02 SETELAH BERPISAH

1466 Words
AKHIR KISAH RUMAH TANGGA CEO LANDMARK: Kamis 14 September 2017 11:28 WIB Jakarta – Dalam sebuah pengumuman yang mengejutkan, pengusaha muda dan sukses: Nathan Pramudya resmi berpisah dengan istrinya, Lauren Arutala setelah tiga tahun menikah. “Kami sudah tidak cocok satu sama lain,” kata Lauren, saat diwawancarai pihak VXZ News di depan gedung Pengadilan Agama siang ini. Keputusan tersebut mengejutkan banyak pihak yang menyayangkan pilihan mereka untuk berpisah. Lauren dan Nathan sama sekali belum memiliki keturunan. Publik berasumsi retaknya rumah tangga mereka disebabkan oleh kehadiran orang ketiga. Imelda Yumiko— wanita yang sering dikaitkan dengan Nathan. Dan asumsi lainnya adalah karena Lauren tidak bisa memberi keturunan untuk keluarga Pramudya. Fakta baru muncul setelah tim VXZ News mendapatkan informasi dari orang misterius yang mengatakan bahwa Nathan Pramudya sengaja menggugurkan kandungan istrinya. Lalu sebenarnya apa yang diinginkan oleh Nathan? We Were Once Together Lelaki yang hanya mengurung diri di kamar rumah orangtuanya itu hanya bisa pasrah setelah membaca berita mengenai dirinya yang kini sedang menjadi berita paling banyak dicari di internet. “Rumah sudah kosong, Pak, bu Lauren gak mau tinggal lagi di sana dan tadi pagi dia pergi,” kata Andy sekretarisnya. Nathan memejamkan matanya, dan wajahnya yang biasa penuh kharisma itu kini hanya menampilkan kesedihan yang entah kapan akan hilang. “Andy, tolong bilang sama saya kalau ini semua cuma mimpi.” Andy menutup bibirnya rapat-rapat, tertunduk memandangi sepatunya. Diamnya Andy adalah jawaban untuk Nathan—Ini adalah sebuah kenyataan yang harus segera ia terima dengan lapang d**a. “Sekarang saya sendirian, ya?” Nathan menatap sekretarisnya sebentar lalu kembali menunduk. Andy mengangguk kecil. “Saya harap, Bapak bisa cepat menerima semuanya.” “Jangan sampai kamu telat transfer uang bulanan buat Lauren. Saya nggak mau dia kecapean dan cari uang sendiri.” “Kalau soal itu Pak… bukannya Bapak nggak ada kewajiban buat menafkahi bu Lauren?” Andy menatap Nathan. “Ini perintah Andy, saya nggak mau Lauren capek karena harus kerja, transfer uangnya sekarang juga biar mantan istri saya bisa beli apapun yang dia mau untuk kebutuhan rumahnya.” Andy menunjukan bukti transfer yang gagal kepada Nathan. “Kayaknya bu Lauren udah tutup akun rekening, sebenarnya saya udah coba tapi nggak berhasil.” “Maksud kamu?” Nathan mengernyitkan dahi dan mengambil ponsel milik sekretarisnya. Lauren menutup semua akses untuk Nathan, Lauren sudah tidak ingin ada hubungan apapun dengan mantan suaminya termasuk menerima nafkah yang sebenarnya tidak wajib Nathan lakukan. “Lauren nggak pernah berubah dari dulu, dia selalu nggak mau repotin saya padahal dia udah jadi istri saya. Apalagi sekarang, dia terlalu mandiri.” Haris tiba-tiba masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu untuk memastikan putranya baik-baik saja. “Berhenti jadi orang yang ngerasa paling sakit hati karena perceraian kalian.” Haris duduk di sofa seberang tempat tidur Nathan. Andy paham dengan situasi ini, sesegera mungkin ia harus pergi dan berpamitan kepada dua orang yang sangat ia hormati itu. “Sebenarnya apa alasan kamu melakukan itu ke anak kamu sendiri? Dan membuat Lauren jadi benci sama kamu?” Semenjak tahu apa yang telah diperbuat anaknya kepada Lauren membuat Haris tak habis fikir, setiap malam ia selalu kesulitan tidur karena memikirkan tingkah laku putra satu-satunya tersebut. Nathan menarik napasnya dalam. “Kandungan Lauren bermasalah dan dia juga tahu itu. Di konsultasi terakhir dengan dokter kita udah di kasih tahu, Lauren keras kepala dan tetap mau pertahankan bayi kami.” Haris melepas kacamatanya, tersentak kaget. “Kamu bicara jujur atau sedang bohong? Bukan karena buat nutupin perselingkuhan kamu sama Imelda ‘kan?” Bagaimana Haris bisa berpikir seperti itu, apa terpuruknya Nathan masih belum cukup untuk membuatnya percaya? “Pa, Demi Tuhan. Aku nggak punya hubungan apapun dengan Imelda. Gak lebih dari rekan kerja. Papa tahu sendiri sebelum Imelda pulang ke Indonesia, aku lebih sering ketemuan sama orangtua dia.” Nathan menghampiri Haris, dengan sopan ia menyuruh ayahnya untuk meninggalkannya sendirian di dalam kamar sebelum pertanyaan-pertanyaan lain membuatnya semakin gila. We Were Once Together Sebuah mobil bus berwarna biru tua melaju perlahan di jalanan yang meliuk-liuk menuju sebuah pedesaan yang tenang. Bus itu terdengar bergemuruh saat ban-ban besar berputar di atas aspal yang halus mengikuti jejak-jejak kendaraan sebelumnya. Mesin dieselnya mengeluarkan suara berdentang yang khas, sebagai simfoni kehidupan. Di sepanjang jalan, pemandangannya berganti-ganti: hamparan kebun yang hijau di pinggir jalanan, sementara di seberangnya terdapat air sungai yang mengalir jernih sumber kehidupan warga sekitar. Lauren yang duduk di kursi belakang bus, dengan pemandangan tertuju ke luar jendela, melihat anak-anak sedang bermain dengan riang dan tanpa beban yang berarti selain kembali memikirkan akan bermain ke mana setelah ini. Hal itu mengingatkannya pada masa kecilnya dulu di desa Saranggakara tempat ia dilahirkan. Dia harus menghabiskan enam jam waktu perjalanan, Lauren memilih meninggalkan hiruk-pikuk perkotaan dan kembali melanjutkan hidupnya di sini. Dia akan menempati rumah peninggalan orangtuanya, sendirian. Bus yang ditumpanginya berhenti di sebuah halte kecil di tengah desa, dan Lauren melangkah keluar dengan hati-hati. Perjalanan panjang dari kota, perubahan lingkungan dan kondisi udara, ia rasakan begitu berbeda. Aroma segar dari tangah dan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan, matahari bersinar terang dan langit biru tanpa awan putih sedikit pun menciptakan pemandangan yang sangat indah. Dia berjalan sambil membawa satu tas berisi pakaiannya, beberapa penduduk desa yang berpapasan dengannya tersenyum ramah dan hangat, seolah tahu kalau Lauren adalah orang yang baru di desa mereka. “Di sini kita aman, Nak. Gak ada orang jahat, nggak ada Papi kamu. Sehat-sehat, ya di kandungan Mami.” Lauren membatin sambil mengelus perutnya yang makin hari akan semakin membesar. Dia pergi dengan rahasia besar. Ya, Lauren sedang mengandung anak kedua. Dia berbohong kepada mantan suaminya. Bukan tanpa alasan, hal itu dia lakukan agar hal serupa tidak kembali terjadi. Jika Nathan tidak menginginkan anak mereka, maka perpisahan yang paling tepat. Hanya sepuluh menit dari halte bus dan Lauren sudah sampai di rumah masa kecilnya. Rerumputan menjulang tinggi di halaman depan rumah, debu tebal menyelimuti lantai rumah. Tanpa beristirahat dulu, Lauren langsung melakukan kegiatan bersih-bersih, ia sedikit kesulitan ketika membuka jendela akibat kuncinya yang sudah berkarat dan hampir patah. Udara segar seketika masuk ke dalam ruangan begitu jendela berhasil dibuka olehnya. Seorang lelaki paruh baya menyipitkan matanya sambil memperjelas pandangannya, mengarah ke sebuah rumah yang sudah belasan tahun tidak pernah terlihat berpenghuni. Dan kini pintunya terbuka lebar. Seorang wanita fokus menyapu debu-debu keluar rumah dengan pelan seraya menutup hidungnya yang terasa gatal dan sesak. Lelaki tua itu berjalan pelan ke arahnya untuk memastikan kalau perempuan yang sedang membersihkan rumah tersebut adalah anak dari tetangganya dulu. Lauren menoleh ke arah bayangan yang mendekat di sampingnya, perempuan itu tidak akan pernah lupa dengan lelaki tua di hadapannya. “Mang Dani?” Lauren menyimpan sapu terlebih dahulu sebelum bersalaman dengan pria tua yang sering ia panggil dengan sebutan Dani itu, belasan tahun setelah keluarganya memutuskan untuk pindah ke Jakarta, ia tidak pernah bertemu atau bertukar kabar dengan tetangga yang sudah ia anggap sebagai saudara tersebut. Dani bahagia bukan main melihat anak perempuan yang dulu sering merengek kepadanya jika ingin sesuatu kini sudah tumbuh dewasa dan memiliki paras yang cantik juga anggun tidak pernah berubah dari dulu. “Lauren, kamu sama siapa pulang?” Dani tak berhenti menatapnya sambil terus menggenggam erat tangan Lauren, ia melihat ke dalam rumah tidak ada siapapun. “Aku sendiri, Mang, gimana kabarnya? Bi Mara sehat?” “Mang Dani sehat, Bibi juga. Di mana Isaac?” Lauren tersenyum simpul. “Kak Isaac di London belum bisa pulang mungkin beberapa bulan lagi.” Setelah mengobrol sebentar, Dani berpamitan untuk memberitahu istrinya yaitu Mara, Lauren lanjut menyelesaikan beres-beres rumah. Pria tua itu berjalan penuh semangat tak sabar ingin segera memberitahu istrinya soal kedatangan Lauren, sesampainya di rumah, Dani menyisir setiap sudut ruangan mencari keberadaan Mara yang ternyata sedang mengambil pakaian kering di belakang rumah. “Bu, ada Lauren!” katanya antusias. Mara terkejut. “Yang bener, Pak?” jawabnya memastikan, belum Dani menjawab kembali, Mara sudah masuk ke dalam rumah dan melempar begitu saja cucian baju nya ke kursi berbahan kayu. Wanita itu ingin memastikannya sendiri dan langsung pergi ke rumah Lauren, kembalinya perempuan itu ke Saranggakara secara tiba-tiba menjadi sebuah tanda tanya besar untuk Mara. Beberapa jam kemudian, Lauren, Mara dan Dani yang sudah melepas rindu mereka masing-masing, berkumpul di ruang tamu. “Jadi kamu cerai sama suami kamu dan sekarang kamu lagi hamil?” Dani berbicara dengan pelan dan hati-hati. Lauren memaksakan senyumnya. “Aku punya alasan kenapa milih buat cerai sama dia, Mang.” “Tapi kamu lagi mengandung,” jawab Dani. “Justru itu, Mang, karena bayi dalam rahimku, aku milih buat pisah sama dia, mantan suamiku nggak mau anak kami.” Mara sangat terpukul mendengarnya, wanita tua itu sedikit menangis lalu memeluk Lauren yang memiliki nasib tidak beruntung dalam pernikahan. Pada akhirnya mereka saling diam dan tak melanjutkan obrolan, semua mendadak hening larut dalam pikirannya masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD