banyak orang yang bersama istrinya. Di antara semua teman itu, dia memerhatikan cara setiap pria memandang Winny; penuh nafsu dan mungkin mereka telah berpikiran kotor pula. Perasaan di hatinya menjadi tidak nyaman, tapi dia takut sang istri akan semakin membencinya ketika dia bersikap posesif di depan umum. Berhenti melangkah, lantas dia berbelok di tikungan untuk sembunyi. Dia perlu mengendalikan suasana hatinya sebelum ke sana, agar tidak meninju wajah para pria yang bercengkerama dengan istrinya. Tian memerhatikan bosnya yang sembunyi, dan ikut bersembunyi pula. Dia tidak tahu kenapa Aska melakukan respirasi berulang kali, tapi sebegai sekretaris yang baik, dia tidak akan mengganggu bosnya. Dia tidak mau bonusnya dikurangi lagi. Sementara itu, Winny bosan dengan wajah munafik orang-orang yang mengaku teman itu, tapi dia tidak mau membuat kesan yang angkuh karena tidak harus bersikap arogan jika tidak ada Aska. Awalnya dia pikir akan segera bertemu Rulma dan Kai di sana, tapi dua orang yang ingin dia lihat malah belum datang. Ketika akan masuk ke hotel untuk menanyakan tempat reservasi acara reuni, dia malah disapa beberapa teman lama Winny. Semua menanyakan kabarnya, dan kenapa dia menghilang dari desa sejak lima tahun lalu. Bahkan Kai juga pergi setelah Winny pergi. Teman wanita A, “Apa kau dan Kai akhirnya menikah? Kenapa tidak mengundang kami?” Teman pria B, “Sepertinya tidak begitu. Aku melihat Kai bersama wanita bernama Luna beberapa waktu lalu.” Teman wanita C, “Luna si artis FTV itu?” “Ya, mungkin saja itu nama panggung Winny. Wajah Luna dan Winny sangat mirip.” Semua orang kini menatap Winny. Tertawa, lalu Winny menggeleng. “Itu bukan aku. Aku tidak menikah dengan Kai.” “Artinya kau belum menikah?” tanya teman pria B. “Apa kau akan mendekati Winny kalau dia belum menikah?” “Apa yang salah dengan mendekatinya?” “Sadar dirilah. Kita bisa ke kota hari ini karena Laura membiayai perjalanan kita. Lalu, kau akan menggaet Winny dengan modal orang lain?” “Apa salahnya bertanya? Lagipula aku yakin Winny tidak memandang status orang yang ingin menjadi pasangannya. Kalau tidak, gadis terkaya di desa sepertinya, tidak akan mau pacaran dengan pria paling miskin di desa.” “Pria paling miskin itu juga pria paling tampan dan cerdas di desa.” “Lagipula, apa kau tidak minder dengan Winny? Lihat penampilannya. Semua yang dikenakannya barang bermerk. Apa kau bahkan bisa membeli gaun yang dikenakannya?” “Oh, ngomong-ngomong, apa kau akhirnya menjadi orang sukses juga seperti Kai, Win?” Sebelum Winny menjawab, diskusi panas itu disela oleh kedatangan seorang wanita yang menggamit lengan pasangannya. Winny ingat wanita itu adalah saingan Winny semasa sekolah. Gadis yang juga cukup kaya di desanya. Dia memang cantik dan pintar, tapi masih kalah pamor dengan Winny. Karena itu, pada beberapa kesempatan, dia menggangu Winny. Dia adalah umpan meriam yang membuat semakin eratnya hubungan Kai dan Winny. Namanya Laura. “Maafkan aku, teman-teman, aku sudah berusaha melobi wanita di meja resepsionis, tapi dia tetap tidak mau memberikan sewa kafe itu, tidak peduli seberapa besar kami membayar.” Laura memasang wajah sedih, masih menggamit pria tampan di sebelahnya. “Padahal suamiku sudah siap membayar banyak untuk acara malam ini.” Suami yang dikatakan Laura mengangguk ringan, menyetujui omongan istrinya. “Padahal kalian jarang-jarang main di kota, tapi kami malah tidak bisa membuat acara yang meriah untuk menyambut kalian.” “Kita bisa pindah ke tempat lain,” sela Winny. “Bukankah masih banyak tempat bagus di kota? Aku dengar Kafe di simpang jalan itu cukup terkenal.” Laura akhirnya menatap musuh bebuyutannya sejak sekolah. Bukannya merespon ucapan Winny, dia malah mencibir, “Oh, lihat, bukankah ini Dewi Sekolah kita?” Tidak melihat Winny menggandeng siapapun, membuatnya tersenyum senang. “Apa kau masih sendiri setelah dicampakkan oleh Kai?” Tatapan semua orang kini jatuh pada Winny. “Jangan bilang, kau masih mengaku-ngaku jadi pacarnya?” Winny menyeringai, dia suka wanita ini. Sudah lama dia tidak berdebat. Seminggu terkurung di rumah Aska membuat darahnya mendidih, dan Laura hadir sebagai tempat pelampiasan yang tepat. “Siapa yang memberi tahumu kalau dia mencampakkanku?” tanya Winny, sembari memerhatikan Laura yang menurutnya cukup cantik untuk standar masuk dunia entertainmen. “Rulma. Kita semua tahu dia teman baikmu.” Laura menaikkan dagunya dengan angkuh. “Kai sekarang sudah menjadi orang sukses. Putus denganmu sepertinya pilihan yang tepat.” Dia tertawa kecil. “Apa kau masih jadi simpanan om-om? Kudengar perusahaan ayahmu bangkrut dan kau terpaksa menikah dengan pria tua jelek untuk melunasi hutang-hutangmu.” Semua orang kini menatap Winny dengan terkejut, beberapa memasang ekspresi yang seolah mengatakan, ‘pantas dia bisa memiliki barang-barang bermerk.’ Winny tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha... Pria tua yang jelek? Jika ada wartawan yang mendengar pernyataanmu, kau akan menjadi bahan bullian wanita satu negara ini, Laura.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD