1. HAMIL

1417 Words
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Reza dari berkas-berkas yang sedang ia baca. Reza meletakkan berkas itu di atas meja, lalu meminta seseorang yang berada di balik pintu untuk masuk ke dalam ruangan. “Hai, Bro,” sapa seorang pria, berjalan memasuki ruangan Reza. Reza menoleh dan melihat Ady, sang sahabat, duduk di sofa yang ada di dalam ruangannya. “Ngapain lo pagi-pagi datang ke sini, Dy?” tanya Reza, melepas kacamata yang ia pakai dan berjalan menghampiri sang sahabat. “Lo lupa hari ini kita ada meeting, Za?” tanya Ady, mengingatkan. “Gue sengaja datang lebih pagi buat menyapa sahabat super sibuk gue.” “Bilang aja lo nggak ada kerjaan, Dy,” sahut Reza, mencibir. Ady tertawa mendengar ucapan bernada sindiran itu. Sama seperti Reza, Ady juga meneruskan bisnis keluarganya tapi di bidang perhotelan. Berbeda dengan Reza yang selalu serius dalam bekerja, Ady lebih santai dan terkesan cuek. Tapi jangan remehkan kemampuannya. Insting Ady dalam berbisnis mampu membuat semua hotel yang ia kelola berkembang pesat hingga diminati banyak pengunjung. Hal itu yang membuat Reza mau bekerja sama dengan Ady. Walau mereka bersahabat, tapi bisnis tetaplah bisnis. Mereka berdua harus tetap profesional dalam bekerja. “Lo pakai parfum apa sih, Dy? Kok bau banget,” kata Reza, menutup hidung dengan sebelah tangan. Perutnya mendadak mual setelah duduk di dekat Ady. “Gue pakai parfum yang biasa, Za,” sahut Ady, mencium aroma parfum yang melekat di tubuhnya. “Bau gimana sih? Ini wangi kok,” ujarnya menatap Reza dengan raut wajah bingung. Reza tak sempat membalas ucapan Ady. Dia bergegas lari ke kamar mandi karena tak sanggup menahan rasa mual yang tiba-tiba menyerangnya. “Lo kayak wanita hamil aja, Za, pagi-pagi muntah-muntah gitu,” komentar Ady, melihat Reza yang sedang memuntahkan sarapannya di kamar mandi. “Sialan lo!” umpat Reza setelah berhasil memuntahkan semua isi perutnya. Dia membersihkan mulut dari sisa muntahan, lalu mencuci tangannya. “Jauh-jauh lo dari gue,” ujar Reza, mendorong tubuh Ady dari depan pintu kamar mandi. Reza kembali ke meja kerjanya dan menelepon Selfi agar membuatkan minuman untuk Ady dan teh mint untuknya sebagai pereda mual. Sudah seminggu belakangan ini Reza selalu mual dan muntah jika mencium bau yang menyengat. Setiap bangun pagi dia juga selalu muntah-muntah hingga membuatnya tak berselera makan. “Serius lo kayak Tria waktu hamil muda dulu, Za,” kata Ady yang memilih kembali duduk di sofa. “Jangan-jangan lo hamilin anak orang?” tuduhnya menatap Reza dengan tatapan menyelidik. “Sembarangan lo! Gue selalu pakai pengaman kalau main. Lagi pula gue udah lama nggak ngelakuin hal itu,” bantah Reza, tak terima. “Yakin lo? Gimana kalau ada wanita hamil yang tiba-tiba datang ke sini dan meminta pertanggungjawaban dari elo?” tanya Ady, menaikkan sebelah alisnya. “Nggak akan!” bantah Reza dengan yakin. Dia selalu ingat untuk memakai pengaman ketika berhubungan badan dengan wanita-wanita yang ditemuinya di klub malam, kecuali .... Mata Reza melotot mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Dia pernah membantu seorang gadis dan sebagai gantinya gadis itu harus tidur dengannya. Reza ingat saat itu dia tidak memakai pengaman karena kehabisan stok di mobil. Dan itu kali terakhir Reza melakukan hubungan badan dengan seorang wanita. Ady menyeringai melihat perubahan raut wajah Reza. Ady terlihat yakin kalau sang sahabat telah melakukan kesalahan seperti yang ia tuduhkan tadi. oOo Hari mulai beranjak sore. Toko yang semula ramai mulai berangsur sepi. Rani menghela napas lega karena akhirnya dia bisa beristirahat. Rani mendudukkan diri di sebuah kursi sambil memijat pelipisnya. “Kamu kenapa, Ran?” tanya Puput, menghampiri Rani dan duduk di kursi sebelahnya. “Kepalaku pusing, Put,” jawab Rani dengan suara pelan. Dia merasa pusing dan tubuhnya lemas setelah berdiri berjam-jam melayani para pembeli di toko. “Wajah kamu pucat, Ran,” kata Puput, mengamati wajah Rani. “Sebaiknya kamu pulang dan istirahat di rumah saja,” lanjutnya menyarankan. “Tapi nanti kamu sendirian, Put. Kamu bakal kerepotan kalau toko sedang ramai,” tolak Rani. Dia merasa tak enak jika harus meninggalkan Puput berjaga sendirian di toko. “Justru aku yang akan kerepotan kalau kamu tiba-tiba pingsan di sini, Ran,” bantah Puput. “Kamu pulang saja, masih ada Mas Teguh yang akan membantu aku di sini.” Teguh adalah pemilik toko handphone tempat Rani dan Puput bekerja. Laki-laki berumur awal tiga puluhan ini selalu ramah dan memperlakukan karyawannya dengan baik. Tak jarang Teguh ikut membantu melayani pembeli bila toko sedang ramai. “Baiklah,” ucap Rani akhirnya. Rani meminta izin kepada Teguh untuk pulang lebih awal. Teguh langsung mengizinkan saat memandang wajah Rani yang tampak pucat. “Makasih, Mas,” ucap Rani, saat mendengar Teguh mengizinkannya pulang lebih awal. “Sama-sama, Ran. Kamu nggak usah berangkat kerja dulu kalau besok masih nggak enak badan,” kata Teguh, memberikan pesan. “Iya, Mas. Kalau begitu saya pamit dulu,” pamit Rani yang diangguki oleh Teguh. Setelah mendapatkan izin dari Teguh, Rani bergegas pulang. Dia berjalan menuju ke pangkalan ojek yang ada di dekat toko handphone tempatnya bekerja. Rani memilih pulang menggunakan ojek daripada angkot yang akan membuat kepalanya semakin pusing. oOo “Assalamu'alaikum, Bu.” Rani mengucap salam ketika memasuki rumah yang pintunya dibiarkan terbuka. Dia menghampiri sang Ibu yang sedang menonton televisi di ruang tamu, lalu mencium punnggung tangan beliau. “Wa'alaikumsalam,” jawab Ibu, memandang Rani. “Kamu sudah pulang, Nak?” lanjutnya bertanya. Dia tampak heran melihat Rani pulang lebih cepat dari hari biasanya. “Iya, Bu. Aku izin pulang lebih awal. Kepalaku pusing banget,” keluh Rani, menyandarkan tubuh di sofa sebelah sang Ibu. “Ibu kan sudah bilang kamu nggak usah berangkat kerja dulu, Ran. Akhirnya tambah sakit kayak gini, kan?” timpal Ibu menatap Rani dengan raut wajah khawatir. “Iya, Bu,” sahut Rani, tak bisa membantah. Sepertinya dia memang terlalu memaksakan diri untuk bekerja hingga bertambah sakit seperti ini. “Aku ke kamar dulu ya, Bu, mau istirahat,” pamitnya kemudian. Ibu mengangguk. “Iya. Jangan lupa minum obat, Ran,” ujarnya berpesan. “Iya, Bu,” sahut Rani, bangkit berdiri. Baru beberapa langkah berjalan, tubuh Rani limbung. Dia mencari pegangan untuk menopang tubuhnya. Namun, kepala Rani yang terasa semakin pusing membuat tubuhnya oleng hingga jatuh ke lantai keramik. Suara teriakan sang Ibu menjadi hal terakhir yang diingat Rani sebelum kegelapan menguasainya. oOo “Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Dia sakit apa?” tanya Ibu setelah dokter selesai memeriksa Rani. Ibu akhirnya bisa membawa Rani ke rumah sakit di dekat daerah tempat tinggal mereka dengan bantuan para tetangga yang datang menolong. “Anak Ibu nggak sakit, jadi Ibu nggak perlu khawatir,” ujar sang Dokter, tersenyum menenangkan. “Kalau Rani nggak sakit, kenapa dia bisa sampai pingsan, Dok?” tanya Ibu, bingung. “Tadi pagi Rani muntah-muntah dan dia mengeluh kalau kepalanya pusing,” lanjutnya memberi tahu. “Itu hal wajar yang biasa dialami wanita hamil, Bu,” kata sang Dokter, menimpali. “Hamil? Tapi anak saya nggak ha—“ Ibu menghetikan ucapannya, lalu memandang sang dokter dengan tatapan horor. “A-anak saya ha-hamil, Dok?” tanyanya terbata-bata. Dokter yang berdiri di hadapan Ibu tersenyum. “Iya, Bu. Anak Ibu sedang hamil. Usia kandungannya sudah memasuki minggu kelima,” ujarnya menjelaskan. “Astaghfirullah.” Ibu beristighfar dengan suara pelan. Ibu sangat terkejut mendengar penjelasan dari dokter. Ibu tidak menyangka sakit yang dialami oleh Rani karena dia sedang hamil. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala Ibu. Bagaimana mungkin Rani bisa hamil sementara dia saat ini belum menikah? Ibu bahkan tidak pernah melihat Rani dekat dengan seorang pria selama ini. Lalu siapa yang telah menghamili anaknya? oOo Rani sudah sadar beberapa menit yang lalu. Dia yang masih terbaring di ranjang pasien mendengar semua percakapan Ibu dan dokter yang berdiri tidak jauh dari ranjang pasien yang ia tempati. Rani meneteskan air mata saat mendengar kalau dirinya hamil. Dia terharu sekaligus sedih mendengar kabar ini. Rani mengusap perutnya yang masih rata. Dia tidak percaya ada janin yang sedang berkembang di dalam rahimnya. Rani sangat terharu karena sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu. Namun, dia juga sedih karena bayi ini hadir dalam kondisi dirinya yang belum menikah. Ibu pasti akan bertanya siapa Ayah dari bayi yang sedang ia kandung sekarang dan Rani tidak mempunyai jawaban untuk hal itu. Rani ingat kejadian dua bulan yang lalu di mana ia menerima tawaran seorang laki-laki untuk tidur bersamanya. Rani tak menyangka kejadian itu akan membuat dirinya hamil. Sekarang Rani bingung harus melakukan apa. Dia ragu laki-laki yang baru dikenalnya saat itu mau bertanggung jawab atas janin yang sedang ia kandung sekarang. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD