Hai, Ega

1748 Words
Pemilihan sekolah lanjutan, sekolah menengah atas maupun kejuruan bagi beberapa orang memang sangat sulit, beberapa anak sudah memilih jalannya untuk melanjutkan di sekolah kejuruan, beberapa yang lain mengincar sekolah dengan track record yang amat baik, ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia membuat tak sedikit anak dan orang tua hanya mengincar sekolah-sekolah tertentu dengan harapan anak tersebut akan belajar dengan lebih baik di sekolah yang memiliki track record yang bagus, tak terkecuali sekolah swasta, beberapa sekolah swasta terkadang memiliki sistem yang lebih baik daripada sekolah negeri, namun tentunya dengan biaya pembelajaran yang lebih tinggi. Salah satu sekolah swasta favorit di Kota Bandung adalah SMA Nusa Cendekia. Sekolah swasta yang terkenal dengan siswa-siswi nya yang berprestasi diberbagai bidang, biaya sekolah yang cukup melejit sepadan dengan fasilitas baik dari infrastruktur penunjang pembelajaran maupun sumber daya pengajar, poin plus lainnya adalah terlahir banyaknya idola sekolah. Yang perlu setiap siswa baru Nusa Cendekia ketahui, beberapa tahun yang lalu, kumpulan siswa dari ekstrakulikuler komputer club mengembangkan sebuah aplikasi yang bisa digunakan untuk membuat status, mengomentari postingan, menyukai postingan, dan lain-lain. Aplikasi tersebut sudah dikembangkan dan sudah bisa diakses dengan mendaftarkan diri menggunakan nomor induk siswa sebagai data bahwa orang yang mendaftar benar-benar siswa dari sekolah itu. Aplikasi yang dinamai Nusasite ini, sudah berjalan cukup lama, di dalamnya berisi informasi-informasi seputar siswa di sekolah---lebih menjurus pada trending gosip sekolah. Seseorang bisa memposting sebagai anonim, identitasnya hanya diketahui oleh pengelola Nusasite, pengelola yang tiap tahun berganti dipilih dari anggota-anggota ekstrakurikuler komputer club. Ega Camelia, seorang gadis yang belum tahu banyak Kota Bandung meski sudah tinggal di sana hampir dua tahun, ia didaftarkan oleh ayahnya di SMA Nusa Cendekia, ia tentu tidak bisa menolak, sebab ia berpikir sekolah yang sudah dipilihkan ayahnya itu yang terbaik baginya, karena dia merasa tidak mempunyai kelebihan apapun, semua nilai akademiknya selalu pas-pasan, tidak pandai olahraga, apalagi kesenian, Ega hanya tipe orang yang mengikuti arus. Masa orientasi siswa atau sudah berganti menjadi masa pengenalan lingkungan sekolah adalah antara kegiatan yang ditunggu-tunggu dan tidak oleh siswa baru, salah satu manfaat bagi siswa baru kegiatan itu bisa menjadi ajang mencari teman, atau mungkin bisa berlanjut menjadi pacar. Meski begitu, ada satu orang siswa yang selama satu minggu penuh absen dari kegiatan tersebut, siswa baru itu adalah Ega. Bahkan setelah masa orientasi selesai, Ega masih absen dalam kegiatan belajar mengajar selama satu minggu penuh. Setelah Ega absen dari kegiatannya sebagai siswa baru sekolah menengah atas, senin pagi di minggu kedua kegiatan belajar mengajar, masih cukup pagi, gadis itu berangkat ke sekolah yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari rumahnya, diantar dengan mobil hitam oleh seorang pria paruh baya yang sudah rapi memakai setelan jasnya. Ega merapatkan cardigan toscanya, suhu Kota Bandung di pagi hari masih terasa dingin bagi dirinya. Setelah sekitar sepuluh menit, mobil yang mengantar gadis itu berhenti dua meter dari gerbang sekolah. "Nanti selesai sekolah langsung pulang, kalau ada kegiatan lain, kabari Ayah dulu." "Iya Ayah." Ega lalu berpamitan dengan mencium punggung tangan ayahnya, lalu keluar dari mobil. Dia berjalan memasuki sekolah yang sudah cukup ramai. Ega menarik lengan cardigan, dia juga membenarkan masker yang hampir menutup seluruh wajahnya, sebenarnya Ega masih agak malu datang ke sekolah karena bekas cacar air yang masih terlihat menghitam di area tubuh dan wajahnya. "Ega!!!" Panggil seseorang dari jarak lima meter di depannya sambil melambai, di balik masker yang dikenakan Ega tersenyum lalu berlari kecil menghampiri orang tersebut. "Ini kelas kita?" Tanyanya sambil melirik ke dalam. Dijawab dengan anggukan antusias oleh orang itu, "ayok. gue udah siapin meja buat lo." Dia menarik Ega ke dalam, gadis itu menurut. Mereka bersamaan masuk ke dalam ruang kelas ber plakat X Mipa 4. "Thank you." Ega duduk di kursi ke tiga dekat jendela, tempat yang sudah di siapkan temannya itu. "Yes, Babe." Jawab temannya mengambil duduk di kursi kedua depan Ega. "Oiya Han, PR yang tadi malem lo kirim gue nggak ngerti. Nanti ajarin ya?" "Santai, gue juga udah siapin resume pelajaran yang kemungkinan lo butuhin." Ega mengangguk puas, ia mengacungkan ke dua ibu jarinya. "Emang sahabat gue ter the best dah." "Berlebihan ah, lagian baru beberapa pelajaran yang efektif minggu kemarin." Ega mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia lalu merasa tenggorokannya kering, bukan karena memuji Hani, dia hanya haus. Tangan kanannya bergerak mengambil botol Tupperware dari dalam tas. Kemudian dia melepas masker yang menutupi mulutnya. "Auhhh bekas cacar lo, keliatannya ada beberapa yang baru kering ...." Hani sedikit shock karena Ega yang membuka maskernya. Ega hanya mendengarkan, ia memutar tutup botolnya lalu sibuk meneguk air membasahi kerongkongannya, namun tiba-tiba saja terbatuk. "Pelan-pelan kalo minum." Hani mengusap bahu temannya itu. Ega mencondongkan badannya, ia berbisik pada Hani. "Egi sekolah disini?!" Matanya tertuju pada pintu masuk ruang kelas. Hani berkedip sebentar, ia kemudian melirik ke arah pintu, Orang yang dimaksud Ega berdiri di depan pintu tengah mengobrol dengan temannya. Hani mengangguk polos. "Emang lo belum tahu?" Ega menggeleng cepat. "Dia juga duduk di belakang lo." Ega membulatkan matanya, hanya dalam sepersekian detik ia sudah bisa menguasai dirinya dari keterkejutan. "Lo sengaja ya nyimpen gue di kursi ini?" Hani menggeleng, "Gue nempatin tempat ini duluan kok, dia datangnya lebih siang dari gue." "Kok lo nggak cerita lebih awal kalo kita sekelas sama dia." "Gue kira lo udah tahu." Jawabnya cengengesan. Ega menggeleng, ia menutup kembali Tupperware nya dan mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan meja yang terkena air minumnya. Teman-teman dari SMP-nya dulu, hanya 10 % yang bersekolah di tempat yang sama ini, termasuk Hani dan Egi. Egi Wisnu Endriano, seorang laki-laki yang mampu membuat tatapan Ega beralih saat kali pertama memasuki kelas barunya sebagai siswa baru di SMP Wiralodra. Egi begitu banyak diidamkan siswi di sekolah menengah pertama. Laki-laki yang khas dengan deep voice nya, piano, gitar, drum, ia bisa menguasai semuanya. Bahkan ia menyumbangkan beberapa penghargaan untuk sekolah karena talentanya di bidang musik tersebut, tipe good boy yang menjadi pusat perhatian di cerita romansa anak muda. Meskipun begitu, Egi belum pernah berpacaran, walaupun beberapa gosip kedekatannya dengan lawan jenis sering terdengar, Egi menampiknya. Di samping kisah cinta monyet nya yang sama sekali belum tampak, dia baik dalam bersosialisasi sehingga banyak orang yang nyaman berteman dengannya, benar-benar ia habiskan waktu sekolah menengah pertamanya dengan prestasi-prestasi dan attitude yang baik. Kontras dengan Ega yang hanya berprinsip seperti air yang mengalir; mengikuti rute perjalanan ke manapun membawanya pergi, Egi selalu terencana dan mempunyai persiapan yang matang. Bahkan rencananya setelah lulus SMP pun dia ingin melanjutkan ke Sekolah Menengah Musik yang ada di Yogyakarta, jalan hidupnya begitu terarah dan tersusun dengan sangat baik. Lalu, entah alasan apa yang membuat Egi bisa berada disini satu sekolah dengannya, bahkan satu kelas lagi setelah dua tahun satu kelas di SMP. "Hai, Ega ... udah mendingan?" Deep voice lelaki yang menjadi suara favorit Ega terdengar di sebelahnya, membuat gadis itu tersadar, ia menengok dan sedikit mendongak. "Ah, udah kok." Jawab Ega kikuk. Laki-laki itu mengangguk, ia kemudian berjalan dan duduk di belakang meja Ega. Laki-laki itu si Egi. Ega menghela napas, entah kenapa ia merasa dirinya sangat kikuk. Walaupun sudah satu setengah tahun di kelas yang sama, hubungan mereka hanya sebatas teman sekelas kasarnya bisa dibilang dekat kalau butuh. Mereka hanya mengobrol ketika dalam satu kelompok tugas yang sama. Di luar itu, mereka jarang sekali mengobrol. Meskipun Ega menyukainya, dia masih terlalu menarik diri dari laki-laki sekalipun laki-laki itu orang yang dia suka. Bel masuk berbunyi, beberapa menit kemudian guru mata pelajaran memasuki kelas. * * * * * Ega menyandarkan kepalanya di meja lalu memejamkan matanya. Pelajaran Fisika sudah berlalu, tetapi pening yang hinggap di kepalanya masih tersisa. Dia tidak mengerti kenapa fisika bisa serumit itu untuknya. "Mau ke kantin nggak?" "Hm ... lo aja deh." Jawab Ega di posisi yang masih sama. "Yaudah gue ke kantin dulu ya sekalian ke kelas Citra ... di sebelah." Ega menjawab hanya dengan acungan jempol tangan kanannya. Hani menatap Ega yang masih terpejam, ia kemudian berjalan meninggalkan kelas. Ega sudah nyaman dengan posisinya, dia sama sekali tidak bergerak. Tak lama petikan gitar terdengar dari belakang. Sudah dapat dipastikan siapa yang memainkannya. Ega tersenyum kecil, tanpa sadar ia mulai mengantuk dan tertidur. "Bangun ...." Seseorang mengguncang bahu Ega pelan. Ega bergumam, matanya kemudian terbuka. "Eh udah masuk ya?" Tanyanya ketika kesadarannya sudah kembali. Hani yang sudah duduk di kursinya itu masih menatap Ega. "Mau cuci muka dulu nggak? Ayo?" Hani menawarkan diri menemani sahabatnya itu. "Nggak usah, gue belum tidur kok." Ega mengusap wajahnya, dia sebenarnya sempat terlelap. Hani mengangguk saja, dia kemudian berbalik. Ega menatap punggung Hani, gadis itu pasti tengah membaca buku. Lalu tanpa sengaja tangannya menyenggol s**u kotak yang masih utuh. Ega tersenyum, dia mengambil s**u dengan rasa kesukaannya itu. "Makasih Huniiii." Serunya pada Hani. Hani tidak menjawab, dia juga tidak menengok. Gadis itu sudah larut dalam buku yang dibacanya. Ega menatap kotak s**u yang ia terima, rasa ketan hitam kesukannya. Kemudian dia membuka sedotan lalu menusukkan di tempatnya. Hani tahu betul kesukaan Ega. Hubungan mereka sangat akrab dan dekat, Ega banyak terbuka pada gadis itu. Waktu berlalu begitu cepat hingga sampai di jam pelajaran terakhir, bel pulang sekolah berbunyi. Ega menatap jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, pukul tiga sore. Dia memasukkan buku-buku serta alat tulisnya ke dalam tas, baru satu hari berangkat sudah dua tugas yang harus ia kerjakan. "Gue duluan ya, mau ada kumpul eskul." Pamit Hani. "Oke." "Bye!" "Bye!" Hani melangkah, dia berjalan meninggalkan Ega yang masih di tempatnya. Sementara itu Ega berencana pergi ke kantor guru untuk menemui guru matematika dan meminta tugas tambahan sebagai pengganti absensi nya. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal Ega berjalan keluar kelas. "Pulang sama siapa? Mau gua antar?" Gadis itu sedikit terkejut, dia menatap laki-laki yang berdiri di samping pintu kelas. Vano, salah satu dari 10% alumni dari SMP Wiralodra yang bersekolah di SMA ini, mereka sempat satu kelas di kelas delapan. "Nggak usah ... makasih." "Kelas gue di sebelah kelas lo." Ucapnya begitu saja. Ega mengangguk. Dia kemudian berjalan pergi meninggalkan Vano yang masih berdiri di tempatnya. Satu orang keluar dari kelas, "Kertas musik aing katinggalaeun, maneh tiheula wae ka parkiran." (Kertas musik gue ketinggalan, lo duluan aja ke parkiran.) Dia menyerahkan tas gitar itu pada Vano. Lalu dirinya berlari, melewati Ega yang masih berjalan dengan tempo santainya. Ega menatap seseorang yang baru saja melewatinya, tas hitam dengan gantungan berbentuk gitar kecil itu berguncang-guncang mengikuti langkah kakinya. "Gi! Egi! Sakalian pangbawakeun gunting Aing! Jigana katinggalaeun oge diditu." (Gi! Egi! Sekalian bawain gunting gue, kayaknya ketinggalan di sana juga.) Teriak Vano sambil menatap temannya yang berlari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD