Bab 2

1613 Words
Tri telah tiba lebih awal di rumah kontrakannya karena ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, ia juga memilih untuk memotong jalan melalui jalan tikus yang biasa dilaluinya, wajar tiba lebih cepat. Sementara orang tuanya masih di perjalanan yang tentunya bergelut dengan kemacetan lalu lintas. Gadis itu segera menurunkan peralatan jualannya dan langsung membawanya masuk ke dalam rumah. Tanpa beristirahat terlebih dahulu ia segera merapikan tempat tinggalnya. Tak lupa ia pun segera menanak nasi dalam magicom mungil miliknya. Ia harus menjamu kedua orang tuanya. Aneka perabotan yang berserakan di dapur segera dibereskan. Ia tak ingin memberikan kesan buruk kepada mereka berdua. Dengan gerakan cepat seluruh ruangan telah bersih dan rapi. Tak lupa ia pun memasang sprei baru untuk kasur busanya. Ia ingin membuat kedua orang tuanya betah dan nyaman. "Beres!" Gumamnya senang. Kini ia bisa berselonjor. "Neng, lu udah pulang?" Terdengar suara parau Engkong Udin, di depan rumahnya. Pemilik kontrakan itu paling rajin menyambangi para penghuni rumah kontrakannya untuk memastikan kehadiran para penghuni. Pria tua berusia 70 tahun itu senantiasa berusaha menjalin hubungan akrab dengan mereka, tak terkecuali dengan Tri yang sudah dianggapnya seperti cucu sendiri. Ia berusaha menjadi tuan rumah yang baik. Tri segera keluar untuk menemui kakeknya Adam. "Iya, Kong." Tri menjawab sambil mengusap keringat dengan saputangan. "Wah, syukur alhamdulillah, laris manis dagangannya." Engkong Udin turut gembira. Pria ini kini duduk di tembok yang berfungsi sebagai pembatas antar rumah penghuni kontrakan. "Alhamdulillah. Tapi sebenarnya bukan itu sih alasannya, Emak sama Bapak Tri datang dari kampung, mereka saat ini tengah di perjalanan menuju sini." Tri memberitahukan kedatangan kedua orang tuanya. "Oh, pantas saja." Engkong Udin paham. "Itu mereka sudah sampai!" Tri menunjuk ke arah sebuah taksi online yang berhenti tepat di halaman rumah kontrakan. Mak Asih dan Bapak Ujang keluar dari Toyota Avanza yang menjadi taksi online mereka. Gadis bertubuh mungil itu segera memburunya untuk membayarkan ongkos taksi sekaligus mengangkat barang bawaan mereka. Meskipun dia seorang wanita dengan postur tubuh tingginya hanya 153 cm, namun memiliki kekuatan yang tak kalah dari lelaki sejati. Adam dan Engkong Udin pun sering dibuatnya kaget. Tri patut dijuluki super girl. "Kenalin, ini Engkong Udin." Tri memperkenalkan sang pemilik kontrakan saat kedua orang tuanya melintas di hadapan lelaki tua yang kini sudah mengubah posisinya tak lagi duduk. Orangtuanya menatapnya penuh selidik dengan tatapan mencemooh dan meremehkan. Bagaimana tidak, Engkong Udin hanya memakai sarung belel dan kaos dalam lusuh. Sekilas orang asing akan menyangka dia hanya seorang kakek tua yang malang dan tak berguna. "Engkong Udin ini pemilik kontrakan." Tri memberitahukan status Engkong Udin saat melihat sikap mereka yang cuek dan tak peduli. "Pemilik kontrakan ini?" Mak Asih tampak terkejut. Ia segera mengubah roman wajahnya. Tri mengangguk sambil menahan tawanya. Emak dan Bapak tak pernah berubah, mereka selalu saja menilai sesuatu dari penampilan. Seperti saat ini. Meskipun Engkong Udin tampak kucel, ia adalah juragan kontrakan dan juragan buah di pasar. Mereka terlihat kaget mendengar fakta tentang kakek tua dihadapan keduanya. Saat itulah orang mulai bersikap ramah. Engkong Udin mengangguk memberikan senyuman lebarnya hingga menampakkan dua gigi depannya yang ompong. "Perkenalkan, kami orang tua Tri dari Bandung." Bapak Ujang memperkenalkan diri. Ia mulai bersikap ramah dan sopan. "Senang bertemu dengan kalian." Engkong Udin menjabat tangan keduanya. Ia sudah banyak mendengar kisah mereka dari Tri. Ternyata benar mereka itu sedikit angkuh. "Rumah saya di sana, Kalau ada waktu luang boleh mampir." Engkong Udin menunjuk rumahnya yang terletak di belakang kontrakan. Ia selalu menerima tamunya dengan tangan terbuka. Setelah berkata-kata ia langsung pamit pulang. *** Sejak masuk ke dalam rumah kontrakan petak anaknya, ayah kandung Tri yang bernama Bapak Ujang Rohman tampak tak nyaman. Udara panas kota Jakarta tak mampu dibendung dengan bantuan kipas angin. Bapa Ujang sampai harus melucuti pakaiannya, saking panasnya. "Ya Allah meni hareudang! Coba di rumah si Tama, adem dan nyaman ada AC nya." Bapak Ujang mulai membahas anak pertamanya yang bernama Pratama yang kini tinggal di Depok. "Namanya juga rumah kontrakan atuh Pak, beda sama rumah A Tama." Tri mencoba untuk memberikan pembelaan. Ia tak ingin dibanding-bandingkan. Ia dan sang kakak jauh berbeda. Tama hidup berkecukupan karena ia seorang manager di sebuah supermarket, begitu juga dengan istrinya yang menjabat kepala cabang sebuah bank. Wajar hidup di tempat yang nyaman. "Kalau mau mandi, kamar mandi di belakang." Tri menunjukkan letak kamar kecil. Siapa tahu rasa gerah bapaknya itu hilang jika diguyur oleh air. *** Jam makan malam telah tiba, Tri menjamu kedua orang tuanya. Ia sengaja memasak ayam goreng, tumis, lalapan, sambal dan kerupuk. Tri senang kedua orang tuanya makan dengan lahap. Sudah lama mereka tak makan bersama. Usai makan, mereka bertiga bersantai sejenak. Duduk di karpet sambil menonton tayangan televisi. "Tri, ini teh ada hal penting yang ingin kami sampaikan." Bapak Ujang membuka obrolannya. "Iya Tri, Bapak sama Emak teh sudah sepakat ingin menjodohkan kamu dengan seseorang." Mak Asih menyampaikan maksud sesungguhnya. "Hah?! Dijodohkan" Tri kaget bukan main. Ia tak pernah memikirkan masalah jodoh apalagi sampai dijodohkan. Masih banyak hal yang harus dikejarnya. Mak Asih mengangguk pelan. "Mak, Tri ga mau dijodohin, Mak!" Tri memberikan penolakan. Meskipun statusnya saat ini adalah jomblowati namun ia masih betah sendiri. "Calon suami kamu itu juragan Kardi Kertarajasa. Saudagar kaya raya yang rumah dan kiosnya ada dimana-mana. Ditambah lagi dengan kios dan kontrakannya. Hartanya tak akan habis tujuh turunan" Giliran Bapak Ujang yang memberikan penjelasan. Mendengar nama Juragan Kardi disebut, seketika tubuhnya merinding. Pria tua itu terkenal playboy. Amit-amit jika Tri harus bersanding dengannya. Lebih baik jadi perawan tua. "Juragan Kardi itu sudah punya istri Ma! Istrinya dua!" Tri menegaskan, barangkali mereka lupa. "Iya, dan kamu sudah dilamar untuk dijadikan istri ketiganya. Kami sudah menerimanya. Ini sebuah penghormatan bagi kita." Bapak Ujang dengan lantang menginformasikan berita penting itu. "Istri ketiga?" Tri setengah tak percaya dengan ucapan orang tuanya. "Iya." Ma Asih mengangguk pertan ya. "Tidak apa-apa jadi istri ketiga juga yang penting mah semua kebutuhan kamu teh tercukupi. Percuma jadi istri satu-satunya kalau sengsara balangsak." Bapak Ujang mengungkapkan isi hatinya. "Iya, Tri. Ini kesempatan yang baik bagi kita. Kalau kamu menikah dengan Juragan Kardi hutang-hutang kita bakalan lunas dan ke depannya kehidupan kita seratus persen terjamin." Mak Asih tampak semangat membayangkan kebahagiaan mereka di masa yang akan datang. "Maaf, Tri teh tidak setuju." Tri bersikukuh menolak. Tega sekali orang tuanya menjadikannya tumbal sebagai alat pembayaran hutang. "Ari kamu tidak bisa diajak kompromi. Semua ini teh demi masa depan kamu. Kamu tidak perlu lagi jualan dan mengontrak, bikin malu keluarga saja. "Emak Asih tampak marah. Ia mengungkit kehidupan Tri saat ini yang menuntut pandangannya terhina. Tri paham alasan kedua orangtuanya yang mau datang ke kontrakan. Ternyata ada udang dibalik batu. Ingin rasanya Tri menangis. "Tri mau keluar dulu," Gadis itu pamit untuk menenangkan diri. Kabar yang dibawa mereka merupakan pukulan telak baginya. *** Pagi-pagi sekali Mak Asih dan Bapak Ujang telah bersiap pergi meninggalkan kontrakan Tri. Mereka mengemasi barang-barangnya kembali. Kardus indomie tak dibuka sama sekali. "Itu teh isinya apa, Mak?" Tri ingin tahu barang apa saja yang dibawa oleh mereka hingga bisa sebanyak itu. "Ini oleh-oleh buat Tama dan Shinta." Emak Asih tak ingat sedikit pun kepada Tri. Tri tertawa miris, selalu saja begitu setiap memiliki sesuatu Tama atau Tami, dua kakaknya yang selalu diingat dan mendapatkan perhatian lebih. Gadis itu tak akan meminta apapun. Biarlah ia mengalah. Ia bersyukur dengan kehidupannya saat ini yang tak perlu merepotkan. "Tri, Emak teh butuh uang untuk pegangan selama di Depok. Emak pinjam satu juta." Mak Asih mengungkapkan keinginannya. "Emak kan tinggal di rumah anak Emak, sendiri kenapa harus memikirkan uang pegangan, kalau butuh sesuatu tinggal bilang sama A Tama dan Teh Shinta." Tri merasa lucu dengan sikap ibunya. Semalam mereka bertengkar dan kini dengan tanpa rasa malu emaknya minta uang darinya, orang tua macam apa. "Siapa tahu ada keperluan mendadak. Emak kan malu kalau minta terus dari Tama." Mak Asih menampilkan wajah memelasnya. "Emak berhak minta uang sama A Tama." Tri mengingatkan. Emaknya itu tanggung jawab anak lelakinya. "Gak enak, kasihan dia lagi banyak urusan." Mak Asih beralasan. "Jadi anak itu harus berbakti kepada orang tua, baru diminta pinjam satu juta saja sudah pelit. Selama ini yang mengurus kamu sejak kecil itu siapa?" Bapak Ujang ikut bicara dan memojokkan Tri. Tri terdiam. Kata-kata bapaknya memang benar. Ia tak mau debat lagi dan supaya mereka segera pergi Tri harus memberikan uang yang diminta. "Tunggu sebentar!" Tri tak ingin berdebat. Ia segera mendatangi Engkong Udin. Pria tua itu kebetulan tengah bersiap pergi ke pasar. "Kong, Tri lagi butuh bantuan." Tri duduk di hadapan pria tua baik hati itu. "Bantuan apa?" Engkong Udin menatap Tri yang memperlihatkan wajah merananya. "Tri mau pinjam uang satu juta. Ada ga?" Tri mengutarakan maksudnya. "Tumben lu pinjem duit." Engkong Udin tahu Tri bukanlah sosok yang gampang pinjam kecuali kepepet. "Buat ongkos emak sama Bapak. Tabungan Tri udah masuk deposito jadi di celengan udah habis." Tri meminta belas kasihan si juragan kontrakan. "Lu tuh baik banget sih jadi anak. Sudah ditelantarkan tetep aja nurut. Tunggu bentar." Kong Udin meraih kantongnya. " satu, dua, tiga, ...satu juta." Engkong Udin menghitung uangnya lalu menyerahkan sepuluh lembar uang pecahan seratus ribu. "Nih." Engkong Udin yang baik hati itu menyerahkan uang ditangannya. "Nanti, Tri balikin kalau sudah ada uangnya ya, Kong!" Tri sangat berterima kasih. Baginya Engkong Udin yang bernama lengkap Zaenudin itu lebih dari kakek kandungnya sendiri. Aki yang ada di kampung tak sebaik Engkong Udin, minta jajan lima ribu perak saja harus ada timbal balik. "Kagag useh mikirin soal tuh. Santei aje."Engkong Udin ikhlas membantu. "Terima kasih ya Kong." Tri mencium tangan keriputnya sebagai ucapan terima kasih. Akhirnya ia bisa memenuhi keinginan kedua orangtuanya Tri kembali ke rumah kontrakan pintu nomor 3. "Mak, ini uangnya." Tri menyerahkan uang yang dimintanya. "Nah gitu dong ini baru anak Emak." Mak Asih tersenyum lebar. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD