2. Kerjaan Perempuan Duit Melulu yang Diminta

1570 Words
“Duit melulu yang ditanya.” “Loh, ya memang benar kan kang. Katanya kamu suruh aku beli celana dalam, ya aku beli, tapi mana sini duitnya!” “Perempuan di mana-mana sama saja. Enggak pernah mau direpotkan. Cerewet, bawel, apalagi kalau tahu suaminya lagi sekarat ekonomi, bisa sampai ditindas habis-habisan nuraninya. Pakailah dulu duitmu Ma. Jangan terlalu pelit sama suami.” “Kang, memangnya selama ini aku pelit? Yang beli token listrik siapa? Yang beli gas, beras, ke pasar setiap pagi, siapa?” “Nanti aku ganti.” “Lagu lama. Kamu selalu saja menjanjikan itu. Iya nanti diganti. Nanti diganti. Tapi sampai sekarang, sampai hutang-hutangmu itu sudah menumpuk hingga entah berapa jumlahnya, tetap saja enggak diganti.” “Kamu tuh Ma, sama suami sendiri perhitungan.” “Loh kang, bukan aku perhitungan. Kewajiban aku dan kamu sebagai sepasang suami istri itu berbeda. Suami wajib menafkahi istrinya dan sang istri wajib melayani suaminya dengan baik.” “Ya, tapi kalau suaminya nganggur macam aku, haruslah istri menolong kebutuhan suaminya juga. Sekalian tuh, kamu beli daster beberapa buah buat ganti. Yang bolong-bolong jadikan lap saja.” “Ini belum sempat aku jahit kang. Nanti kalau sudah ada waktu dan suasana perasaanku lagi enak, aku jahit, sekalian celana dalam kamu juga.” “Celana dalam kok dijahit. Enggak enak dong nanti dipakainya. Menyon-menyon kayak mulut kamu.” “Sembarangan menyon!” “Memang benar kok. Dari semenjak kamu taruh sepatumu itu di situ,” Panji menunjuk ke sepatu Rahma yang tergeletak di dekat pintu. “sampai sekarang kamu duduk berdampingan sama aku, mukamu tuh enggak ada manis-manisnya.” Suara Panji dikecilkan dan ia tetap menggerutu. “Untung bukan buah. Kalau iya, sudah aku buang.” “Apa kamu bilang?” “Apa?” Panji berpura-pura tidak paham. “Barusan, kamu bilang apa?” “Kalau kamu itu buah yang sepat, asam, pahit, sudah aku buang. Siapa coba yang mau makan buah macam itu? Kamu sendiri enggak mau bukan?” Rahma mendengus kesal dengan mata menyipit. “Kang, anak-anak yang les privat belum pada bayar?” “Belum.” “Bagaimana sih? Kan perjanjiannya awal bulan. Tapi sampai pertengahan ini belum juga ada yang bayar.” “Ya sudah biar. Mungkin orang tuanya memang lagi enggak pada punya uang. Sama kayak kita.” “Enggak bisa begitulah kang. Kan sudah disepakati bersama antara kamu dan mereka. Kalau mereka sudah menyanggupi harusnya bisa menepati janji. Minimalnya memberikan kabar disertai alasan. Jangan berpura-pura enggak tahu atau enggak ingat.” “Jangan suudzon.” “Bukan suudzon. Dilihat dari mereka yang ikut privat di akang kan ada yang orang tuanya bawa mobil, pakai motor tapi perhiasannya seabreg goyang-goyang di badan, apa itu namanya kalau bukan orang berada?” “Ya sudah biarkan. Mereka mau ingat dengan kewajiban membayar atau enggak, itu urusan mereka dengan Tuhan. Biar Tuhan yang menilai dan kalau toh benar mereka sedang susah, wajarlah kita bantu. Mudah-mudahan suatu saat melalui tangan Tuhan ada pula yang menolong kita ketika kita kesusahan. Bukankah Tuhan Maha Adil?” “Akang nih. Terus saja membela mereka. Jangan takut kehilangan murid kang. Kalau memang mereka sudah seharusnya membayar ya akang tagihlah. Nanti kalau aku yang menagih kan enggak enak. Aku jarang ngobrol soalnya sama mereka.” “Nah itu. Itu kekurangan kamu yang harus diperbaiki untuk membantu akangmu ini. Semestinya kamu itu ikut terlibat aktif dalam kegiatanku. Dalam sanggar yang kubangun selama bertahun-tahun lamanya yang akhirnya mesti kupindahkan juga ke sini. Ma, mulut lelaki dan wanita itu berbeda. Lelaki lebih banyak diam, apalagi untuk menyoal keuangan rumah tangga. Kalau perempuan wajar, memang takdirnya harus bawel. Cobalah kamu mulai sekarang ikut terlibat aktif dalam sanggar tariku ini. Enggak cuma bikin-bikin perlengkapan menari, tapi juga aktif nagih iuran tari. Pasti lancar deh kalau kamu yang nagih. Tapi nagihnya jangan pakai manyun tuh bibir apalagi sampai melotot bola matanya lompat-lompat kayak mau jatuh. Nanti yang ada pada kabur murid-muridku.” Rahma mulai tersenyum mendengar kalimat lucu suaminya. “Nah, begitu dong, senyum. Kan sedap dipandang. Meskipun pulang-pulang belum mandi, badan masih bau asam, tapi kalau suami dikasih senyuman sama istri hati tuh jadi terasa adem, nyaman, damai begitu bawaannya.” “Lebay.” Panji mencubit gemas dagu istrinya. Ia kemudian menghela nafas berat. “Nanti kalau anak-anak sudah pada bayar iuran, kamu beli daster yang baru.” “Sama celana dalam kamu?” “Enggak usah. Celana dalam aku kan enggak kelihatan. Kalau daster kamu itu kan kelihatan terang banget Ma. Bolong kecil saja sudah bikin mata gatal. Kalau aku enggak bisa tahan, sudah aku sobek-sobek sekalian tuh daster biar tambah berlubang besar dan sulit dijahit lagi. Pokoknya, nanti kalau sudah ada yang bayar, jangan menunda lagi untuk membeli. Lekas ke pasar dan cari yang murah tapi berkualitas, biar awet tahan lama.” “Ya ampun kang, mana ada produk bagus berkualitas tapi harganya murah.” “Enggak ada ya?” Panji pura-pura bodoh dan tidak tahu. Ia suka menyaksikan istrinya dipermainkan oleh kata-kata. “Ya ada mungkin, tapi susah! Mau cari di mana?” “Ya sudah, cari yang biasa saja kalau begitu. Enggak usah mimpi tinggi-tinggi ingin beli daster yang bagus dan berkualitas. Itu cuma buat ibu-ibu kalangan elit saja.” Rahma geleng-geleng kepala. “Memangnya ibu-ibu elit pada suka pakai daster? Sok tahu!” “Loh, daster itu bukannya pakaian kebesaran kaum istri ya? Eh, tapi yang remaja juga banyak kok sekarang pada pakai daster kalau di dalam rumah. Tuh yang depan rumah, Si Damay pakai daster kalau lagi nyapu di teras rumahnya.” “Akang suka memperhatikan dia?” “Loh, kan kita tetanggaan. Kalau kamu pergi mengajar terus akang menyiram kembang di depan dan mungkin pas Si Damay itu lagi enggak ada jam kuliah, akang suka lihat dia beres-beres rumah tuh. Nyapu, ngelap meja, jendela, pakai daster dia.” Rona wajah Rahma berubah kesal. “Ih akang, jelalatan banget sih matanya!” “Kok jelalatan! Terus masa akang harus tutup mata sewaktu menyiram kembang. Yang ada bukan siram kembang nanti, malah nyemprot yang lagi jalan kaki lewat depan rumah kita. Mau kamu akangmu ini disembur disewoti orang gara-gara sembrono, nyiram kembang saja enggak becus!” “Ya enggak begitu juga kang.” Panji mesam-mesem. “Kamu cemburu ya?” “Enggak.” “Iya, pasti kamu cemburu.” “Idih, ngapain pakai cemburu! Rahma enggak cemburu akang. Ngapain juga pakai cemburu sama Damay yang masih bau kencur itu.” “Eh bau kencur, sudah belia itu.” “Bau kencur. Belum punya pengalaman apa-apa!” “Pengalaman apa?” Tatapan Panji menyelidik. Kali ini ia benar-benar tidak paham maksud istrinya. “Pengalaman ngebor!” Panji tertawa terbahak-bahak. Astaga, istrinya terserang penyakit apa di siang bolong begini? Dari yang awalnya datang dalam keadaan jengkel, sebab gagal tes PPPK, lalu sempat marah gara-gara disindir dasternya bolong, dan sekarang dongkol lagi hanya karena si gadis kuliahan itu. Wanita, di mana-mana sama! Tidak jelas maunya apa. Panji berbisik di telinga istrinya. “Kamu sudah bersih belum?” “Mau apa? Pengamannya habis dan aku enggak mau sampai kebobolan!” “Beli buat nanti malam.” Kembali Rahma menadahkan telapak tangannya. Dasar peneror ulung! “Mana sini duitnya! Sebelum siswa-siswamu itu datang dan aku mesti juga berangkat mengajar les.” Panji memohon. “Pakailah uangmu dulu. Nanti kuganti. Masa tega sih membiarkan suamimu hampa di malam ini. Seminggu lebih loh Ma kita absen. Memangnya kamu enggak kepengen?” “Enggak!” jawab Rahma dengan ketus. “Oh, atau kukeluarkan saja di dalam, ya?” Suara Rahma meninggi. “Enggak! Awas saja kalau sampai ada yang nempel di rahimku. Pokoknya aku belum siap untuk hamil dalam kondisi kita yang masih begini sulit.” Panji menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ya sudah, kukeluarkan saja nanti di luar.” “Jangan! Berceceran di mana-mana nanti. Berantakan! Malas aku mencuci seprai sebesar itu. Mana bahannya tebal. Berat nyucinya.” Rahma melengos masuk ke kamar. “Ya sudah, sumpal pakai tisu biar enggak berantakan.” “Tisunya habis!” Teriak Rahma dari dalam. Panji mengulang kalimat istrinya dengan nada pelan sebagai tanda sindiran. Bukan teruntuk istrinya sebetulnya, tetapi lebih kepada dirinya sendiri dan ini benar-benar menyebalkan. “Tisunya habis. Mana sini uangnya buat beli.” “Nanti kalau aku sudah punya uang yang cukup kubelikan kau mesin cuci supaya enggak pegal lagi walau harus menyuci setumpuk berlian.” Panji cekikikan. Gigi-giginya yang putih berderat rapi dibingkai oleh warna kulit hitam pekat bawaan sejak lahir. Ngidam apa mamahnya Rahma itu sampai-sampai anak semata wayangnya jatuh cinta sama seniman enggak jelas. Kere, tunawisma, hitam tidak pakai ganteng pula. Jauh dari sebutan pria idaman. Apa sih yang Rahma kagumi dari pria semacam itu hingga berani menambatkan hatinya secara utuh dan seluruh? Atau jangan-jangan dia sudah dipelet, diguna-guna? Rahma ke luar dari dalam bilik sudah memakai pakaian rapih lengkap dengan jilbab yang menjuntai memahkotai rambutnya. “Mau ke apotek kan?” “Iya,” jawab Rahma dongkol. Ia lalu mencium punggung tangan suaminya. Kalau bukan karena selalu teringat pesan sang mamah bila ia harus menurut dan menghormati titah suaminya, mana mau Rahma melakukan hal semacam barusan. “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam. Hati-hati sayang. Awas kepeleset jatuh. Kalau ada yang jahil beritahu akang, tak samperin nanti!” Rahma kemudian berlalu dan seusai memastikan istrinya itu telah menggenjot lagi sepedanya, lagi-lagi Panji cekikikan puas. “Berkeinginan juga dia ternyata.” Panji beranjak ke sudut dan menyetel sound system yang mengeluarkan instrumen gamelan. Ia pun mulai menari dengan penghayatan yang teramat dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD