Bab 2. Perjanjian 2

2031 Words
“Apakah kalian tipe orang yang suka menyalahkan takdir? Kalau diriku tak pernah. Karena takdir adalah Tuhan. Jika aku menyalahkan takdir, itu berarti aku menyalahkan Tuhan.” Navia Yunistia Regas. ***** Navia kini duduk terdiam siap untuk mendengarkan apa persyaratan dari pria itu. Setidaknya dia masih bersyukur masih bisa tinggal di rumah tercintanya itu. Rodrik menatap Navia dari atas sampai bawah. Tampak menimang-nimang dengan syarat apa yang hendak dia katakan pada gadis itu. Navia berpikir, mungkin pria itu akan menyuruhnya bekerja mengurus rumahnya--atau lebih tepatnya milik pria itu seperti pada umumnya dengan menjaga dan merapikan rumah. Karena di villa-villa sekitaran daerah sana. Banyak pembantu yang disuruh menjaga serta merawat rumahnya. Sementara pemilik rumah datang sebulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Menguntungkan bukan bagi Navia. Tinggal di rumahnya sekaligus mendapatkan gaji untuk biaya sekolahnya itu. Rodrik mengeluarkan kembali ponselnya, lalu menghubungi seseorang. Beberapa kali panggilan tak terjawab membuatnya terlihat sedikit kesal. Tak lama panggilanpun tersambung. “Kamu di mana?” “.........?” “Baiklah, tak apa. Aku cuma mau bertanya apakah kamu mengingat anak perempuan bernama Navia?” “........?” “Ya. Navia Regas. Yang rumahnya di puncak.” Entah seseorang di seberang sana itu berkata apa? Rodrik sesekali melirik pada Navia. “Baiklah, tunggu sebentar.” Rodrik menjauhkan ponsel di telinganya lalu mendadak memotret Navia dengan hapenya itu. Setelah itu mengirimkan foto kepada orang yang sedang diteleponnya itu. “Hey. Kau jangan sembarangan memfotoku!” protes Navia tak terima. “Duduk dan diam saja kalau masih mau tinggal di rumah ini,” ancaman itu berhasil membuat Navia bungkam seketika. Tak ada kartu yang bisa mengalahkannya selain hal yang menyangkut rumahnya itu. Kau pasti akan dijualnya. “Dijual?” Ya. Kau akan dijualnya pada boss mafia. “Ha,” Navia tertawa sinis sendiri. “Kau terlalu banyak membaca novel.” Lalu, untuk apa dia tiba-tiba mengambil fotomu? Navia tampak berpikir. “Kau benar juga. Di cerita novel saja, banyak iblis tampan berwajah malaikat tetapi berhati iblis.” “Siapa yang berhati iblis?” Rodrik ternyata sudah selesai menelepon dan kini berdiri di hadapan Navia. Dia tak sengaja mendengar ucapan Navia yang sedikit kencang itu. Navia terkesiap lalu mendongak menatap wajah Rodrik yang selalu datar dan serius itu. “Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya ingat sebuah film saja,” elaknya setengah takut. Rodrik masih belum mengerti tentang sikap gadis itu. Apalagi selama seminggu ini gadis itu tinggal sendiri. Apa yang dia makan selama seminggu terakhir ini dan siapa yang memberinya makan? Dia juga tak menemukan sebuah televisi di sana. Apa TV berada di kamar gadis itu? Semua barang-barang juga tampak usang dan rapuh serta banyak yang rusak. Belum lagi cat dinding yang sudah mulai mengelupas karena kurang terawat. Dan lihatlah pakaian Navia yang sudah lusuh. Mungkin lebaran saja dia jarang membeli baju baru. “Sekarang kau ikut denganku.” Rodrik mengajak Navia. “Ke mana? Apa Anda akan menjual saya?” Navia sontak berdiri, ia benar-benar canggung dengan bahasa formal dari tadi. Kadang aku dan kadang juga saya. “Jangan terlalu formal kalau kau tak terbiasa. Cukup aku dan kamu saja.” Rodrik membalikkan tubuhnya. Navia menatap punggung yang lebar itu. Bahkan dia baru menyadari kalau dia yang tingginya hampir 172 saja, terlihat pendek dengan Rodrik yang mungkin saja tingginya 189. “Buang pikiran kotormu itu. Kita akan mencari makan,” ujar Rodrik sembari melangkah duluan. Mendengar kata makanan membuat perutnya semakin melilit. Untuk saat ini tak ada yang harus dia pikirkan selain mengisi dulu perutnya. Dan tanpa pikir panjang, Navia segera mengikuti Rodrik dari belakang. “Kunci pintunya, nanti ada pencuri,” perintah Rodrik. “Tak dikunci juga tak apa. Karena apa yang mau dicuri di rumah ini.” Navia enggan untuk mengunci pintu dan memang tak usah takut. Takkan ada yang membawa rumahnya itu. “Sekarang ini rumahku. Jadi kau harus menurut.” Ancaman itu lagi yang membuat Navia mati kutu dan pada akhirnya mengunci pintu juga dengan kunci yang dipegang Rodrik. Kunci utama rumah itu. Setelah mengunci pintu. Rodrik sudah masuk ke dalam mobil. Navia masuk ke bangku penumpang di belakang Rodrik. Tetapi Rodrik malah diam tak menghidupkan mobilnya. “Kenapa belum berangkat? Aku sudah sangat lapar.” Navia aneh kenapa belum berangkat juga. “Duduklah di depan, aku bukan sopirmu.” Dia itu sudah seperti sopir, dan kau Nyonya-nya. “Khihi, kau benar.” Navia terkikik sembari berkata pelan. “Aku selalu benar.” Rodrik yang menjawab karena mengira gadis itu berkata padanya. Navia memutar matanya jengah. Lagipula, jika dia berkata bahwa sedang mengobrol dengan kata hatinya yang berada di benaknya itu. Sudah pasti siapa pun juga akan menganggap kalau dia gila. Ia berpindah lewat tengah kursi, bukan lewat pintu luar membuat Rodrik kaget. Navia malas untuk keluar masuk. Jadi dia langsung berpindah saja lewat tengah kursi antara kursi kemudi dan penumpang di sampingnya. Lalu duduk kembali di sebelah Rodrik. “Sudah duduk. Ayo berangkat.” Rodrik harus banyak-banyak bersabar menyikapi gadis itu. Ia pun membawa Navia mencari restoran atau rumah makan sekitar pariwisata kebun teh itu. Setelah hampir sepuluh menit. “Di depan sana ada restoran enak. Makanlah di situ, aku sudah tak kuat menahan lapar.” Navia menunjuk ke depan dekat sebuah terminal pemberhentian bus. “Di sini?” Rodrik menatap aneh Navia. Restoran itu memang besar, tetapi di terminal. Dan hal itu pertama kalinya bagi Rodrik makan di tempat seperti itu. “Memangnya kenapa? Di sini satu-satunya restoran yang terkenal dan makanannya pun enak-enak.” Navia segera turun dari mobil, tak menghiraukan Rodrik yang masih melongo di tempatnya. Melihat Navia masuk ke dalam restoran dengan pakaian biasa serta sandal cepitnya. Tampaknya restoran itu sering dikunjunginya. Akhirnya Rodrik pun turun dari mobil lalu masuk ke dalam. Setibanya di dalam. Rodrik mencari-cari keberadaan Navia. Ke mana gadis itu pergi? Kala mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rodrik melihat Navia tengah mengobrol dengan seorang pemuda di dekat meja kasir. Navia melambaikan tangannya pada Rodrik sambil tersenyum. Rodrik segera duduk di meja terdekat dengan pintu masuk. Navia pun segera menghampirinya lalu duduk di kursi seberang Rodrik. “Apa kau mengenalnya?” tanya Rodrik tiba-tiba. “Tentu saja, dia teman sekolahku. Dan juga anak pemilik restoran ini. Tampan bukan?” Navia tanpa berkedip memuji pemuda tadi yang sudah hilang masuk ke dapur. Mendengar kata tampan, Rodrik membenarkan kerah jasnya, dia bahkan lebih tampan dari bocah itu. Kenapa dari tadi Navia tak memuji ketampanannya? Tak lama pemuda tadi datang menghampiri keduanya membawa note kecil dan juga pulpen untuk menulis pesanan. “Hay Via. Mau pesan apa? Dan kalau boleh tau, siapa Paman ini?” Paman? Yang benar saja bocah itu memanggil Rodrik dengan panggilan Paman. Apa dia terlihat setua itu? “Aku-” “Om, dia Om-ku yang datang dari jauh,” potong Navia seolah takut pemuda itu salah paham. Apa-apaan mereka ini. Yang satu memanggil Paman, satu lagi memanggil Om. Untung saja Rodrik adalah tipe pria yang tidak gampang marah. Jadi masih bersabar dengan kedua bocah itu. “Oh. Om dari pihak siapa?” tanya pemuda itu lagi masih penasaran. Sebab selama ini Navia tak pernah bercerita tentang sanak saudaranya. “Hmmm dari pihak Ayah. Kakekku adalah adik ipar Kakeknya Om ini. Jadi masih saudara jauh.” Navia dengan sedikit gelagapan menjelaskannya. Karena selama ini dia tak bisa berbohong. “Oh, jadi Anda sekarang wali hakim bagi Navia. Bersyukur kau masih punya saudara jauh Via. Karena dengan begitu, kau takkan berhenti sekolah, kan?” Ucapan pemuda itu membuat Rodrik tersentak. Baru tahu kalau gadis itu masih sekolah. Tadi Navia memang sempat berkata akan berhenti sekolah mulai besok. Karena tak tahu akan dapat biaya dari mana. Sementara syarat Rodrik saja belum dikatakan. “Dia tidak akan berhenti sekolah, tetapi tolong mintakan izin untuknya untuk alpa selama seminggu. Karena akan pergi ke kota dahulu,” ujar Rodrik seolah dia benar-benar wali ganti bagi Navia. “Ke kota? Mau apa?” tanya Navia kaget, sebab Rodrik tak berkata apa-apa tadi. “Ketemu kedua orang tuaku. Tadi mereka mengatakan untuk membawamu ke kota. Mereka ingin sekali bertemu denganmu.” Rodrik masih terlihat santai dan datar. Jangan percaya. Kau pasti akan dijual kepada Kakek-Kakek tua nanti. Navia tak bisa menjawab kata hatinya. Dia jadi berubah was-was dan takut. Tetapi jika tak pergi, maka bersiap-siaplah menjadi gelandangan. Mimpinya yang tadi akan berubah menjadi kenyataan. Ia pun hanya menganggukinya saja. Pemuda itu tersenyum manis. Membuat hati Navia meleleh seketika dan Rodrik sudah bisa menerka kalau Navia suka pada bocah itu. Menggelikan, itulah kata hati Rodrik dengan senyuman tipis serta kecutnya itu. “Ok, besok aku sampaikan pada Kepala Sekolah. Sekarang kalian mau pesan apa?” tanya pemuda itu terlihat selalu ramah. “Aku biasa, tapi tambah satu porsi lagi boleh kan Om. Soalnya aku lapar sekali.” Navia mengikis kecanggungannya dengan Rodrik. Masalah perut, dia tak perlu malu untuk mengutarakannya. Rodrik mengangguk sehingga membuat Navia terlihat girang. Akhirnya dia bisa makan dengan kenyang. “Memangnya makanan yang aku anterin kemarin, udah habis?” tanya pemuda itu. Rodrik baru tahu kalau makanan yang jatuh tadi dari pemuda itu dan sudah pasti masakan restoran. “Tadi jatuh di dapur.” Navia menyayangkan makanan tadi. “Baiklah, dua porsi makanan biasa sama apa?” pemuda itu menoleh pada Rodrik. “Air aqua saja.” “Kamu tak makan Om?” tanya Navia aneh. Jadi mereka ke sana cuma buat mentraktirnya saja. “Hmm.” Rodrik hanya mengangguk pelan tanda iya. Om? Apa dia pantas dipanggil Om?  “Baiklah Bay. Segitu saja pesanannya.” Navia tahu kenapa Rodrik tak mau makan di sana. Sebab dia tak terbiasa dan pastinya restoran-restoran mahal tempatnya biasa makan. Pemuda bernama Abay itu kemudian pergi dari sana. “Kenapa harus seminggu di kota Om?” tanya Navia baru bertanya. “Nanti kamu juga bakalan tahu.” Rodrik tampak menyembunyikan sesuatu dari Navia. Navia mengangkat kedua bahunya tanda menurut saja. Tak lama, pesanan Navia datang. Dua porsi nasi goreng dengan udang asam manis, ditaburi bawang goreng yang banyak. “Mari makan,” kata Navia girang. Rodrik hanya menatap sekilas pada Navia yang mulai melahap makanannya itu. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis sepertinya. “Om, mau?” disuapan terakhir, Navia baru menawari Rodrik. Sudah pasti Rodrik menggelengkan kepalanya. “Ya udah.” Navia melahap sendok terakhirnya. “Akhh, kenyangnya.” Ia sandaran ke kursi. “Makasih Om.” Rodrik mengembuskan napasnya. Ia membuka botol aqua lalu menyodorkannya pada Navia. “Minumlah, dari tadi kamu belum minum.” Navia mengerjap. Tadinya dia mau memesan aqua juga. Tetapi pria itu ternyata tak sesadis yang dikiranya. Dengan sedikit malu-malu, ia meneguk air hingga habis setengah. Rodrik tampaknya tak mau berlama-lama di sana. Ia memanggil pelayan yang hanya beberapa saja. Abay yang menghampirinya. “Ada yang mau dipesan lagi, Om?” Ingin sekali Rodrik membogem mentah pemuda itu, sudah memanggilnya Om juga. Rodrik meminta kertas untuk pembayaran. Abay mengerti lalu pergi lagi ke meja kasir mengambil kertas jumlah yang mereka pesan. Tak lama ia kembali kemudian menyodorkannya pada Rodrik. Rodrik melihat sekilas jumlah yang harus dibayar. Mengeluarkan dompet lalu membayarnya. “Sisanya ambil saja.” Ia langsung bangkit berdiri. Navia mengerjap. Baru saja dia selesai makan, harus segera pergi. “Makasih ya Bay.” Abay hanya tersenyum melihat Navia tampak buru-buru beranjak dari duduknya membawa botol aqua yang baru setengah diminumnya itu. “Om, tungguin!” Navia melihat Rodrik sudah di dalam mobil lalu menghidupkan mobil seolah akan meninggalkannya. Navia langsung saja masuk ke dalam mobil. Rodrik pun segera melajukan mobil meninggalkan tempat itu. “Apa besok kita berangkat ke kota?” tanya Navia harus bersiap-siap menyiapkan tas pakaian. “Satu jam lagi,” jawab Rodrik singkat. “APAAA? KENAPA MENDADAK SEKALI? AKU KAN HARUS MENYIAPKAN TAS.” Navia sampai berteriak membuat Rodrik hampir mengerem mendadak. “Sebelum itu, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Rodrik membelokan mobil memasuki kawasan jalanan kebun teh. Lalu berhenti di pinggirannya. “Bicara apa?” tanya Navia membuka tutup botol lalu meneguk kembali airnya. “Bukannya kamu ingin tetap tinggal di rumahmu itu?” tanya Rodrik serius. Navia mengangguk dengan bibir botol masih di mulutnya. “Kita harus menikah dulu.” Byuurrrr! Navia sampai menyemburkan air di dalam mulutnya yang terasa tersangkut di tenggorokan mendengar ucapan Rodrik barusan. “Me-menikah?” Navia menjadi gelagapan. Melihat raut wajah Rodrik, tampaknya pria itu tak main-main. BERSAMBUNG.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD