bc

Opera Guru Honor dan Seniman Tari

book_age16+
3
FOLLOW
1K
READ
family
HE
heir/heiress
drama
sweet
mystery
loser
lucky dog
like
intro-logo
Blurb

Keras kepala! Begini jadinya, jika Rahma yang cuma guru honor di TK menikah dengan seniman tari yang penghasilannya alot! Buat mengganti daster yang bolong dan beli baru celana dalam saja enggak sanggup!

chap-preview
Free preview
1. Gagal Tes
Rahma mengayuh sepeda kumbangnya dengan perlahan-lahan. Sinar di matanya menggambarkan ketidakpastiaan. Ia seperti tengah tidak berbahagia dan sulit berdamai bersama keadaan. Pakaian rapih khas guru yang senantiasa ia kenakan setiap Hari Senin hingga Jumat ditambah dengan wibawa yang tak pernah luntur terpancar dari sosoknya, membuat ia tetap disegani oleh para orang tua yang telah menitipkan putra-putri mereka di sekolah di mana ia mengajar. Tetangga-tetangga di sekitar tempat tinggalnya pun tetap menyebutnya sebagai guru, walau modalnya cuma dua. Sepeda kumbang yang tak lepas dari genggaman di tangan yang menjadi alat transportasi pergi dan pulang mengajar serta tekad yang kuat sebagai seorang pendidik. Rahma bersama sepeda kumbang kesayangannya melintasi area pemukiman warga. Semua sama dan rata. Tidak ada rumah gedong yang menonjol atau kendaraan mewah yang terparkir di salah satu titik di area ini. Ada hanya kandang ayam yang memuntahkan induk beserta anak-anaknya. Sesekali terdengar pula suara embikan kambing yang pasti berasal dari belakang rumah pak lurah. Rahma terus saja mengayuh sepedanya dengan lesu. Nampak tak bersemangat sekali ia siang ini. Tidak seperti biasanya. Mungkinkah ada orang tua yang mengutarakan komplain mengenai cara mendidik dirinya terhadap putra mereka atau habis ditegur keras oleh kepala sekolah atau mungkin saking lelahnya ia berinteraksi dengan anak-anak balita? Untuk nomor tiga sepertinya tidak pernah masuk ke dalam daftar alasan tepat yang sanggup menurunkan semangat Rahma. Ia bukan tipe guru yang mudah putus asa dalam menghadap anak-anak didiknya, lantas untuk melampiaskan itu ia menjadi jengkel dan saking tidak tahu lagi harus melakukan apa agar anak-anaknya itu mau menurut, ia pun mengambil langkah cepat dengan menakut-nakuti mereka. “Jangan berantem ya El, Rian. Nanti kalau berantem malamnya mimpi buruk loh!” Kadang Rahma ingin sekali bicara seperti itu terhadap dua atau lebih dari anak-anak yang berada dalam kelasnya agar mereka mau segera berhenti berebut mainan. “Nisa, jangan nangis! Nanti ada bapak kepala botak!” Bocah perempuan polos yang rambutnya senantiasa terurai sebahu itu pun sontak membisu sambil membayangkan lekat bagaimana rupa bapak kepala botak itu. Ia bingung harus cemas atau tertawa. Abu-abu sekali penampakan bapak kepala botak dan ia hanya mampu bergeming. Diusapnya sisa air mata yang masih membasahi pipinya. Oh, kejam sekali guru semacam ini. Tidak punya daya lebih dalam menguasai anak-anak didiknya lantas mengambil langkah instan dan Rahma tidaklah sanggup merealisasikannya. Itu semua hanya sampai pada bayangan-bayangan buruk yang melintas dalam benaknya. Tak sampai menggerogoti. Hanya saja ia gemas, mengapa harus mengandai-andai hingga ke arah sana? Guru macam apa ia kalau itu benar-benar terjadi. Kasihan anak-anak dan mau dibawa ke mana masa depan mereka nanti? Roda itu berputar dan masuk ke halaman depan rumahnya. Berhenti, lalu si empunya turun dan menurunkan standar sebelum akhirnya membiarkan sepeda itu terbenam sendirian di bawah sengatan sinar matahari siang hari. “Assalamualaikum.” Suaranya tawar dan ia memandang suaminya tengah membaca koran di atas kursi usang pemberian nenek dulu. Rumah yang mereka tempati ini sebetulnya bukanlah milik mereka. Masih menjadi kepunyaan sah sang mamah. Warisan dari ibundanya. Awalnya beliau menyayangkan ingin mengibahkan rumah tersebut kepada Rahma, lantaran menantunya itu tak pernah sejalan dengannya. Buat apa memfasilitasi Rahma yang susah sekali diberitahu dan keras kepala. Sudah dibilang jangan menikah dengan seniman tari yang penghasilannya alot, masih saja ngeyel! Tetapi apa boleh buat. Rahma anak satu-satunya yang ia punya dan sebagai seorang ibu tentu saja akan memberikan apapun yang ia punya asalkan anaknya bahagia dan tidak menderita. Akan tetapi sampai detik ini. Hingga tiga tahun Rahma dan suaminya membina mahligai rumah tangga, sang mamah belum juga menyaksikan putrinya itu benar-benar bahagia. Belum dikarunia momongan dan kehidupan Rahma serta suaminya masih sangat prihatin. “Untung Rahma belum hamil sampai sekarang ya pah. Coba kalau iya, mau dikasih makan apa anak mereka nanti? Pekerjaan Panji saja tidak jelas kok,” komentar sang mamah kepada suaminya sembari meletakkan secangkir teh pahit hangat di atas meja di hadapannya. Sementara di bawah atap berlubang besar, Rahma mencium punggung tangan suaminya dengan tidak b*******h selepas melepas sepatu dan menyimpannya di dalam dekat pintu. Panji memperhatikan, tetapi ia tidak berkomentar. Perempuan, kalau lagi datang bulan bawaannya memang seringkali tidak jelas. Rahma merapatkan bibirnya dan tidak melempar senyuman manis sama sekali. Ia terus saja berjalan masuk ke kamar. Menyibak tirai yang kemudian berayun-ayun kencang seperti habis terkena angin ribut. Rahma menaruh tasnya sembarang di atas meja, kemudian membuka lemari pakaian dan berganti daster. Ia kembali lagi pada suaminya setelah menyimpan ke dalam ember di kamar mandi pakaian seragam yang tadi dikenakannya. “Datang itu ucap salam, kasih senyum paling menawan buat suami, jangan cembetat-cembetut. Enggak sedap dilihatnya.” Panji menutup lembaran-lembaran koran dan meletakkannya di atas meja di depan mereka. “Aku gagal lagi kang.” “Apa?” Kini perhatian Panji hanya tertuju pada istrinya di sebelah. “Tes.” “Tes yang kemarin kamu ikuti di sekolah yang jauh banget itu?” Jawaban Rahma seperti tersekat di tenggorokan. Pasti suaminya akan mengatai atau meledek lagi. “Iya.” Benar saja. Panji mencibir. Bibirnya maju mundur dan apa yang dikunyah selain ludahnya sendiri? Ekspresi mukanya benar-benar sepat! “Udah berapa kali sih kamu ikut tes?” Panji menunjuk menggunakan bibirnya yang maju lima senti. “Tuh, Ibu Satire. Sampai umur empat puluh lima nasibnya masih saja jadi guru honor. Apa sih yang kamu cari Ma?” “Akang sendiri mencari apa dengan membuka sanggar tari ini?” Rahma tak mau kalah pendapat dengan suaminya. Toh, memang kenyataannya mereka sama-sama tengah berjuang dalam bidangnya masing-masing. Rahma dengan profesinya sebagai guru dan Panji sebagai seniman tari. Apa bedanya? “Loh, ya beda dong Ma. Akang ini bergeliat di seni pakai hati.” “Akang pikir aku mengajar enggak pakai hati?” “Tapi sering baperan kan?” Rahma menelan liur. Pahit. Tahu saja suaminya soal dunia wanita yang tak pelak dari arogansi mengedepankan perasaan dibandingkan logika. “Perempuan di mana-mana memang begitu kang. Enggak cuma aku dan itu terlepas dari profesiku.” Panji mengaitkan jari-jemari tangannya di pangkuan, kemudian menghela nafas. Beberapa detik ia memandang istrinya dan Rahma yang menangkap sesuatu di balik sorot mata suaminya, mengangguk sekali. Mempertanyakan ada apakah gerangan? “Ma, mending kamu fokus bantuin akang di sanggar ini. Kalau kamu punya lebih banyak waktu, jahitan baju, selendang, sobra dan aksesoris yang kamu buat lainnya buat anak-anak menari bisa lebih banyak dan peluang untuk menyewakan besar loh Ma. Untung kan kita?” “Kang, walau aku mengajar dan memberikan les-les tambahan di luar jam mengajarku, aku kan tetap masih bisa memenuhi yang akang minta itu.” “Tapi kan jadinya enggak maksimal Ma. Yang harusnya bisa kelar cepat, ini tertunda lama. Yang harusnya sudah dapat dua, ini baru satu. Tempo hari saja dari Sanggar Cipta Kencana mau sewa tiga baju tari jadinya batal cuma gara-gara kita punya satu doang. Kan lumayan Ma kalau orderan itu diterima.” Tanpa sengaja selintas Panji melihat bagian lengan daster istrinya sobek lebar. “Kamu enggak ada daster yang lain? Itu melulu yang dipakai.” “Ada, tapi belum sempat dicuci. Lagi mager kang. Akang dong belikan daster yang baru untuk aku.” “Halah, celana dalam aku sendiri saja sudah ada beberapa yang bolong Ma. Adanya juga kamu yang harus belikan buat suamimu!” Rahma mengulurkan tangan yang tengadah. “Mana sini duitnya!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook