prolog

1066 Words
Aku, seorang karyawan di perusahaan besar. Menjabat sebagai sekretaris manager keuangan. Aku menjalin kasih dengan seorang pengusaha kaya di kantorku. Tepatnya dia bos atas di perusahaan ku. Kami menjalani hubungan tersembunyi ini selama hampir satu tahun. Tanpa ada yang tau selain aku, dia dan sahabat ku Rina. Dulu aku satu-satunya, tapi keluarganya menjodohkan kekasih ku dengan anak rekan bisnisnya. Ucik, nama yang cantik. Secantik orangnya. Tapi kekaguman ku harus berubah menjadi sebuah sakit hati. Karena gadis cantik, berkulit eksotis dan berambut lurus sebahu itu. Di perkenalkan sebagai tunangan dari kekasihku. Aku sedih, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Itu semua karena aku dan kekasihku memiliki kasta yang jauh berbeda. Keluarga kaya raya seperti mereka, ingin anaknya menikah dengan orang yang memiliki kasta yang setara. Sedangkan aku? Aku hanya seorang anak dari petani yang merantau ke kota besar. Kekasihku sudah mengenalkan tunangannya ke seluruh plosok kantor. Tapi dia enggan memutuskan hubungan kami. “Kenapa kamu tidak mau putus dengan ku? Aku cukup tersiksa di sini.” Tangisku pada seorang lelaki tinggi dan berbadan besar di depan ku. “Aku mencintaimu, aku ingin memilikimu. Kamu tau aku tidak bisa berkata tidak pada Mama ku. Beliau memiliki sakit jantung dan dia hanya ingin di operasi Ketika aku mau menerima lamaran ini.” Katanya lembut padaku. Ya aku tau, Mamanya memang memiliki riwayat kesehatan yang buruk. Tapi hatiku juga tak terbuat dari baja. Hatiku terbuat dari gumpalan daging dan darah. Jadi, sangat bisa untuk hancur kapan saja. Beruntung hatiku bukan buatan China, yang harus ganti setiap saat di lukai olehnya. Tuhan maha baik, Dia membuatku kuat meski hatiku hancur. “Aku juga mencintaimu Wid, maka dari itu aku sangat hancur melihat mu bersamanya.” Kataku mengiba. “Jangan omong kosong. Kalau kamu memang mencintaiku, bertahan di sampingku. Kuat, demi cinta kita.” Kata-katanya manis, sayang itu tidak seperti gula. Tapi garam yang di bubuhkan langsung pada luka hatiku. Putus, kata itu memang sangat ringan aku lontarkan. Tapi aku munafik, karena pada dasarnya, aku menginginkan dia. Dia seorang yang perhatian, baik, membimbingku. Dan yang paling penting, dia adalah orang yang sangat mengerti aku. Ada di segala situasi dan dia juga selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang. Tunangannya jauh, dia tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas Jepang. Pintar, dia juga sangat manja pada kekasih ku. Aku tak tahan dengan apa yang menjadi pemandangan di kantor selama bulan-bulan awal perjodohan mereka. Kekasihku yang memang seorang pecinta sejati, di suguhi dengan wanita cantik dan manja seperti dia. Sudah pasti akan tertarik dan juga jatuh hati. Tapi sayangnya dia menyangkal. Dia bisa egois, aku pun harus bisa egois. Kekasihku akan memarahiku ketika aku tidak patuh padanya. Seperti saat ini, aku sudah di maki olehnya karena meminta putus hubungan. Aku tidak tahan, tapi aku harus tahan. Aku cinta pada Widi, kekasihku yang usianya beda satu tahun di bawahku. Entah sihir apa yang dia gunakan untuk menjeratku. Sungguh aku menjadi orang bodoh jika berhadapan dengan dirinya. “Kamu masih memberi kesempatan pada dia? Apa kamu i***t? Sungguh, aku tak mengerti apa yang ada di pikiran mu. Cinta boleh, sayang. Tapi jangan bodoh. Kamu harus sering-sering dengar lagunya Rossa deh, biar otakmu itu berjalan lancar.” Ini sahabatku, Rina. Dia gadis seusiaku yang juga seorang sekretaris di perusahaan ini. Hanya saja kami beda divisi. Dari awal aku menjalin hubungan dengan kekasihku, dia orang pertama yang menentang. Entah memang tidak suka, atau memang dia memiliki firasat yang tidak baik pada Widi. Aku cukup keras kepala untuk hal ini, aku menutup kuping dan mataku akan fakta darinya. Cintaku kuat, cintaku tak tergoyahkan. Tapi hatiku sakit melihat semua ini. Aku seakan berjalan di atas bara api saat Bersama dengan kekasihku. Dia tak henti-hentinya mengirim pesan pada tunangannya. Hanya untuk membuatnya tidak khawatir dan berpikiran lebih. Aku seperti seorang Sefia di dalam hubungan kekasihku sendiri. Aku sudah pertama, tapi bukan satu satunya. “Sayang, percaya sama aku. Kamu memang bukan satu-satunya, tapi kamu yang paling utama.” Ya, seperti itulah kata manis yang selalu membuat ku bahagia. “Bukan satu-satunya, tapi yang utama.” Wanita mana yang tidak luluh hatinya jika mendengar kata itu dari kekasihnya yang mendua? Mungkin hanya aku yang bodoh ini. Kata orang, cinta itu buta. Dan aku memang cukup buta karena cintaku pada Widi. Hari ini, adalah hari pertunangan kekasihku dengan jodoh yang di pilih keluarganya. Kami sebagai karyawan di perusahaan milik keluarganya pun menghadiri acara tersebut. Aku dan Rina duduk di salah satu sudut ruangan yang di hias megah. Seluruh ruangan di penuhi dengan bunga Lili warna putih. Rumornya, bunga itu adalah bunga kesukaan Ucik. Bunga yang melambangkan kesucian dan kehormatan itu memang pantas untuk Ucik. Dia elegan, cantik dan murni. Berbeda dengan ku. Siapa aku? Aku hanya karyawan rendahan yang tak layak di pandang. Seorang pendatang yang bisa di bilang tidak mempengaruhi tatanan dunia jika tidak ada. Jadi aku lebih sadar diri, siapa diriku. Aku seperti bunga marigold, warnanya tampak cerah dan ceria. Tapi sayang, memiliki arti kesedihan. Sungguh malang nasibku. Pertama jatuh cinta dulu, aku harus mengalah pada sahabatku. Meski aku tau dia dulu mencintaiku. Dan sekarang setelah aku sudah bisa move on. Aku kembali harus mengalah karena beda kasta. Dunia ini tak adil, memang tak pernah adil pada siapa pun. Termasuk aku. “Mau sampai kapan kamu memandang tulisan tolol itu? Sudah, ayo kita minum sampai mabuk.” Rina selalu membuatku merasa bodoh. Aku memang bodoh, tolol dan i***t. Wanita mana yang mau bertahan untuk di sakiti? Padahal aku tidak mendapat keuntungan apa-apa dalam kisah ini. Selain sakit hati. “Sudah, lupakan. Aku mau makan kenyang hari ini.” Sahutku berusaha baik-baik saja. “Bagus, kamu harus tunjukkin ke keparat itu. Kamu itu cantik, jadi buat dia menyesal nantinya.” Benar juga apa yang di katakan oleh Rina, aku tidak boleh terlihat lemah. Apalagi di hadapan Widi. “Zia, kamu jangan galau. Aku akan menemanimu sampai mabuk, aku yang akan bertanggung jawab kalau kamu mabuk.” Katanya Rina yang aku yakin dia sudah berada di batas kesadarannya. “Minum aja sana jangan banyak omong.” Kataku ingin tertawa tapi takut dia menangis. “Boleh duduk?” ada salah seorang tamu yang tiba-tiba datang menghampiri kami. “Silakan.” Jawab ku sopan. “Kenalkan, aku Wisnu. Kakak kandung Widi.” Katanya memperkenalkan diri. Aku sedikit mengingat-ingat, siapa orang ini. Dan.... Ya aku mengingatnya. Dia Kakak dari kekasihku yang bekerja di Jepang. Dia memegang perusahaan cabang di sana. “Oh, hallo.” Sapaku sopan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD