3. KEPUTUSAN RANI

1932 Words
Rani memilih untuk tidak dirawat di rumah sakit setelah mengetahui bahwa kondisi tubuh dan janinnya baik-baik saja. Dia menghentikan bajaj yang lewat di depan rumah sakit untuk mengantarnya dan Ibu pulang ke rumah. Selama di perjalanan tidak ada yang membuka suara. Rani dan Ibu sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Begitu tiba di rumah, Ibu langsung masuk ke dalam kamarnya. Rani yang melihat hal itu hanya bisa menghela napas berat. Dia memahami perasaan Ibu saat ini yang pasti sangat terkejut mendengar dirinya dinyatakan hamil. Rani tak bisa menyalahkan Ibu jika beliau marah kepadanya. Rani berjalan ke dapur. Dia mengambil gelas kosong di rak piring, lalu mengisinya dengan air putih. Dia duduk di kursi makan sebelum meneguk habis air putih di dalam gelas itu. Rani meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja. Dia kemudian membuka tudung saji yang ada di tengah-tengah meja untuk melihat apakah ada makanan untuk makan malam dirinya dan sang Ibu. Rani tersenyum saat melihat oseng kangkung dan perkedel tempe yang ada di balik tudung saji itu. Ternyata Ibu sudah memasak untuk makan malam mereka berdua. Rani pergi ke kamar untuk berganti baju, lalu kembali ke dapur lagi. Dia kemudian memanaskan semua makanan yang ada di atas meja. Walau tubuhnya masih terasa lemas, tapi Rani tetap memaksakan diri untuk menyiapkan makan malam bagi dirinya dan Ibu. Rani ingin menjelaskan tentang kehamilannya pada Ibu, tapi dia harus menunggu suasana hati Ibu sedikit lebih tenang. Mungkin setelah makan malam ia akan bicara dengan Ibu. Setelah semua makanan sudah tertata rapi di atas meja makan, Rani berjalan ke kamar Ibu untuk memanggilnya. “Bu, makanan di meja sudah Rani panaskan. Ayo kita makan malam dulu,” ajak Rani, mengetuk pintu kamar Ibu. Biasanya dia akan langsung membuka pintu kamar Ibu. Namun, kali ini Rani memilih menunggu Ibu yang membuka pintu. “Bu ....” Rani kembali mengetuk pintu saat tidak mendengar jawaban dari Ibu. Dia menunggu selama beberapa detik hingga terdengar derap langkah yang berjalan mendekati pintu. Pintu kamar terbuka memperlihatkan sosok Ibu yang telah berganti pakaian menggunakan daster yang biasa dipakai saat berada di rumah. “Ayo kita makan malam dulu, Bu,” ajak Rani, tersenyum menatap Ibu. Ibu tidak menanggapi. Ibu berjalan ke arah dapur, lalu duduk di meja makan. Rani yang melihat hanya mampu menghela napas panjang. Dia bergegas menyusul Ibu dan bergabung bersamanya di meja makan. Tidak ada yang bersuara selama mereka makan. Suasana hati Ibu tampaknya masih belum tenang. Rani bingung harus memulai percakapan dari mana melihat sikap Ibu yang terlihat tidak bersahabat kepadanya. Ibu menghabiskan makan malam lebih dulu daripada Rani. Ibu membawa piring kotor bekas ia makan ke wastafel, lalu mencuci dan menaruhnya di rak piring. Rani memperhatikan semua aktivitas itu. “Bu, aku mau bicara,” ucap Rani, saat melihat Ibu akan berjalan meninggalkan dapur. “Ibu tunggu di ruang tamu,” ujar Ibu, tanpa memandang Rani. “Iya, Bu,” sahut Rani. Dia bergegas menghabiskan makan malamnya, mencuci piring kotor dan membersihkan meja makan, lalu menyusul Ibu yang telah menunggu di ruang tamu. oOo “Apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu, Ran?” tanya Ibu karena Rani tak kunjung membuka suara setelah duduk di ruang tamu. Rani menatap Ibu yang juga sedang menatapnya. Dia menghirup napas panjang untuk menenangkan diri sebelum berbicara, “Ini tentang kehamilan aku, Bu,” ujarnya dengan suara pelan. Wajah Ibu berubah menjadi kaku, tapi beliau tidak mengatakan apa pun seolah menunggu Rani menyelesaikan ucapannya. “A-aku minta maaf, Bu. Aku per-pernah melakukan hubungan badan dengan seorang laki-laki. Aku nggak menyangka kejadian itu akan membuat aku hamil,” jelas Rani, terbata-bata. “Siapa laki-laki itu? Apa Ibu mengenalnya?” tanya Ibu, setelah lama terdiam. Rani menggeleng. “Namanya Reza, Bu. Kami baru bertemu malam itu,” jawabnya jujur. Ibu terbelalak. “Kamu baru bertemu laki-laki itu, tapi kamu sudah melakukan hubungan badan dengannya, Ran? Apa kamu tidak waras? Apa yang sudah laki-laki itu berikan pada kamu hingga kamu mau menyerahkan diri kepadanya, Ran?” tanya Ibu, tampak emosi. Rani menunduk. Dia ragu untuk menceritakan apa yang telah diberikan Reza kepadanya. Rani tidak ingin membuat Ibu semakin marah. “Kenapa kamu diam, Ran? Jawab Ibu! Apa yang telah laki-laki itu berikan pada kamu?” tanya Ibu dengan suara tegas. “Di-dia memberiku uang, Bu,” jawab Rani, akhirnya. Ibu berdecak. “Berapa banyak uang yang dia berikan sama kamu, Ran? Apa uang hasil kamu bekerja masih kurang hingga kamu melakukan hubungan badan dengan laki-laki yang baru kamu kenal? Atau jangan-jangan selama ini kamu telah menjual tubuh kamu untuk mendapatkan uang dari laki-laki hidung belang di luaran sana?” tuduh Ibu tanpa ampun. Rani menggeleng dengan cepat. “Enggak, Bu. Demi Allah aku nggak pernah melakukan hal serendah itu. Aku baru pertama kali melakukannya dengan Reza,” ujar Rani, menyangkal semua tuduhan Ibu. “Kalau kamu nggak pernah melakukannya, kenapa kamu mau melakukan hal itu dengan Reza, Ran? Kamu tahu, kan, harga diri wanita terletak pada kehormatannya?” tanya Ibu, menatap Rani dengan sorot mata tajam. “Iya, Bu, aku mengerti,” sahut Rani dengan suara lemah. “Kalau sudah mengerti, kenapa kamu masih melakukannya juga?” tanya Ibu dengan raut wajah heran. Rani menunduk. Dia sadar apa yang telah dilakukannya dengan Reza itu salah. Tapi Rani tidak punya pilihan lain saat itu. Reza menawarkan uang yang dibutuhkan Rani hingga ia tak sanggup untuk menolak keinginannya. “Temui laki-laki itu dan minta dia untuk bertanggung jawab, Ran!” perintah Ibu, tegas. Rani mendongak, terkejut. Dia tak menyangka Ibu akan memerintah ia untuk menemui Reza agar meminta pertanggungjawaban darinya. “Enggak, Bu. Aku nggak akan menemuinya,” tolak Rani, tak kalah tegas. Kini giliran Ibu yang terkejut mendengar ucapan Rani. “Kenapa kamu nggak mau minta pertanggungjawaban dari Reza, Ran? Sekarang kamu hamil. Anak itu butuh status, begitu juga dengan kamu,” ujar Ibu, tak mengerti. “Apa yang akan tetangga kita katakan kalau mereka sampai tahu kamu hamil di luar nikah, Ran?” Rani terdiam. Dia tahu ucapan Ibu benar. Para tetangga akan menggunjing dirinya jika mereka tahu dia hamil tanpa suami. Namun, Rani tidak bisa menemui Reza untuk meminta pertanggungjawaban darinya. Reza sudah memberikan uang untuk biaya operasi Ibu sebagai ganti Rani mau tidur dengannya. Rani pikir urusan mereka sudah selesai saat itu. Jika Rani menemui Reza, dia ragu Reza mau bertanggung jawab atas anak yang sedang dikandungnya sekarang. “Ibu nggak mau tahu. laki-laki itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, Ran. Kalau kamu nggak mau menemuinya, biar Ibu yang akan menemui dia,” ujar Ibu, memandang Rani yang sejak tadi hanya diam saja. “Aku mohon jangan menemuinya, Bu. Aku nggak bisa meminta pertanggungjawaban dari Reza,” kata Rani, memohon. “Kenapa nggak bisa, Ran? Sebenarnya berapa banyak uang yang telah diberikan laki-laki itu hingga kamu nggak mau meminta pertanggungjawaban darinya?” tanya Ibu, menatap Rani dengan raut wajah bingung. Rani ragu untuk memberi tahu nominal uang yang telah diberikan Reza kepadanya. Namun, akhirnya dia menyebutkan nominal itu setelah melihat tatapan menuntut dari Ibu. “Li-lima puluh juta, Bu,” jawab Rani, terbata. Ibu melebarkan mata, terkejut. “Lima puluh juta?” ulang Ibu, tampak tak percaya. Rani mengangguk, mengiyakan. “Uang sebanyak itu untuk apa, Ran? Kamu enggak—“ Ibu tiba-tiba menghentikan ucapannya. Dia memandang Rani dengan tatapan mata penuh curiga. “Apa uang itu yang kamu gunakan untuk membayar biaya operasi Ibu?” tebaknya kemudian. “I-iya, Bu,” sahut Rani, jujur. “Astaghfirullah ....” Ibu mengucap istighfar sambil mengusap dadanya. “Bukankah kamu bilang uang itu kamu pinjam dari bos kamu, Ran?” tanya Ibu, teringat perkataan Rani saat membawa uang itu untuk membayar biaya operasinya. “Maaf, Bu. Saat itu aku berbohong sama Ibu. Aku nggak pernah meminjam uang pada bos aku, Bu. Uang itu aku dapat dari Reza,” aku Rani, menundukkan kepala. Dia merasa bersalah karena telah membohongi Ibu. Setelah Reza pergi dari hotel, Rani juga ikut pergi untuk kembali ke rumah sakit. Dia mampir ke mesin atm di depan rumah sakit untuk mengecek uang yang telah di transfer oleh Reza. Sesuai permintaan Rani, Reza mentransfer uang sejumlah lima puluh juta ke rekeningnya. Keesokan harinya, Rani pergi ke bank untuk mengambil seluruh uang itu, lalu menemui dokter yang merawat Ibu setelah membayar biaya operasinya. Ibu sempat bertanya dari mana Rani mendapatkan uang untuk biaya operasi dirinya dalam waktu yang singkat. Rani berbohong dan mengatakan kalau dia meminjam uang itu dari Teguh, pemilik toko handphone tempat ia bekerja. “Kenapa kamu harus berbohong pada Ibu, Ran?” tanya Ibu dengan raut wajah kecewa. “Maaf, Bu. Aku takut Ibu nggak mau di operasi kalau tahu dari mana uang itu berasal,” jawab Rani, menyesal. “Tentu saja Ibu nggak mau di operasi, Ran. Lebih baik Ibu menahan rasa sakit daripada harus melakukan operasi menggunakan uang hasil perbuatan zina kamu,” ujar Ibu, tegas. Rani terdiam. Dia sadar apa yang telah dilakukannya bersama Reza itu salah. Namun, saat itu Rani tidak punya pilihan lain. Dia sudah putus asa untuk mencari uang biaya operasi Ibu. Jadi, saat Reza bersedia memberi uang sesuai yang Rani butuhkan, ia bersedia melakukan apa yang diinginkan Reza. Ibu terdengar menghembuskan napas panjang. “Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ran? Kamu nggak akan menggugurkan janin itu, kan?” tanya Ibu, ingin tahu. Rani menggeleng. “Enggak, Bu. Aku akan mempertahankan janin ini,” ucap Rani, mengusap perutnya yang masih rata. Rani sudah memikirkan hal ini dengan matang. Dia akan tetap mempertahankan janin yang ada di dalam kandungannya. Janin ini tidak bersalah. Rani yang bersalah karena telah melakukan perbuatan zina dan dia tidak mau menambah deretan kesalahannya dengan membunuh darah dagingnya sendiri. “Aku akan pindah ke luar kota untuk menghindari pergunjingan tetangga, Bu,” kata Rani, memberi tahu rencana yang akan dilakukannya. “Kamu akan pindah ke mana, Ran? Kita enggak punya saudara di luar kota,” tanya Ibu, penasaran. “Entahlah. Aku akan pindah ke tempat di mana tak ada seorang pun yang mengenalku, Bu,” jelas Rani. “Kamu yakin sudah memikirkan hal ini dengan matang, Ran?” tanya Ibu, memastikan keputusan Rani. “Iya, Bu.,” sahut Rani, menganggukkan kepala penuh keyakinan. “Baiklah .... Kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, Ran. Ibu akan ikut pindah dengan kamu,” ujar Ibu, tanpa keraguan. Rani terbelalak. “Ibu serius akan ikut denganku?” tanyanya tak percaya. “Iya. Ibu serius, Ran. Ibu nggak ingin kamu melewati semua ini seorang diri. Bagaimanapun juga Ibu ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa kamu saat ini,” kata Ibu, menjelaskan. Rani meneteskan air mata haru. Dia menghampiri Ibu, lalu memeluknya dengan erat. “Makasih, Bu, dan maaf telah membuat Ibu kecewa,” kata Rani, di sela isak tangisnya. Ibu membalas pelukan Rani. “Harusnya Ibu yang meminta maaf karena telah membuat kamu mengorbankan diri seperti ini, Ran,” kata Ibu di dekat telinga Rani. Rani menggeleng, lalu melepaskan pelukan mereka. “Ibu nggak perlu meminta maaf. Itu sudah menjadi kewajiban aku sebagai anak Ibu,” ujar Rani, menatap Ibu. “Aku akan melakukan apa pun untuk Ibu, meskipun aku harus mengorbankan nyawa aku sendiri, Bu,” lanjutnya sepenuh hati. Rani akan melakukan apa pun demi wanita yang telah melahirkan dan merawatnya hingga saat ini. Dia rela kehilangan kehormatan dan harus menanggung aib karena hamil di luar nikah asal Ibu bisa sehat kembali. Rani bersyukur Ibu tidak terlalu lama marah kepadanya. Rani sudah menyiapkan diri jika Ibu akan mengusirnya dari rumah setelah ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, reaksi Ibu ternyata di luar dugaan Rani. Walau Ibu sempat kecewa dengan perbuatan Rani, tapi beliau tetap mendukung dan tetap berada di sisi Rani untuk melewati semua hal yang terjadi di hidupnya. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD