Prolog

216 Words
Aku enggak pernah ngerti bagaimana bisa papa dan mama memaksakan kehendak mereka padaku. Selama ini, aku selalu jadi yang tak terlihat. Menjadi anak yang tak kasat mata. Boro – boro dapat perhatian, bisa dianggap 'ada' saat makan malam saja aku sudah senang sampai jumpalitan mungkin. Pernah lho saat SMA aku mikir, jangan – jangan aku titisan jin. Saking saktinya sampai – sampai hampir sering enggak kelihatan oleh keluargaku. Tapi ketika aku diejek dan dibully oleh teman – teman karena dibilang anak pungut, baru lah aku sadar, itu mereka semua bisa melihatku. Bahkan mereka tahu kalau aku jelek. Iya, aku jelek. Tidak secantik mbakku yang jadi primadona di sekolah kami. Terus tiba – tiba saja, saat membutuhkan bantuanku, papa hampir memohon padaku untuk mengikuti keinginannya. Walaupun sekuat tenaga kutolak, aku tidak sanggup melihat mata papa mengeluarkan airmata. Ya papa masih lumayan lah, masih sedikit memperhatikanku. Apalagi papa tidak pernah pelit saat aku meminta uang untuk jajan hal – hal yang mama bilang tidak penting. Hingga akhirnya, dengan terpaksa aku mengikuti kemauan papa dan eyang. Meski hatiku menjerit, tapi aku tidak berdaya. Aku bukanlah tokoh penting dalam keluarga, aku hanya seorang anak yang berbeda. Yang sering membuat malu mereka hanya karena perbedaan fisik dan nilai akademisku yang tidak membanggakan. Tidak apa – apa jika aku tidak bahagia, asalkan mereka menerimaku dan papa sebagai keluarga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD