Kelompok Pentas Seni

1778 Words
Tiga minggu berlalu begitu cepat, kegiatan belajar sudah melewati satu bulan lebih satu minggu. Baru dua hari ini, kelas sepuluh disibukkan dengan persiapan pentas seni yang diselenggarakan setiap tahun setelah Ujian Tengah Semester. Pentas Seni atau biasa dikenal dengan PENSI ini sudah terselenggara selama 5 tahun ke belakang, kegiatan ini diselenggarakan oleh kelas 12 dan didukung oleh pihak sekolah sebelum mereka sibuk menghadapi ujian-ujian, semua kelas dua belas menjadi panitia sekaligus tamu yang menerima persembahan spesial dari siswa kelas sepuluh. Untuk tahun ini mereka mengusung tema Catching Feeling. Kelas sepuluh berjumlah delapan kelas, empat kelas IPA dan empat kelas IPS. Ega berada di kelas MIPA 4 dengan jumlah siswa 28 orang. Setiap kelas wajib menampilkan dua pertunjukan seni, maksimal menampilkan empat pertunjukan dan maksimal lima puluh menit untuk keseluruhan penampilan. Ega menyandarkan punggungnya di kursi, ia menatap ketua kelas, sekretaris kelas, dan Egi yang sedang berdiskusi di depan kelas setelah membicarakan teknis PENSI yang mereka peroleh ketika kumpul dengan panitia PENSI. "Urang aya lima list, ke namah terserah batur ek milih numana." (Kita punya lima list. Nanti terserah teman-teman mau pilih yang mana.) Ucap ketua kelas sambil menatap teman-temannya yang lain, sementara itu sekretaris berjalan ke arah papan tulis dan menulis daftar yang sudah mereka diskusikan tadi. 1. Drama musikal 2. Modern & Tradisional Dance 3. Musikalisasi Puisi 4. Keroncong 5. Band "Ai ceuk aing mah, bawa wae kabeh Dit." (Kalau menurut gue mah ambil semua aja Dit.) "Teu bisa kitu No, maksimal na oge opat, jeung deui b***k kelas urang teh ngan aya dua puluh dalapan." (Nggak bisa No, maksimal empat. Terus kelas kita juga cuma punya dua puluh delapan.) Jawab ketua kelas. "Urang aya waktu yeuh dua bulan jeung persiapan." (Kita punya waktu dua bulan buat persiapan.) Tambahnya. "Geus band mah hapus wae, da dimusikalisasi oge pake alat musik pan? Hijikeun wae, ke diakhir urang nyanyi sakalian flashmob." (Yasudah band hapus aja, di musikalisasi puisi juga pakai alat musik kan? Satuin aja. kita bisa nyanyi di akhir sekalian flashmob.) Usul gadis dengan kacamata cokelat, Anna. Adit si ketua kelas mengangguk, dia menatap teman-temannya untuk meminta pendapat atau persetujuan dari usulan tersebut, beberapa dari mereka mengangguk setuju dengan usulan Anna. "Dit, diskusinya pakai Bahasa Indonesia aja, ada orang yang nggak ngerti nih." Usul Hani tiba-tiba. "Oke, oke, maaf ... sesuai usulan, kita ambil empat kelompok ya, sekarang kita tentuin orang-orang tiap kelompoknya." Ucap Adit. "Hani, Susan, Nadia, anak teater kan? masuk ke drama musikal boleh?" Lanjutnya menatap nama-nama yang ia sebut. Ketiga gadis itu mengangguk santai. Adit beralih menatap siswi yang berdiri di sebelahnya. "Tulis Din." "Oke." Dinda langsung menerima intruksi, sementara Dinda menulis Adit menunjuk teman-temannya yang lain dan menempatkan di posisi yang sekiranya tidak terlalu susah untuk mereka. "Clara juga jago drama noh, hidupnya penuh drama. Masukin aja." Celetuk Reno yang membuatnya kena lemparan tisu dari Clara. Adit tertawa, "Masukin Reno ke drama." Ucapnya menatap Dinda. Dinda mengangguk, dia segera menulis nama Reno. "Kok gue sih?" "Mampus lo." Clara balik mengejek. "Lo cocok jadi pemeran utama." Jawab Adit sedikit menggoda. Reno kemudian memamerkan senyum sombong nya, dia membenarkan kerah bajunya. "Bisa aja lo." Sementara Reno tersanjung, Adit menatap white board lalu membaca daftar. 1. Drama musikal : Hani, Susan, Nadia, Bima, Agus, Reno 2. Modern & Tradisional Dance: 3. Musikalisasi Puisi : Adit, Egi, Gita 4. Keroncong : Putra, Royan "Dit, tari satu aja. Tradisional cukup." Usul Clara. Dia kemudian berdiri. "Maunya gua mah yang tampil pertama tari tradisional, buat sambutan gitu dilanjut sama keroncong, abis itu drama musikal, terus penutup kita ada musikalisasi puisi, di akhir kelompok musikalisasi kita yang di backstage ngumpul buat nanti flashmob." "Nah iya, boleh tuh." Dukung gadis dengan rambutnya yang di cepol berantakan. Adit menatap teman-teman meminta persetujuan untuk usul Clara. Teman-temannya mengangguk saja. "Oke makasih Clar, kita terima usulan lo. Tari butuh berapa orang?" "Tergantung sih ... satu orang juga bisa." Jawab Dinda. "Oh iya, lo anak tari ya ... di kelas ini yang anak tari ada berapa?" "Cuma gue sama Farah." "Yasudah coba lo tulis dulu." Dinda mengangguk, ia kemudian melaksanakan intruksi Adit. "Clar, lo juga masuk tari aja ya." "Boleh-boleh." "Dit, Fikri keroncong bareng gue." "Siap." "Musikalisasi instrumennya apa aja?" Tanya Bara, laki-laki berambut ikal yang duduk santai di kursinya. "Gue main gitar, Egi piano, Gita biola---" "Hmm ... Gue masuk Keroncong deh kalo gitu." Adit tercengang, "Lah?" "Musikalisasi udah pas Dit, tinggal nyari dua orang buat baca puisi aja." Adit mengangguk-angguk, dia lalu tersenyum lebar. "Bangga deh gue, kita kelas ipa tapi banyak anak seni juga." Ucapnya. "Anak indung bapa atuh Dit" "Nyaho si Adit teh, jigana lahir ti senar gitar." Mereka tertawa, Ega hanya tersenyum, dia cukup bisa mengerti ucapan teman-teman walau belum tahu banyak kosa kata bahasa sunda. Setelah saling lempar candaan itu, Adit kembali pada topik diskusi mereka. "Bagas lo masuk keroncong ya." "Nggak bisa gue." "Belajar sama gue nanti Gas." Ucap siswa di meja sampingnya, Putra. Bagas mengangguk ragu, tapi kemudian dia memberikan anggukan pasti. Adit tersenyum, dia kemudian memperhatikan satu per satu wajah teman-temannya. "Ega masuk drama musikal ya? Nanti bisa belajar sama Hani." Ega hendak mengangguk namun Hani lebih dulu bersuara, "Dia nggak cocok, emosinya kurang." "Kan bisa belajar bareng Han." Hani menggeleng, "Gimana ya jelasinnya, seni peran sama aja kita pura-pura jadi orang lain kan, kasarnya nih dia terlalu flat nggak bisa nunjukin emosinya." "Sorry Ga, ini demi kebaikan lo." Bisik Hani kemudian. Ega menatap sahabatnya itu agak tidak mengerti kata 'kebaikan' yang dimaksud Hani, meski begitu penilaian Hani memang ada benarnya. "Tapi dia juga gabisa tari, badannya kurang lentur ...." Hani bergumam. "Musikalisasi puisi cuma butuh suara puisi doang kan?" Tanyanya kemudian. Adit mengangguk. Hani kemudian berbalik, dia menatap Ega. "Lo bisa masuk disitu. Latih suara aja biar dapet feel puisinya." Hani memberikan saran. Ega masih ragu, dia menatap Hani yang memancarkan aura dukungan untuknya. Dia kemudian mengangguk. Hani tersenyum, tubuhnya berbalik kembali. "Gue musikalisasi puisi aja." Ucap Ega. Adit mengangguk, Dinda juga menuliskan namanya dalam list kelompok musikalisasi puisi. Adit kembali menawarkan satu per satu bagian kelompok untuk pentas seni agar teman-temannya tidak merasa terlalu terbebani, namun karena hal itu mereka melewati perdebatan dan kebingungan yang cukup panjang. Setelah hampir menghabiskan dua jam, mereka berhasil membentuk timnya masing-masing. 1. Drama musikal : Hani, Susan, Nadia, Bima, Agus, Reno, Ammar, Tika, Dwi, Putri, Wahyu, Yuni, Deni 2. Tradisional dance : Dinda, Farah, Clara, Nur, Syifa 3. Musikalisasi puisi : Adit, Egi, Gita, Ega, Chintya 4. Keroncong : Putra, Royan, Fikri, Bara, Bagas "Hatur nuhun sadayana. Hati-hati di jalan." Ucap Adit menutup diskusi. Mereka berkemas, jam pelajaran berakhir dari pukul tiga sore, dan mereka menyelesaikan ini hingga hampir pukul lima sore. "Hati-hati di jalan, gue duluan ya, ada rapat osis." Hani pamit pada Ega, ia kemudian berlari keluar kelas. Hani sudah menjadi siswi aktif di sekolah, setelah memulai sekolah menengah atas, mereka jarang terlihat pulang bersama. Ega hanya mengikuti satu ekstrakulikuler sebagai syarat wajib untuk mendapatkan nilai keaktifan di rapornya nanti, ia mengikuti ekskul fotografi yang hanya kumpul rutin dua minggu sekali atau jika ada event besar saja. "Pulang sama siapa?" Ega yang baru beranjak dari kursinya menoleh ke belakang. "Sendiri?" Jawab Ega dengan nada bingung. "Mau bareng?" Tawar pria yang masih duduk di belakang kursi Ega. Ega menggeleng. "Oh, yaudah ... hati-hati." Ega mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia berjalan keluar kelas sambil mengontrol jantungnya yang tiba-tiba berdetak tidak karuan saat menatap kedua mata pria penunggu kursi belakangnya itu, terasa mendadak seperti memiliki riwayat penyakit jantung. * * * * * Ega membuka pintu kamarnya setelah membantu ibunya menyiapkan makanan di dapur, dia menyimpan tas sekolahnya lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya menerawang jauh. "Musikalisasi puisi? Gue bisa? Ah nggak, sebenarnya apa yang gue bisa? Gue cuma kurang bersungguh-sungguh. Iya betul." Ucapnya bergumam memotivasi diri sendiri. Dia kemudian duduk, mengumpulkan mood untuk mandi membersihkan tubuhnya. Melirik jam di dinding kamarnya. hampir pukul enam sore. Drrrtt Drrrt Drrrt Drrrt Suara getaran notifikasi masuk beruntun dari handphonenya yang masih di dalam tas, ia lekas merogoh tasnya mengambil benda persegi panjang sumber getaran itu, lalu memainkan jarinya di atas layar benda persegi panjang tersebut. Satu grup chat baru di aplikasi Line, TIM MUSIKALISASI PUISI Dia lantas membuka room chat yang sudah berisikan 12 pesan chat belum terbaca. Gita Mawar Gue udah dapet dua puisi nih, sama not instrumennya juga Aditya Januar Besok bawa Git, kita coba besok abis kelas. Chintya Md Bsk? Aditya Januar Hooh Gita Mawar Gue bawa biola dong Aditya Januar Muhun Egi W End Latihan dmna? ruang musik gk boleh di pake Gita Mawar Piano lo gmna Egi W End Ada. Di rumah Gita Mawar Yaudah Chintya Md Di rumah lo brti Gi, gk mungkin lo bawa-bawa piano ditempat lain Aditya Januar Wkwk, yaudah besok fix di rumah Egi. Ega hanya menyimak obrolan teman-temannya, Hani seperti sengaja memasukkannya ke dalam tim musikalisasi puisi karena gadis itu tahu Ega masih menyukai Egi, dan sangat mendukung Ega bersama laki-laki itu. Tok Tok Tok "Udah selesai bersih-bersih nya? Ayo turun. Bentar lagi ayahmu pulang." Ega menghela napas. "Iya Bu nanti Ega turun. Ega baru mau mandi." Gadis itu menyimpan handphonenya di nakas, menyambar handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Setelah membersihkan diri, Ega turun menemui kedua orang tuanya yang sudah duduk di kursi makan. Ega mengambil duduk di samping ibunya, sementara itu wanita paruh baya menyiapkan piring berisi nasi dan lauk-pauk untuk suaminya lalu piring kedua ia siapkan untuk anak gadis sematawayangnya. Piring terakhir ia siapkan untuk dirinya sendiri. Atmosfer di meja makan nampak sedikit tegang padahal hanya karena ada suara alat makan beradu, itu karena tidak ada pembicaraan atau sekedar sapaan di penghujung hari, mereka fokus pada makanannya masing-masing. Ayah Ega selesai makan terlebih dahulu, pria paruh baya itu mengambil satu kotak persegi dari tas hitam di sebelahnya, dia lalu menyodorkan kotak itu pada Ega. "Ini jam tangan buat kamu, Ayah beli ini karena warnanya cocok buat kamu pakai." Ega menelan makanan yang masih ada di mulutnya, dia lalu mengambil kotak persegi itu. "Makasih Yah." Jawabnya sambil tersenyum. Ayah Ega membalas senyum. "Coba dibuka dan pakai." Ega menurut, dalam kotak itu Ega melihat satu buah smartwatch dengan desain bodi bulat dan strap berwarna rose gold. Ega langsung memakai jam tangan itu pada tangan kirinya. "Bagus Yah. Iya kan Bu?" Ucap Ega. Wanita paruh baya yang duduk di samping Ega mengangguk. "Bagus, cocok buat kamu." Ayahnya tersenyum. "Iya dong, Ayah nggak mungkin salah beli." Ega tersenyum lebar, dia memandangi smartwatch yang diberikan ayahnya, mungkin bagi ayahnya tidak cukup mahal tapi bagi dia smartwach itu mahal dan berarti. Sebelum mengemasi tempat yang mereka gunakan usai makan malam, mereka menutup akhir dari makan malam itu dengan percakapan hangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD