SKANDAL CINTA CEO LANDMARK:
Jum’at 9 Juni 2017 09:20 WIB
Jakarta – Pimpinan perusahaan Landmark tidak bisa memberikan bantahan soal kedekatannya dengan pengusaha muda sekaligus mantan model terkenal bernama Imelda Yumiko, mereka berdua seringkali tertangkap kamera sedang pergi bersama.
Kabar ini cukup menggemparkan publik pasalnya lelaki berusia 27 tahun tersebut sudah memiliki istri, dan berita terakhir mengenai rumah tangganya, mereka dikabarkan akan segera bercerai, Nathan mengatakan istrinya tidak bisa memberikan keturunan untuknya.
Jika dia tetap mempertahankan rumah tangganya tanpa kehadiran seorang anak, maka siapa yang akan meneruskan perusahaannya yang sekarang ini sedang menggurita, jika istrinya tersebut tidak bisa hamil?
“b******k!”
Nathan menyambar gagang telepon di atas meja, sambil marah-marah ia menyuruh sekretarisnya untuk menghadap.
“Siapa yang sudah buat berita ini? Orang yang tahu keadaan istri saya cuma kamu!” Nathan melotot.
Menyembunyikan rasa takutnya, Andy terbata-bata untuk menjelaskan. Ia tidak pernah melihat Nathan semarah ini sebelumnya. “Maaf, Pak, saya nggak tahu tapi pembicaraan kita beberapa hari yang lalu nggak sengaja di dengar oleh bu Imelda.”
Raut wajah Nathan mencerminkan segala bentuk emosi yang terpendam dalam benaknya sekarang, beberapa detik ruangan hening.
Andy terkesiap saat Nathan berbicara dengan nada tinggi dan hampir membuatnya terkena serangan jantung.
“Saya dengan Imelda tidak lebih dari sebatas rekan kerja. Kenapa media bisa selancang itu? Beri tahu kantor media tersebut, suruh mereka untuk menghapus beritanya atau saya akan tuntut jurnalis yang sudah bikin berita itu!”
Andy mengangguk paham dan langsung melaksanakan perintah yang diberikan oleh atasannya.
Nathan berdiri dan memakai jas. “Batalkan semua jadwal saya hari ini. Saya mau pulang, jangan sampai istri saya baca berita ini.”
Nathan tiba di rumah pukul 12.00 siang, dia harus memastikan Lauren tidak membaca berita fitnah mengenai dirinya. Ada perasaan gelisah di setiap langkahnya saat memasuki rumah—Lauren tidak pernah absen membaca berita.
“Sayang?”
Suasana rumah tidak pernah berubah, selalu hening sehingga suaranya menggema. Dia begitu heran ketika sampai di ruang tamu, Lauren duduk dengan lesu di sofa, tetapi bukan itu yang membuatnya keheranan, melainkan keberadaan orangtuanya yang seharusnya sedang berada di luar negeri membuat pikirannya semakin kacau.
Calista dan Haris mengira rumah tangga anaknya baik-baik saja. Mereka tidak menyangka Nathan tega menghancurkan kehidupan seorang perempuan baik hati seperti Lauren.
Calista menatap kesal Nathan yang berdiri dengan ekspresi wajah seolah tak merasa kalau kekacauan ini berasal darinya, wanita renta berusia 65 tahun itu mengelus-elus punggung tangan menantunya dengan penuh sayang dan rasa khawatir.
“Ma, Pa?” Kapan kalian pulang, kenapa nggak kasih kabar?” Nathan berjalan dengan ragu menghampiri mereka bertiga.
Haris hanya duduk dan diam menahan emosinya dengan tangan yang terlipat di d**a dan rahang mengeras, menatap tajam anaknya yang terlihat bodoh dan b******k itu. Tatapan matanya turun seolah menyuruh agar Nathan segera duduk dan menjelaskan semuanya kepada mereka.
Nathan menarik napasnya sejenak dan duduk di samping istrinya. Ingin sekali rasanya ia menggenggam tangan mungil yang semakin hari semakin kurus itu.
“Soal berita itu….” Suara Nathan terdengar begitu takut, belum sempat ia menjelaskan energinya mendadak habis setelah memikirkan hal buruk tentang rumah tangga mereka.
“Berita apa?” Haris menyela ucapan Nathan. “Kami bahkan nggak tahu berita apa yang kamu maksud, kami hanya mau dengar penjelasan dari kamu soal cucu kami!”
Bibir Nathan mendadak kelu, jadi mereka belum tahu soal berita sampah mengenai dirinya?
“Cucu?” Nathan bergumam.
“Nathan kamu bukan lagi anak remaja, berhenti bersikap bodoh! Kami sudah dengar semuanya dari Lauren dan kami ingin mendengarkan penjelasan dari kamu juga!” Haris tak mampu menahan emosinya, dia kecewa pada anaknya.
Lelaki tua itu tidak menyangka kalau anaknya bisa berperilaku seperti monster.
Nathan menatap Lauren di sampingnya, mencoba meraih kedua tangan perempuan tersebut. “Aku bisa jelasin semua, tapi apa kamu akan percaya?”
Lauren tersenyum getir, ke mana saja suaminya selama ini? Setiap hari mereka bertemu dan tidak ada satu hari pun Nathan gunakan untuk menjelaskan alasan kenapa ia bisa melakukan perbuatan tak manusiawi itu.
“Jelasin? Ini sudah hampir satu tahun, kapan kamu mau bahas masalah ini sama aku, Mas? Kamu malah terus menghindar dan menganggap nggak pernah terjadi apa-apa di dalam rumah tangga kita, aku udah muak sama semuanya.” Lauren membuang wajahnya.
“Sayang….”
“Jelasin semuanya di depan orang tua kamu dengan jujur!” pekik Lauren.
Nathan sekilas menatap kedua orangtuanya yang menunggu penjelasan.
“Walaupun kamu anak kami, Papa tidak akan segan memisahkan kamu dengan Lauren!” bentak Haris.
Bagai tersambar petir di siang bolong, wajah Nathan berubah mengeras.
“Kandungan Lauren lemah dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan Lauren adalah dengan mengorbankan bayi kami,” jelas Nathan dengan suara lantang.
Haris dan Calista terkejut begitupun dengan Lauren yang sekarang menatap suaminya dengan tatapan tak percaya.
“Kamu gila!” Lauren berteriak histeris.
“Kita cuma butuh waktu tiga bulan lagi untuk melahirkan, dan kamu mengambil tindakan itu secara sepihak? Mas! Aku yang bakal ngelahirin bukan kamu!” Lauren berdiri dari duduknya.
“Bagaimanapun hasilnya dan siapapun yang akan selamat seharusnya kamu bisa terima! Yang kamu bunuh itu darah daging kamu sendiri!”
“Lauren aku bukan pembunuh!” Nathan ikut berdiri.
Calista mulai menangis akibat pertengkaran anaknya, Haris segera mengajak istrinya keluar dan membiarkan Nathan dan Lauren menyelesaikan masalah mereka apapun hasilnya.
Lauren tidak mengerti dengan cara benak suaminya sendiri, entah apa yang ada di pikirannya sehingga merasa tindakan yang ia pilih adalah sesuatu yang sudah tepat.
“Lalu aku harus bilang tindakan kamu sebagai apa?” Lauren kembali duduk.
Nathan mengontrol emosinya dulu setelah menyesali tindakannya membentak Lauren barusan, ia menyeka wajahnya dan kembali duduk. “Kamu tahu, Lau? Ini adalah pilihan paling sulit, aku sayang bayi kita dan juga kamu. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu, bagaimana jadinya aku tanpa kamu?”
“Itu artinya kamu yang nggak siap jadi orangtua.” Lauren menatap penuh benci Nathan yang sedang berusaha menggenggam tangannya.
Nathan mengangguk lemah dan itu membuat kemarahan Lauren semakin memuncak.
“Jadi kamu akan melakukan hal yang sama kalau misalnya nanti aku hamil lagi?”
Lauren menunggu jawaban Nathan dari pertanyaan pamungkasnya, jawaban dari Nathan itu akan menjadi penentu untuk kelangsungan rumah tangga mereka.
Lama Nathan tak bersuara, wajahnya berubah pucat. Mungkin saat ini pikirannya sedang berperang.
“Lau, kamu tahu sendiri, sekarang ini kita lagi berusaha bikin rahim kamu kuat dan sehat sebelum kamu kembali hamil, dan kalau memang harus kembali di dahapkan dengan pilihan itu maka aku akan kembali mengorbankan bayi kita.”
Tangis Lauren pecah, dia memukuli Nathan sekuat tenaga yang ia miliki.
Lelaki itu hanya menunduk pasrah dan membiarkan Lauren memukulinya.
“Itu artinya kamu memang menjadikan kekuranganku sebagai alasan ‘kan? Supaya kamu bisa kembali bersama Imelda?!”
“Lauren….” Wajah Nathan sudah basah dengan air matanya.
“Aku udah cukup sabar tahan semuanya sendiri, kamu pikir aku nggak tahu berita terbaru soal kamu dan Imelda?” Lauren meraih ponselnya di atas meja, mata Nathan mengikuti tetapi pandangannya langsung terkunci menatap amplop coklat.
Lauren melempar ponselnya dan langsung ditangkap oleh Nathan. “Aku sudah tahu semuanya, kamu mau mengelak apa lagi? Kamu cinta sama dia? Kita cerai!”
“Berita ini bohong!” Nathan menyimpan ponsel itu.
“Aku nggak peduli berita itu bohong atau benar, alasan aku buat minta pisah sama kamu itu banyak!” Lauren lanjut meraih amplop coklat yang dari tadi sudah membuat Nathan penasaran.
“Ayo kita cerai,” kata Lauren dengan nada dingin dan tak berperasaan. “Udah nggak ada lagi alasan buat aku tetap tinggal di sini dan jadi istri kamu.” Sudah tidak ada lagi kata maaf sekarang untuk Nathan.
Nathan menggeleng cepat. “Sampai kapanpun kita nggak akan pernah pisah.” Lelaki itu kini berlutut di hadapan istrinya dan menggenggam kedua tangannya seraya memohon.
Lauren sudah mantap dengan pilihannya, dia tidak akan berubah pikiran. Tidak ada rasa kasihan sedikitpun ketika ia memandangi Nathan yang sedang bersimpuh di hadapannya.
“Kita sudah selesai, Nathan.”
Nathan akhirnya menangis dengan penuh rasa bersalah dan menyesali semua perbuatannya.
“Cepat tanda tangan surat ini.” Lauren menarik tangannya lalu membuka surat yang masih berada di dalam amplop dan memaksa agar Nathan menandatanganinya.
Sekali lagi Nathan menatap Lauren yang kini sudah tak lagi mencintainya, membanting pulpen dan surat yang selesai ia tandatangani ke lantai.
“Aku udah turuti kemauan kamu, dan akan aku pastikan setelah perceraian kita selesai kamu nggak akan pernah lihat aku lagi.”Nathan berdiri, masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.
Lauren menunduk merasakan sakit di dadanya, diraih surat itu. “Aku juga berharap begitu, setelah perceraian kita selesai aku nggak mau lihat kamu lagi.”
We Were Once Together
Di ruang sidang yang sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang bergema berasal dari hakim yang memasuki ruangan. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang dengan kursi-kursi yang telah diatur rapi.
Di salah satu sisi meja, Nathan duduk dengan pandangan yang tertunduk. Di sisi lain, Lauren duduk dengan postur tegap, matanya menatap lurus ke depan, tak ada kilatan kesedihan yang terselip di balik jiwanya yang terlihat rapuh.
Suasana menjadi lebih hening. Hakim duduk di kursi paling tinggi, menatap kedua belah pihak dengan pandangan yang tidak bisa dibaca.
Hakim mengetuk palu tanda mereka sudah resmi berpisah, di momen itu pandangan mereka bertemu sekilas, dan di sana, tersembunyi dalam keruhnya perpecahan ada kilasan kenangan indah yang pernah mereka bagi bersama.
Hanya Nathan yang terlihat sedih ketika meninggalkan ruang persidangan, di parkiran yang luas, langit mulai berubah menjadi gelap. Di sisa-sisa waktu terakhir mereka, Nathan mengambil kesempatan untuk menghampiri Lauren yang hendak masuk ke dalam mobil bersama pengacaranya.
“Lauren?”
Yang dipanggil menoleh. Lauren berusaha mengendalikan perasaannya, lagi pula ini adalah pertemuan terakhir mereka, jadi apa salahnya jika membiarkan lelaki itu menyampaikan salam perpisahan.
“Iya?” jawab Lauren.
Nathan mendekat, di genggamnya dengan lembut tangan mantan istrinya untuk terakhir kali. “Kalau setelah ini kita gak akan pernah bertemu lagi, dan saat ini adalah satu-satunya waktu yang tersisa untuk kita, saya mohon maafin semua kesalahan saya dan jangan marah lagi sama saya.”
Lauren tertegun mendengar perkataan Nathan yang begitu tulus, ia dapat mengetahuinya sebab tatapan Nathan tidak pernah berbohong, wanita itu tersenyum simpul, mengangguk samar.
Dia begitu terkejut saat Nathan tiba-tiba menciumnya tanpa izin dan tidak memberikan kesempatan untuknya berbicara, sesaat setelah selesai mencium pun Nathan langsung pergi walau berat rasanya untuk dia melepas genggaman tangan mereka.