2. PERTAMA BERTEMU

1194 Words
Rani duduk sendirian di taman dekat rumah sakit. Tadi pagi ibu Rani tiba-tiba pingsan dan ia membawanya ke rumah sakit. Rani baru menemui dokter untuk menanyakan kondisi kesehatan sang Ibu. Dia sangat sedih saat mengetahui Ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya terkena penyakit kanker hati. Dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa Ibunya. Rani mengusap wajahnya gusar. Biaya operasi yang dibutuhkan tidaklah sedikit dan dia tidak mempunyai tabungan sedikit pun. Uang simpanan Rani sudah habis untuk biaya perawatan Ibu selama di rumah sakit. Dia tidak tahu harus mencari uang ke mana lagi untuk biaya operasi Ibunya. Dokter hanya memberi waktu selama tiga hari. “Hai ....” Suara seseorang mengalihkan pikiran Rani yang sedang kalut. Rani menoleh dan melihat seorang pria yang tidak ia kenal duduk di sebelahnya. “Aku lihat dari tadi kamu sangat gelisah. Kenapa? Apa kamu memiliki masalah?” tanya pria itu tanpa basa-basi. Rani memandang pria itu dengan sorot mata tak suka. “Maaf ... sepertinya itu bukan urusan kamu,” sahut Rani, dingin. Dia sedang tak ingin menanggapi obrolan dengan pria yang tidak dikenalnya. “Ah ... sorry, aku hanya penasaran,” aku pria itu. “Aku akan menjadi pendengar yang baik jika kamu mau menceritakan masalahmu kepadaku,” tambahnya menatap Rani sambil tersenyum manis. Rani mendengus. Untuk apa dia menceritakan masalahnya pada pria asing yang baru ditemui beberapa menit yang lalu? ‘Buang-buang waktu saja,’ pikir Rani kesal. “Nggak ada salahnya, kan, berbagi cerita pada orang lain? Siapa tahu aku bisa membantu kamu,” kata pria itu saat melihat keengganan di wajah Rani. “Aku akan sangat terbantu jika kamu bisa meminjamkan uang lima puluh juta saat ini juga,” ucap Rani dengan nada suara ketus. Saat ini Rani sedang pusing memikirkan cara untuk mendapatkan uang lima puluh juta dalam waktu singkat. Dia tak ingin ditambah pusing dengan meladeni pria asing yang sok akrab padanya. “Untuk apa kamu membutuhkan uang sebanyak itu?” tanya si pria, terkejut. “Apa itu penting?” Rani balik bertanya, sambil menaikkan sebelah alis. “Tentu saja penting. Aku harus tahu alasan kamu sebelum meminjamkan uang itu, kan?” sahut si pria dengan mimik wajah serius. “Kamu mau meminjamkan uang itu kepadaku?” tanya Rani, terperangah. Dia menatap pria itu penuh minat. Walau penerangan di taman ini agak temaram, tapi Rani bisa melihat jika wajah pria di hadapannya ini sangat tampan dengan postur tubuh yang tinggi. Penampilannya juga cukup menarik walau terlihat berantakan dengan kemeja yang lepas sebelah dari celana dan lengan kemeja yang digulung hingga ke siku. Rani menduga pria ini bekerja kantoran dan datang ke taman ini sepulang kerja. “Iya, tapi dengan satu syarat,” ujar pria itu, menyeringai. Rani memicingkan mata, curiga. Dia tahu dengan pasti tidak ada yang gratis di dunia ini. Tidak ada orang yang mau menolong orang lain tanpa pamrih. Apalagi mereka baru bertemu malam ini. “Apa syaratnya?” tanya Rani kemudian. Pria itu menatap Rani, lekat. “Malam ini kamu harus tidur denganku,” ujarnya tanpa keraguan. Rani membelalak, tak percaya. Dia memang tak pernah dekat dengan seorang pria apalagi berpacaran, tapi dia bukanlah gadis bodoh yang tak mengerti arti kata ‘tidur’ yang diucapkan oleh pria itu. “Jangan mimpi!” tolak Rani dengan tegas. “Aku bukan wanita serendah itu.” “Siapa yang menganggapmu wanita rendah?” pria itu balik bertanya dengan raut wajah heran. “Jika melihat penampilan kamu yang sangat kacau saat ini, aku yakin kamu sangat membutuhkan uang itu. Kamu pasti akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya, kan?” ujarnya berpendapat. Benar. Rani akan melakukan apa pun untuk mendapatkan uang sebagai biaya operasi Ibunya. Tapi tidak dengan cara menyerahkan harga diri dan kehormatan yang ia punya pada pria asing di depannya ini. “Kamu tak perlu mengembalikan uang itu jika kamu mau tidur denganku,” ujar pria itu lagi. Rani melotot mendengar perkataan pria itu. “Apa kamu sadar dengan yang kamu ucapkan tadi? Uang lima puluh juta bukanlah jumlah yang sedikit.” Apa pria di hadapannya ini orang yang sangat kaya raya hingga merelakan uang lima puluh juta begitu saja? Atau dia hanya membual supaya bisa menikmati tubuhnya? Rani bergidik ngeri membayangkan hal itu. “Tentu aku sadar dengan ucapanku,” kata pria itu, yakin. “Semua keputusan ada di tangan kamu. Aku tak akan memaksanya,” lanjutnya kemudian. “Apa tak ada syarat yang lain? Aku rela bekerja sebagai pembantumu untuk mengembalikan uang itu,” pinta Rani, mencoba bernegosiasi. “Sayangnya tak ada penawaran lain untuk kamu. Pilihan kamu hanya dua, iya atau tidak,” ujar pria itu dengan tegas. Rani terdiam. Sebenarnya tawaran itu cukup menarik karena dia tak perlu pusing untuk mengembalikan uang itu setelahnya. Tapi Rani bukanlah w************n yang akan menjual tubuhnya demi segepok uang. Haruskah kali ini menjadi pengecualian? Ibunya sangat membutuhkan uang itu dan Rani tak tahu harus mencari uang ke mana lagi jika menolak tawaran pria di hadapannya ini. Tapi apa yang akan dikatakan Ibunya jika beliau mengetahui dari mana uang itu berasal? “Jadi, kamu mau ikut denganku?” tanya pria itu, mengulurkan tangan. Dia sudah berdiri dan bersiap pergi dari taman ini. Rani memandang wajah pria itu dan uluran tangannya bergantian. “Apa kamu bisa di percaya?” tanyanya penuh keraguan. Rani khawatir pria itu akan pergi begitu saja tanpa memberikan sepeser pun uang yang dijanjikan setelah dia menyerahkan tubuh kepadanya. “Tentu saja. Kamu bisa pegang janjiku,” sahut pria itu, meyakinkan. Rani menghembuskan napas panjang. Ini adalah keputusan yang sangat sulit baginya. Rani berharap keputusan yang ia ambil tak akan membuatnya menyesal suatu hari nanti. Setelah memantapkan hati, akhirnya Rani menerima uluran tangan itu. Pria itu tersenyum melihat Rani menyambut uluran tangannya. “Sepertinya sejak tadi kita belum berkenalan. Namaku Reza Pratama,” ucapnya memperkenalkan diri. “Rani Anggraini,” balas Rani, menyebutkan nama lengkapnya. oOo “Uangnya sudah aku transfer. Kamu bisa cek sendiri di rekeningmu, Ran,” ujar Reza, memberi tahu. Dia sudah kembali berpakaian lengkap dan sedang mengotak-atik handphone di tangannya. “Terima kasih,” sahut Rani, masih duduk di tempat tidur dengan selimut yang membalut tubuh polosnya. “Nggak masalah. Itu sebanding dengan apa yang telah kamu berikan padaku, Ran,” ujar Reza, mengalihkan pandangannya pada Rani. Reza sangat terkejut saat mengetahui Rani masih perawan. Dia sedikit menyesal telah merusak gadis polos ini. Namun, Reza tak menampik jika dia menikmati kegiatan panas mereka dan merasa senang menjadi orang pertama yang menyentuh Rani. Rani tak berkata apa pun. Dia menundukkan kepala tampak malu karena ditatap sedemikian intens oleh Reza. “Istirahatlah .... Aku sudah memesan kamar ini sampai besok pagi,” kata Reza, menyarankan. Dia sengaja memesan kamar hotel di dekat rumah sakit untuk melakukan kegiatan panas mereka agar Rani tidak perlu pergi terlalu jauh jika ingin kembali ke rumah sakit. “Semoga operasi Ibumu berjalan dengan lancar, Ran,” ujarnya penuh harap. Rani sudah memberi tahu Reza alasan ia membutuhkan uang itu. Reza merasa sebagai pria b******k karena memanfaatkan kesulitan Rani untuk kesenangannya sendiri. Namun, Reza tak bisa mundur lagi. Dia membutuhkan Rani sebagai pengalihan dari rasa sakit hati yang sedang ia rasakan saat ini. “Amiin,” sahut Rani mengamini harapan Reza. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD