Dua

1750 Words
Aku sedang memainkan hiasan jam pasir di meja baruku. Ya, sekarang aku menempati meja baru. Posisi baru. Di divisiku. Sebelumnya, ada Bu Hesti yang mengundurkan diri karena ikut suaminya yang pindah tugas ke Kalimantan. Masih di ruangan yang sama dengan divisi General Affair, hanya saja ruanganku berada di dalam dan terpisah. Sedangkan beberapa staf GA, berada di luar ruanganku. Pintu diketuk, aku pun mempersilakan siapapun yang berdiri disana untuk masuk. Elang tersenyum canggung dan berjalan menghampiriku. "Wah, ada angin apa nih Direktur Keuangan mampir ke kantor saya?" Tanyaku bercanda. "Pertama, mau ucapin selamat. Aku baru lihat di E - Chart, nama kamu naik." Elang mengulurkan tangan yang kusambut jabatannya. Aku mencibir padanya, "halaaah. Mas Elang terlalu sibuk sampai kenaikan jabatan saja, lihat di E - Chart." Dia tertawa. "Enggak juga, Py. Cuma memang sepi banget berita tentang kenaikan kamu, di atas." Kilahnya. Di atas yang dimaksud adalah di kalangan jajaran para petinggi. Tentu saja sepi, memang siapa aku? "Iyalah sepi, cuma Happy kok. Bukan Diandra atau Livia yang jadi objek berita." Nyinyirku. Dua perempuan itu adalah Primadona dalam Perusahaan ini. Yang kerjaannya dandan sepanjang hari, tapi entah bagaimana caranya, terlihat berprestasi di kalangan makhluk berbiji. Elang mengulurkan tangan, mencubit pipiku dengan keras. Ini kebiasaan lama, jika saja ada Alya di antara kami, aku dan Elang memang sering bercanda seperti ini. Tapi suasana kali ini menjadi canggung, mengingat apa yang dikatakan papa kemarin malam. Aku pun menarik diri dan Elang seolah membetulkan letak dasinya untuk mengusir kecanggungan yang mengudara. "Maaf, Py. Uhm, soal kemarin yang Om Latief katakan--" "Aku enggak akan mau, Mas. Tenang saja." Potongku. "Kenapa?" Elang bertanya bingung, badannya dicondongkan sedikit ke arahku. "Tentu saja karena pacar Mas Elang adalah mbak Alya, mana mungkin aku menggantikan dia. Mbak Alya pasti pulang, dia hanya perlu menenangkan diri." Hiburku. Meski kuakui, keraguan menghantam hatiku. Ah Alya, dia bukan orang pengecut yang melarikan diri tanpa sebab yang merundung hatinya. Pasti ada sesuatu. Elang menghela napas, "sebenarnya hubungan aku dan Alya tidak seindah kelihatannya, Py." "Maksud Mas Elang apa?" "Beberapa tahun belakangan Alya berubah, aku juga enggak tahu karena apa. Tapi yang jelas, ada orang lain yang dipikirkan Alya. Itu bukan aku. Memijat kening, aku kehilangan kata - kata pada pria yang sorot matanya meredup di depanku. "Tapi, Mas Elang masih mencintai mbak Alya kan?" Ia tersenyum sedih, "dua belas tahun aku mencintai mbak-mu, Py. Akan sulit melupakannya." Jawab Elang dengan jujur. "Jadi, jelas. Kita tidak bisa menerima keputusan papa untuk menikah." Tutupku, final. "Py, posisiku juga lemah dan sulit untuk menolak. Sepertinya om Latief dan ayahku sedang berbicara saat ini." Papa! "Tapi Mas, ini tuh pernikahan. Dikira main Badminton kali, bisa diganti." Elang tertawa miris. "Sayangnya hidup kita bahkan lebih menyedihkan dari sekedar bermain badminton, Py. Kita tidak punya pilihan." "Kita punya, Mas. Toh selama ini, papa tidak pernah ikut campur dalam masalahku. Karena aku punya pilihan untuk menolak, tidak seperti Alya yang sepertinya saat baru lahir, sudah terjadwal tujuan hidupnya." Cerocosku. Elang memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan, "kamu beruntung kalau begitu. Tapi kali ini, keberuntunganmu sepertinya sudah habis." Elang menyerahkan ponselnya dan disana tertera undangan pertunangan dengan namaku dan dirinya yang tertera. Ini gila! Aku tidak pernah bermimpi menjadi The Heirs atau pewaris apapun dari kekayaan papa. Aku cukup tahu diri dengan ketidakmampuanku mengimbangi kehebatan papa dalam mengelola bisnisnya. Bahkan aku, Desti dan Bowo sudah berencana untuk memiliki usaha homestay di tempat wisata, suatu hari nanti. Dan menyerahkan kepemilikan sahamku untuk Arka ketika dia lulus kuliah. Bukan karena hobbi travelling yang membuat kami memiliki niat itu, tapi semata - mata karena kami muak dengan homestay murah di beberapa tempat yang menurunkan kualitas dan kenyamanannya. Aku jadi membayangkan, betapa menyedihkannya menjadi Kim Tan dalam Drama Korea, The Heirs. Dia harus terpaksa menjalani pertunangan dengan gadis yang tidak dia cintai. Ah, tapi hidupku bukan drama Korea. Harusnya tidak ada perjodohan di kehidupan nyat-- "Kita terlahir untuk meneruskan bisnis keluarga, Py. Dengan segala syarat dan ketentuannya. Perjodohan, adalah salah satu syarat dan ketentuan itu." Aku menatap Elang dengan pandangan mencemooh, apa dia sudah gila? "Tapi, Mas. Kita ini makhluk modern, kita bisa menentang ide itu tanpa merusak rencana awal dua Perusahaan besar." "Happy, Eyang kamu tidak akan mau menyerahkan hartanya pada orang yang tidak ada ikatan keluarga." Elang menjelaskan dengan sabar. Pasrah banget sih lo! "Mas Elang, toh dia sudah uzur. Enggak nurut sekali - kali, enggak masalah dong." "Coba kamu bilang begitu ke om Latief." Yang ada aku digorok. "Ck. Nyusahin deh lo, Al. Asli!" Elang memicingkan mata padaku, pura - pura tidak ngeh aku melarikan tatapan ke ponsel. Membuka laman sosmed milik Alya. Barangkali ada setitik cerah informasi keberadaan dirinya. Dan nihil. Postingan terakhirnya justru dua minggu lalu di IG, sebulan yang lalu di Twitter dan setahun yang lalu di f******k. "Kamu punya pacar ya, Py? Makanya menolak menikah." Aku mengangkat kedua alis tinggi - tinggi, "punya - enggak punya aku tetap menolak. Ini konyol, Mas. Kalau Alya kembali dan sadar bahwa ia melakukan kesalahan dengan pergi. Apa kalian berdua enggak nelangsa kalau secara hukum kita sudah terikat sah sebagai suami - istri?" Elang menggaruk pelipisnya pelan, "aku ragu kalau Alya akan kembali." "Maksud Mas? Dia mati atau gimana?" Aku memicingkan mata padanya. "Bukan. Bisa saja dia menikah dengan orang lain." Aku menangkap luka dalam kalimat Elang barusan. "Pernikahannya tidak sah. Papa kan Ayah kandung Alya, selama papa masih hidup, sehat dan tidak menyerahkan siapapun untuk menjadi wali nikahnya, Alya tidak akan sah dinikahkan oleh siapapun." Jawabku tegas. "Benar, tapi tidak semua orang paham kan?" "Harusnya semua penghulu memiliki bekal pengetahuan seperti itu, sehingga ketika menikahkan seseorang ia harus bertanya detail mengenai ayah kandung dan keluarganya, bahkan seorang wali hakim tidak bisa menikahkan tanpa izin dari wali sahnya. Apalagi papa, pemegang hak veto dalam hal tersebut." "Who knows, Happy. Banyak orang menyalahgunakan jabatannya demi uang." "Mas Elang terlalu pesimis. Kalau Alya masih cinta sama Mas Elang, dia akan kembali. Mas hanya perlu bersabar." "Masalahnya, Happy, semua pemegang saham sudah tidak sabar menyatukan AHA Express dan GG Cargo. Ini bisnis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Menyatukan kekuatan." Aku menjambak rambut dengan frustasi. "Aku tidak akan menyentuh kamu, jika itu yang kamu khawatirkan." Lanjut Elang, setelah jeda panjang yang tercipta. Aku melongo. Ini bukan soal sentuh menyentuh, Demi Gigi Spongebob! Ini tuh pernikahan! Apa yang Elang tidak mengerti dengan M E N I K A H??? Siapapun tolong jelaskan padanya! "Mas, tahu kan menikah? Me-ni-kah? Itu artinya, secara hukum dan agama kita menjadi sepasang suami istri yang harus saling melakukan kewajiban dan berhak mendapatkan hak-nya. Bukan tentang sentuh menyentuh yang aku khawatirkan. But, are you sure, Mas Elang?" Tanyaku, jengkel. "Aku bisa apa, Happy?" Dia membalas nada jengkelku dengan gaya yang sama. Membuatku mendengus kesal. "Ya tolak dong, Mas. Kamu kan laki - laki, harus tahu bagaimana bersikap! Jangan mau diatur - atur sama orangtua apalagi tentang hal - hal yang hanya terjadi sekali seumur hidup seperti, menikah." "Bicara memang mudah, Happy. Kamu tidak berada di posisiku." Aku berdecih. Iyalah ngomong doang gampang, yang susah kan mengurai kemacetan! "Aku tidak mau, kalau Mas Elang enggak berani nolak. Biar aku yang bilang ke mereka." "Kasih tahu aku, apa yang membuat kamu tidak bisa menerima ide pernikahan ini." Elang menahan lenganku yang hendak bergerak keluar. Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya, bagaimana bisa Direktur Keuangan sebuah Perusahaan besar sebodoh ini? "Pertama, tidak ada cinta di antara kita. Kedua, menikah bagiku sakral dan tidak bisa dipermainkan. Aku berjanji pada diriku sendiri, begitu menikah, baktiku hanya untuk suami. Itu alasannya, aku tidak asal memungut pria untuk dijadikan pacar dan dijadikan objek jatuh cinta. Karena bagiku, menemukan seorang imam yang layak sangat---sangat tidak mudah. Apalagi, hanya lewat paksaan perjodohan karena posisiku sebagai pemain cadangan. Aku enggak sudi." Jawabku, tandas. Elang bergeming, namun cekalan tangannya mengendur. Aku merapikan lengan kemeja bekas cengkramannya. Kutinggalkan Elang yang masih mencerna kata - kataku, menuju parkiran dan meraih pintu mobilku. Kujalankan Jazzy ke luar area gedung dan bersatu bersama ratusan kendaraan yang merayap sejauh mata memandang. Kuhentikan Jazzy di sebuah bengkel yang tidak asing bagiku. Bagi kami, aku dan Jazzy. Ini adalah bengkel milik Bowo, sahabat sekaligus pria gebetanku. Sayang seribu kali sayang, mata Bowo hanya terpaku pada Desti, sahabat kami yang lain. Kalau kebanyakan gadis Asia menyukai pria dengan suit and tie, jas putih dokter, atau bahkan seragam angkatan bersenjata. Berbeda denganku yang bisa ngiler hanya melihat tubuh macho Bowo yang mengenakan kaos singlet dan jeans dengan berlumur oli di sebagian tangan, wajah atau tubuhnya. Bowo melambaikan tangan saat melihatku datang, gigi putihnya berjejer rapi menyambutku dengan hormat. "Kenapa lagi si manja? Mogok?" Tanya Bowo, menunjuk Jazzy. Aku mencibir, "emang kalau gue dateng kesini harus karena Jazzy aja?" "Soalnya lo datang sendiri. Mana Desti?" Alisnya naik turun dengan usil. "Kerja lah, dia kan karyawan teladan. Enggak kayak gue, kabur terus kerjaannya." Melewati Bowo, aku mengambil kursi plastik untuk duduk. Bowo mengelap tangannya yang berminyak dan mengambilkan dua botol air mineral, memberikannya satu untukku. "Kenapa muka lo? Lecek banget." Tunjuk Bowo terang - terangan. Aku memangku wajah dan mendesah dramatis, "akuh lagi bete nih Kakak Wowo." Bowo menyemburkan air yang hendak ditelannya, sambil tertawa dan mengusap bibirnya dengan kaos yang digunakan. Duh, mau jadi kaosnya deh aku. "Enggak usah sok imut, Py. Geli gue! Enggak pantes lo berlagak kayak tadi. Muka - muka lo udah beringas dari sananya." "Sialan lo! Kakak Wowo zahara deh sama Pipy." Kulempar botol kosong yang berserakan di atas meja. Bowo terkekeh dengan tampannya. Yang kayak gini kok, harus naksir sahabat aku sendiri sih! Kan bikin galau. "Desti bilang, habis naik jabatan. Gue kira kesini, mau ajak makan di House of Pie kek gitu." "Hooh, cerita apa aja tuh boneka Annabelle? Enak aja pake nyebar - nyebarin posisi baru gue." Sambarku sewot. "Heh enak aja boneka Annabelle. Buat gue, dia itu Elsa di Frozen tahu." Aku terbahak. "Jijik, Wo. Otot doang gede, hati kok Elsa." "Biarin! Kalau manusia, cantik banget tuh Elsa." Kilahnya. "Cantik dari Brazil! Hidungnya pesek, mata kegedean, enggak simetris mukanya." Cercaku tanpa ampun. "Idung lo juga pesek, Hepiiii." Bowo menjepit hidungku. "Ini bukan pesek. Mancungnya lagi di-postpone." Kilahku, membuat Bowo semakin gemas menekan kedua pipiku. "Bisaaa aja nyahutnya!" Seketika, aku melupakan segala hal yang membuatku lari kesini tadi dan mendengarkan curhatan sampah Bowo tentang hubungan Desti dan pacarnya, Reza, yang sedang diambang kehancuran. Untuk Bowo, tentu saja itu berita bahagia. Untukku? Ya entahlah. Meskipun aku menyukai Bowo, aku lebih menyukai wajah cerianya saat membicarakan Desti. Tidak ada rasa cemburu di hatiku, setiap melihat binar bahagia di mata Bowo yang sedang menatap Desti. Aneh kan? ~~~tbc~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD