Bab 1. Perjanjian

1730 Words
“Mana yang akan kamu pilih? Hidup menjadi gelandangan di jalan, tetapi bebas mencari makan? Atau hidup bergelimang harta, tetapi seolah berada di penjara. Bagiku, tak ada pilihan sama sekali.” Navia Yunistia Regas. ***** Setelah adegan pemukulan pria tampan pada ketiga pegawai bank tadi. Kini pria tampan itu duduk dengan tenang sembari sesekali melihat punggung tangannya yang terasa ngilu akibat memukul tidak kira-kira. Tiga pria duduk di sofa rusak dengan gusar, wajah mereka mulai terlihat membiru sebab pukulan keras sang pria tampan. Menatap tak nyaman pada pria tampan itu, serta menatap dengan penuh rasa bersalah pada Navia. Sementara Navia duduk juga di bangku usang meja makan samping ruang tamu yang tanpa penyekat itu. Bagai kerbau dicocok hidungnya, tak bisa bersuara, tak bisa bertanya apalagi bergerak ke mana-mana sebelum tahu siapa pria tampan itu? Dan bagaimana bisa dia mengenalnya? Setelah kebisuan beberapa menit. “Ehemm,” pria pegawai bank berdeham takut. “Maaf Tuan, kalau saya boleh bertanya. Kenapa Anda memukul kami?” tanyanya seolah tanpa dosa. Pria tampan yang tadinya tenang. Kini wajahnya terlihat tegang, bagaimana bisa ketiga pria itu dengan tanpa rasa bersalah malah bertanya padanya. Apa pertanyaannya tadi kurang jelas? “Saya akan ulangi pertanyaan tadi. Kenapa kalian ketika menjual rumah ini, tak mengatakan kalau masih dihuni oleh anak pemiliknya?” Pria pegawai bank tampak bingung menjawab karena sudah ketahuan berbohong. Sementara ketika mereka transaksi jual beli di bank kemarin, mereka mengatakan kalau rumah itu sudah kosong sangat lama. Dan penghuninya pun sudah meninggal semua sepuluh tahun yang lalu. Tanpa tahu kalau pria itu ternyata mungkin mengenali alm sang pemiliknya dulu. “Maaf Tuan Rodrik. Maafkan kesalahan kami, Anda pasti sudah tahu bagaimana kami menjalani tugas menyita rumah-rumah yang memang sudah hak bank. Jadi kami merasa tak perlu mengatakan kepada Anda kalau rumah masih dihuni. Apalagi penghuninya hanya seorang gadis. Tak ada yang lain lagi selain dia di rumah ini.” Pria tampan yang bernama Rodrik itu semakin menatap tajam pada pria pegawai bank. Ada tatapan tak suka karena tanpa rasa iba, ketiganya mengusir seorang gadis yatim piatu dari rumah mendiang orang tuanya itu. Sementara Navia mengangguk-angguk baru tahu pria tampan itu bernama Rodrik. Dia juga mencoba mencerna setiap kalimat di percakapan mereka. Pria itu ganteng banget kan? Suara di kepala Navia muncul lagi. “Jangan mengganggu dulu. Aku belum tahu siapa dia. Nanti lebih jahat dari pegawai bank itu.” Keempat pria itu melirik pada Navia. Navia malah cengengesan. “Lanjutkan ngobrolnya. Saya tidak ikut bicara dengan kalian.” Kalau diperhatikan. Dia sudah seperti pria tampan yang di novel-novel yang sering kamu pinjem ke teman-teman kamu. “Diam kamu,” kata Navia pelan. Rodrik menyilangkan kedua tangannya di d**a sambil sandaran di sandaran sofa yang sudah hampir rapuh dengan sebelah kaki ditopangkan ke kaki lainnya. “Saya kini pemilik rumah ini. Jadi mulai saat ini, kalian tidak ada sangkut pautnya dengan semua yang ada di sini.” “Itu sudah pasti Tuan, hehe.” Pria pegawai bank itu melirik canggung pada kedua anak buahnya. “Jadi, silakan kalian angkat kaki dari rumah ini.” Dingin dan menusuk ucapan Rodrik, membuat ketiga pria itu langsung berdiri. Pria pegawai bank menyodorkan sebuah map berisi surat tanah serta surat resmi kepemilikan rumah tersebut. Sambil membungkuk meminta maaf sekali lagi. Akhirnya mereka pun bergegas pergi dari sana. Kini hanya tinggal Rodrik dan Navia berdua di sana. Diam seribu bahasa. Setelah beberapa saat. “Sini kamu.” Rodrik memecah keheningan di sana. Navia dengan takut beranjak dari duduknya, lalu mendekat pada Rodrik yang tak merubah posisinya. Angkuh dan dingin bagi penglihatan Navia. Jangan terlalu dekat. Nanti dia mafia. “Diam kamu, bukan saatnya bicara,” kata Navia pelan. “Apa?” Rodrik melihat gerakan mulut gadis itu. Tetapi tak mendengar suaranya. “Bukan apa-apa. Saya hanya ingin bertanya, dari mana Anda tahu nama saya?” Navia bertanya dengan ragu serta mencoba dengan sesopan mungkin sebab takut menyinggung pria itu. “Duduklah,” kata Rodrik lagi. Tanpa banyak protes atau bertanya lagi. Navia dengan patuh duduk di sofa kecil seberang Rodrik. Berkali-kali ia mengerjap menatap sekilas pada Rodrik, setelah itu menunduk lagi tak berani menatap pria sadis itu lama-lama. “Nama saya Rodrik Argum. Dari perusahaan perhiasan DAMAS GOLD AND SILVER.” Rodrik memperkenalkan nama serta pekerjaannya. “Lalu?” Navia belum mengerti sepenuhnya hubungan jawaban pria itu dengan pertanyaannya barusan. “Saya anak dari teman baik mendiang Ayahmu. Yaman Argum.” Yaman Argum?  Navia tampak bertanya-tanya dalam hati. Nama itu seolah familier di telinganya. “Pria yang berdiri di sebelah mendiang Ayahmu itu.” Kini Rodrik menunjuk sebuah foto usang yang besar terpampang di dekat tangga. Ayahnya Tuan Vulkam Regas yang berkebangsaan Inggris dan temannya yang berkebangsaan Turki tengah difoto bersama di foto itu di tengah-tengah kebun teh yang hampir mengelilingi rumah tersebut. “Paman Yaman?” Ya. Navia kini mengingatnya, ketika usianya lima tahun. Pria yang sering dipanggil nama dengan Om Yaman itu sering sekali berkunjung ke sana. Tetapi bersama seorang anak kecil berusia lima tahun juga. Jika pria di hadapannya itu adalah anak kecil waktu itu. Pasti kini seusianya, kenapa dia sudah terlihat tua? “Ya. Aku anaknya,” ujar Rodrik lagi dengan nada tenangnya. “Apa kau yang sering datang waktu itu ke sini? Yang sering sekali mengataiku butek dan culun?” tanya Navia dengan polos mengingat ucapan bocah laki-laki yang menyebalkan, anak pria yang bernama Yaman itu. Rodrik hampir saja tertawa mendengar ucapan Navia yang berkata kalau dia sering dipanggil butek dan culun. Tetapi dengan gaya tenangnya, ia berhasil menahan tawanya itu. “Mungkin dia adikku. Karena aku baru pertama kalinya datang ke sini. Namun, aku sering mendengar cerita Daddy tentangmu dan alm kedua orang tuamu.” Ada nada sedih di ucapannya itu. Tetapi lagi-lagi ia pintar menyembunyikannya. Navia menunduk sedih juga sekaligus malu karena mengira kalau pria berumur itu seusianya. Ditaruh di mana matamu? Jelas-jelas pria itu jauh lebih tua darimu. “Iya-iya, aku tau,” gumam Navia seolah memarahi seseorang di sampingnya. Lagi-lagi Rodrik hanya melihat gerakan mulut Navia. “Apa selama ini kau tinggal sendiri di sini?” Navia menggeleng cepat. “Tidak, aku tinggal dan dibesarkan oleh Ibu pengasuh yang dulunya asisten rumah tangga kedua orang tuaku,” jawabnya tegas dan jujur. “Lalu, mana dia sekarang?” tanya Rodrik tak melihat wanita yang dimaksud dari tadi. Navia kembali menunduk sedih. “Sudah meninggal seminggu yang lalu.” Rodrik sedikit terkejut mendengarnya. “Jadi, selama seminggu terakhir ini. Kau hanya tinggal sendiri?” tanyanya lagi, tapi dia sudah bisa menerkanya sendiri kala melihat sekitaran rumah itu berantakan dan kotor. Navia kembali mengangguk polos. Lalu ia pun bertanya kembali. “Apa Anda akan mengusirku? Atau menempatkanku di panti asuhan?” “Kaupikir kau adalah bayi yang harus aku titipkan di panti asuhan. Harusnya kau menjadi gelandangan dalam usia segitu.” Begitu sadis terdengar ucapan Rodrik di telinga Navia. “Jadi benar, kau akan mengusirku?” Navia tampaknya sudah tak sanggup lagi mendegar kata-kata pengusiran dari siapapun juga. Ia kembali menatap Rodrik. “Apa Om Yaman juga sudah meninggal?” Lama dia tak melihat Ayah pria itu datang ke sana. Semenjak insiden kecelakaan beruntun waktu kedua orang tuanya meninggal. Beruntung waktu itu, Navia yang ikut ke bandara bersama kedua orang tuanya itu tidak terluka parah sehingga hanya dia yang masih hidup. Sementara kedua orang tuanya merenggang nyawa di tempat yaitu di dalam mobil yang terbalik dan hancur serta terseret mobil lainnya. “Dia masih hidup, dan aku takkan mengusirmu,” jawab Rodrik kembali menegakkan tubuhnya lalu merogoh saku di jas santainya, mengeluarkan ponsel. Hapenya mahal. Pasti dia orang kaya. “Jangan banyak bicara lagi. Nanti aku dikira gila olehnya.” Navia terlihat gereget dengan kata hatinya sendiri. Kau pasti akan dibuangnya dan menjadi gelandangan seumur hidup. Navia menunduk dan sudah pasti iya dia akan dibuang oleh pria sadis itu. Rodrik memencet nomor seseorang di seberang sana. Tak lama panggilan pun tersambung, lalu ia pun beranjak pergi dari sana, keluar menuju halaman depan. Navia diam di tempat. Mencari sebuah ide supaya dia bisa tinggal di sana, setidaknya sampai dia menemukan pekerjaan dan akan mengontrak nantinya. Rodrik berdiri di tengah halaman dengan ponsel di telinganya. “Yes Dad. Its me. Aku sekarang ada di rumah alm teman Daddy itu yang berada di puncak.” “...........?” “Keduanya sudah meninggal. Tetapi anak gadisnya masih hidup, dan kini sudah remaja.” “...........?” “Benar Dad. Aku tak bohong. Dia sudah besar dan bukankah gadis itu seusia dengan Gionaldo?” “..........” Terdengar helaan napas lega dari suara pria tua Ayahnya itu. “Kabar waktu itu hanya kabar bohong saja. Ternyata waktu Daddy ke sini, gadis itu sedang tak ada di rumah. Jadi Daddy mengira kalau mereka benar-benar sudah mati semua.” “..........” Kedua mata Rodrik seketika membulat. “Maksud Daddy perjanjian apa?” “..........” “Mustahil.” “..........” “Mereka masih kecil Dad. Dan bukankah Gionaldo sudah punya kekasih. Jadi mustahil dia akan menerimanya.” “..........” Rodrik tampak termenung.Teringat pada adiknya yang bernama Gionaldo adalah anak yang manja dan juga tak pernah menurut. Sudah pasti dia akan berontak dengan keputusan Ayahnya itu. Apalagi kekasihnya jauh berbeda dengan gadis kumuh dan memang kucel yaitu Navia. Pasti adiknya itu akan kabur lagi dari rumah. Dia harus melakukan sesuatu pada Navia. Apa harus disekolahkan di luar negeri saja supaya Ayahnya tak mencoba untuk menjodohkan adiknya itu dengan Navia? Brakkkkk prankkk! Terdengar sebuah benda jatuh dan pecah di dalam sana. “Dad, nanti kita sambung lagi.” Rodrik segera mematikan sambungan lalu bergegas berlari masuk ke dalam. “Navia?” Rodrik mencari-cari gadis yang kini tak ada di ruang tamu. “Akkhh!” Rodrik mendengar jeritan Navia di dapur. Jadi dia bergegas ke sana.  Sesampainya di dapur. Rodrik melihat Navia tengah berjongkok memunguti pecahan piring di lantai dan jari tangannya terluka. Belum lagi lutut serta sikutnya yang baru disadarinya ada darah yang mulai mengering akibat terjatuh di halaman penuh kerikil tadi. “Kamu sedang apa di sini?” tanya Rodrik aneh. Navia mendongak sekilas lalu melihat makanan yang sedikit dan jatuh bersama piring itu. “Saya lapar. Kemarin ada orang dari kampung bawah sana memberi makanan ini. Tadinya sisanya mau saya makan, sebelum Anda benar-benar mengusir saya.” Rodrik menghela napasnya panjang. “Aku takkan mengusirmu.” “Benarkah?” Navia mendongak menatap menatap tak percaya pada Rodrik. Rodrik mengangguk. “Tetapi ada syaratnya.” “Syarat?” ***** BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD