Bab 3

1266 Words
Tri bernapas lega sebab kedua orang tuanya sudah pergi ke Depok. Kini ia bisa kembali melanjutkan hidupnya dengan tentram tanpa gangguan mereka yang selalu merecokinya dengan memberikan kritikan pedas. Tak ada sedikit pun support untuknya, malah memojokkan dan lagi-lagi membuatnya merasa tak dihargai dan tak berarti apa-apa. Bagi orang tuaTri, kedua kakaknya selalu menjadi kebanggaan. Sementara dirinya tak berarti apapun. Padahal ia tak pernah menyusahkan keduanya walau sesulit apapun. Tri bersiap hendak melanjutkan aktifitasnya berdagang untuk mencari pundi-pundi rupiah untuk sepiring nasi dan juga dana menyicil utang kepada Engkong Udin. Meskipun semua ucapan kedua orang tuanya terus terngiang di kepalanya, sebisa mungkin Tri menghalaunya. Ia ingin fokus berjualan. Tentang perjodohan itu, ia akan berusaha sekeras mungkin untuk menolaknya. Tri mengemudikan motornya perlahan menuju kawasan tempat jualannya. Saking tak fokusnya karena terlalu banyak pikiran tiba-tiba motornya kena senggol sebuah mobil sedan mewah yang berada di dekatnya. Bruk Motornya oleng, dalam hitungan sepuluh detik motor yang memuat bahan-bahan kue itu terjatuh. Tampak tepung terigu berceceran mengotorin aspal jalanan. Darah Tri seketika mendidih melihat barang-barangnya berjatuhan. Mana ia sudah terlambat. Beruntung badannya tak terluka. Tri bangkit, dengan gerakan cepat ia menuju mobil yang berhenti tak jauh dari motornya. "Hai, Bung. Bisa nyetir ga sih?" Tri menggedor kaca sopir. Ia sangat marah. Dengan berani ia menegur si pengemudi. "Maaf, Mbak. Bukannya tadi Mbak yang bawa motornya ga bener. Hingga mau menabrak mobil saya. Saya berusaha menghindari namun tetap bersenggolan." Sopir itu melakukan pembelaan dan balik menyalahkan Tri. "Pokoknya saya minta ganti rugi. Barang-barang saya banyak yang rusak." Tri memberikan tuntutan. Ia tak terima jika hari ini mengalami kerugian. Pria itu tetap bersikap santai. Ia meraih dompet di saku celananya. "Ambil ini, saya rasa cukup." Pria tampan berkaca mata hitam itu enggan berdebat. Ia sudah cukup terlambat pergi ke tempat kerjanya. Memberikan uang yang tak seberapa baginya merupakan solusi yang tepat. Tri menatap lembaran merah di tangannya yang berjumlah sepuluh. Sebenarnya ia tidak puas, namun daripada sama sekali tak menerima apa-apa mending ia ambil. "Oke makasih." Tri meninggalkan mobil tersebut untuk segera membereskan barangnya yang tercecer. Beruntung jalanan sepi sehingga tak menimbulkan kemacetan, bahkan tak ada seorang pun yang peduli akan kejadian yang menimpa Tri. Sementara mobil tadi pun sudah melanjutkan perjalanannya entah kemana. *** Adam selalu datang mengunjungi kedai pujasera. Bukan sekedar mengontrol para pedagang di sana melainkan untuk membantu dan menemani Tri. "Hai, Adam. Kamu ga kuliah?" Tri yang tengah santai karena tak ada pelanggan turut bergabung duduk bersama. Ia menhambil posisi tepat di depan pria berambut ikal itu. "Dosennya sakit." Adam menjawab dengan nada sulit diartikan apakah ia bahagia atau sedih karena dosennya yang tak ada, seingat Tri waktu sekolah, dirinya senang bukan kepalang kalau gurunya absen. "Asyik dong!" goda Tri. Ia bisa menggunakan tenaga Adam untuk membantunya berjualan. "Asyik gimana, malah dikasih banyak tugas." Adam memperlihatkan wajah bete nya. Ia lebih suka mendengarkan dosen memberiksn penjelasan atau diskusi daripada membuat tugas laporan. "Saya tuh ingin bisa melanjutkan kuliah, tapi sepertinya selalu banyak tugas. Kalau gitu jadi malas deh." Tri bercita-cita ingin melanjutkan kuliah agar bisa seperti kedua kakaknya agar bisa membanggakan kedua orangtua tang selalu menghinanya. Tami, kakak keduanya bahkan telah menjadi seorang dosen di salah satu universitas di Yogya. "Ya, ga selalu banyak tugas, cuma kalu lagi banyak ya banyak." Adam tak suka jika Tri patah semangat. Tahun depan Tri bertekad kuliah mengambil kelas karyawan. "Bikinin pancake rasa vanila dong! Setengah matang ya." Adam memberikan pesanan. "Ok. Boss!" Dengan gesit Tri langsung membuatkan pesanan si cucu juragan kontrakan. "Dah jadi." Tri menaruh piring di depan Adam. "Makasih Teh Tilu!" Adam menggoda Tri. "Ya Allah, dirimu sudah mulai ketularan si Ana dan kawannya." Tri ingat ada salah satu pelanggan setia yang juga fan Adam memberikan pangilan Teh Tilu. Tilu, artinya tiga dalam bahasa sunda. Nama yang tercantum di rodanya memang " Pancake 3" "Minumnya apa?" Tri menawari minuman. "Pesenin es yoghurt, sekalian kalau kamu mau nanti aku yang bayarin." Satu lagi pesanan Adam. Tri pun segera beranjak untuk memenuhi keinginan Adam. *** Hujan gerimis menghiasi malam kamis yang sunyi dan sepi. Seperti biasa jika tak ada kegiatan Adam dan Tri sering nongkrong di depan rumah Engkong Udin. Keduanya duduk sambil menghadap cangkir kopi yang masih mengepul ditemani sepiring singkong rebus. Untuk memghalau udara dingin, Tri mengenakan sweater abunya yang tebal dan lusuh. "Sejak tadi, kamu terlihat murung. Sebenarnya ada apa sih?" Adam membuka percakapannya. Adam bisa membaca perasaan Tri yang sedang gundah gulana. Sejak di tempat dagangnya tadi, gadis tomboy itu tak seceria biasanya. "Emak sama Bapa datang membawa kabar buruk, Dam." Tri mulai sesi curhatnya. Selama ini Adam selalu menjadi pendengar setia yang selalu memberikan solusi. "Kabar buruk apa?" Adam selalu penasaran terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Tri. Pria muda berusia 20tahun itu berusaha menyelami isi hati lawan bicaranya. "Saya dijodohin." Tri memberitahukan masalah yang tengah dihadapi olehnya. Menurut Tri ini adalah masalah besar dan sangat serius. "Dijodohin? Ga salah dengar nih? Seperti zaman Siti Nubaya saja." Adam tentu saja kaget. "Itu dia, kalau calonnya masih muda, kaya, tampan, mapan, rupawan. Nah ini aki-aki bau tanah yang umurnya sudah enam puluhan. Gilanya lagi sudah punya dua istri." Tri membeberkan identitas calon suami pilihan orang tuanya. Benar-benar bukan sosok suami idaman. "Kamu mau dijadikan istri ketiga?" Adam melotot tajam. Ini lebih horor dari yang dibayangkannya. Tri gadis cantik yang masih muda harus menjadi istri ketiga pria tua yang lebih pantas menjadi kakeknya? Adam tak ikhlas lahir batin. "Seperti itulah." Tri merasa sedih. "Astaghfirullahaladzim." Adam tak menyangka kedua orang tua Tri bertindak setega itu. "Kamu kenal orangnya?" Adam penasaran dengan sosok pria yang hendak memperistri sahabatnya itu. "Pasti lah, dia juragan di kampung saya." Siapa yang tak mengenal Juragan Kardi Kertarajasa yang terkenal kaya raya itu. "Pantas saja orang tua kamu datang ke sini." Selama dua tahun ini, Adam belum pernah melihat seorang keluarga Tri pun yang datang. Meskipun Tri sempat bercerita jika kakak sulungnya ada di Depok. "Emak sama Bapak punya banyak hutang sama dia." Tri membeberkan masalah yang menimpa keluarganya. "Ini namanya menjual anak gadisnya." adam memberikan tuduhannya. "Dam, saya harus gimana atuh?" Tri memang menolak, namun ia yakin orang tuanya pasti akan datang lagi. Bukan hal mustahil jika mereka datang bersama Juragan Kardi yang tersohor memiliki banyak anak buah. "Santai saja. Lagian mereka juga belum ke sini lagi. Aku pasti bantuin teteh kok." Adam akan menjadi pahlawan pelindung Tri, jika ada yang berani menyakitinya. "Terima kasih ya, Dam. Kamu memang sahabat saya yang paling baik." Tri memeluk pemuda yang usinya tiga tahun lebih muda dibawahnya. *** Malam ini rasa kantuk Tri mendadak hilang, ia raih album foto miliknya, semua berisi poter kenangan bersama keluarganya. Sewaktu hijrah dari kampung menuju ibukota, foto itu ia jadikan peneman hudupnya, penawar segala bentuk rindu yang sering menggodanya. Ia rindu kampung halaman, terutama neneknya namun ia tak mungkin kembali dalam waktu dekat. Bayangan wajah Juragan Kardi Kertarajasa langsung terekam jelas di kepalanya. Tri masih tak habis pikir dengan sikap Emak dan Bapak yang terkesan menelantarkannya. Sungguh jauh berbeda dengan kedua kakaknya yang selalu mendapatkan perlakuan manis. Kini ia terancam menjadi korban, tumbal orang tuanya sebagai alat untuk melunasi hutang-hutang mereka. Betapa teganya Emak dan Bapak yang memaksakan kehendaknya. Mungkinkah ia bukan anak kandung mereka. Emak dan Bapak selalu pilih kasih. Ia dan kedua kakaknya selalu dibedakan. Sejak kecil ia diasuh oleh neneknya. Saat mengutarakan keinginannya untuk kukiah keduanya menolak dengan alasan tak sanggup membiayainya. Sementara untuk Tama dan Tami mereka selalu mengupayakan. Tak terasa air matanya mengalir tanpa bisa terbendung. Tak ada yang menyayanginya dengan tulus kecuali neneknya. Tri mendekap foto neneknya. "Nini, Tri kangen sama Nini!" ucapnya lirih. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD