5. Dia bahagia.

1162 Words
Dilan POV. Permainan bola kasti kali ini digabungkan menjadi dua kelas. Antara kelasnya aku dan kelasnya Rindu. Biar kujelaskan kalau aku berada di kelas dua belas Sekertaris. Rindu berada di kelas dua belas perdagangan. Aku melihat dari kejauhan, Rindu sedang mengobrol bersama teman sekelasnya. Sesekali ia terlihat saling menarik rambut. Juga terkikik geli. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. "Susah sih, kalau punya mantan cakep kaya Rindu mah!" celetuk Pian. Menghadirkan helaan napas resah dariku. "Emang kelihatan banget ya, kalau gue belum move on dari dia?" tanya ku padanya. "Menurut lo?" sindir Pian. "Lo selalu diem diem natapin Rindu. Padahal Meta lagi ada di samping lo." "Gue awalnya emang enggak ada rasa sama Rindu." "Terus kenapa lo tembak? jahat lo!" "Gue enggak mau Meta ngerasa kalau gue suka sama dia. Terus kita nantinya bakal canggung." "Jadi lo sukanya sama Meta? kenapa enggak lo tembak aja? dari pada malah nyakitin anak orang lain, ujung ujungnya." "Lo tahu enggak, gue bahkan enggak ngerti sama jalan pikiran gue sendiri. Gue nembak Rindu cuma agar ada kesempatan buat gue deketin Meta, tanpa Meta harus curiga." "Tapi yang terjadi, ujung ujung nya lo malah nyakitin Rindu kan?" "Iya. Gue salah." "Salah banget lah!" Pian terlihat marah sekali. Dan hal itu membuat Dilan menautkan kedua alisnya. "Lo kenapa?" tanya Dilan. "Ya, gimana ya? sebrengsek brengseknya gue. Kalau enggak suka sama cewek. Gue enggak akan nembak dan malah nipu dia. Kan si Rindu tuh enggak punya salah apa apa sama lo. Kenapa lo bisa bisanya ngelakuin itu sama dia." "Iya, kan gue udah bilang kalau gue ini salah. Gue juga ngaku kalau gue ini b******k. Lo aneh deh, siapa yang gue sakiti. Siapa yang marah sama gue. Jangan jangan lo suka ya sama Rindu?" Pian terdiam. "Jadi lo beneran suka sama dia?" Pian terdengar menghela napas dalam dan gundah. Kedua tangannya terlihat mengepal erat. "Gue itu punya saudara cewek juga. Jelas lah gue takut ada cowok yang kaya gitu sama dia." "Oh, kirain lo suka sama Rindu!" "Sekarang sih, belum. Tapi kalau suatu saat gue suka sama dia. Lo jangan pernah ganggu!" Aku jadi termangu. Kembali pada sang mantan yang saat ini masih mengobrol dengan temannya. Kemudian Pak Ilham, Guru olah Raga kami datang. "Anak anak! Hari ini kalian bermain bola kasti, atau apa aja ya. Soalnya Bapak ada rapat sebentar. Boleh ya?" ujar Pak Ilham. "Baik Pak!" sahut kami semua. Kemudian kami pun mulai bermain kasti sebanyak dua belas orang. Yang lainnya main bola voli, ada juga yang bermain futsal, bola kaki, Tennis meja, dan lainnya. Karena di sekolah ku banyak sekali lapangan olah raga. dengan di batasi oleh dinding kawat. Aku melihat Rindu memilih main tenis meja bersama Raya. "Lo mau ke mana?" tanyaku pada Pian yang berjalan ke arah di mana Rindu sedang bermain tennis meja. Dia tidak menjawab. Namun mendekat ke arah Raya. "Ray, gue pinjem dong!" ujarnya. Raya yang sedang bermain dengan Rindu. Menatapnya dengan dua alis bertaut. "Pinjem apa?" tanya nya. "Pinjem raketnya. Gue mau maen sama Rindu!" Dia mau main sama Rindu? ngapain! karena penasaran, aku pun ikut menghampiri, kemudian berdiri tidak jauh dari mereka. Rindu sempat melirik padaku, kemudian acuh lagi. "Rin, boleh kan, gue main sama lo?" tanya Pian, SKSD. Rindu mengangguk pelan. "Boleh, tapi Raya gimana?" Pian melirik Raya. "Gue main sebentar ya sama Rindu. Lo main sama yang lain, boleh ya?" s****n! mungkin tidak sih, kalau si Pian menyukai mantanku itu? "Ok," Raya memilih mencari pasangan lain. Aku menghampirinya. "Lo mau maen sama gue enggak?" tawarku pada Raya. Dia menoleh dengan gelengan malas. "Lo itu musuhnya Rindu. Berarti lo juga musuhnya gue. Lo, gue! End!" dia memperagakan seolah sedang menggorok leher. Ya ampun! sahabatnya Rindu ini absurd sekali. Ku menyerah dan memilih berdiri untuk melihat permainan mereka. Kulihat Pian mulai memukul bola tenis itu lalu diarahkan pada Rindu. "Lo ngekos ya?" tanya Pian. "Iya," jawab Rindu, sembari menangkap bola tenis itu. Lalu kembali ke arah Pian. "Rumah lo emang jauh banget." "Iya. Kalau PP, takutnya macet, lagi." "Emang lo ngekos di mana?" "Deket ko, dari sini. Gue cuma harus jalan kaki doang." "Kenapa enggak tinggal di asrama sekolah aja?" "Enggak, ah. Keramean. Gue sukanya tinggal sendirian. Terus ada ibu kosnya. Biar ada yang merhatiin gue, dan negur gue, kalau salah." Pian terlihat terdiam, dengan tangannya yang tetap sibuk. "Eh, iya. lo jualan kosmetik ya?" tanya Pian lagi. "Iya, kenapa? lo mau beli?" "Yee, enggak lah. Masa cowok beli." "Buat cewek lo! Adek lo, nyokap lo, atau nenek lo!" Ah, gadis itu memang serame dan seasik itu kalau diajak ngobrol. Lihat saja, Pian sampai terbahak. "Ok, yang pertama, gue enggak punya cewek. Yang kedua, ade gue enggak suka pake skin care. Dia pake bedak bayi doang. Terus nyokap gue, juga sama. Beliau enggak suka pake skin care. Yang terakhir nenek gue, udah peot! mana mau doi pake skin care!" Dan kali ini yang terkekeh adalah Rindu. Dia bahkan sampai mendiamkan bolanya begitu saja. Sehingga ia kalah. "Terus ngapain lo banyak tanya? lo mau mata matain gue ya?" tanya nya. Pian menggeleng. "Enggak lah. Ya kan dari pada maen doang. Kan enggak asik. Setidaknya gue harus bisa nyelam sambil minum aer." "Iya, entar lo tenggelam terus mati!" ledek Rindu. "Jahat banget lo!" Pian terkekeh, lalu keduanya kembali main tenis meja dengan gaya yang lebih cepat. Aku baru melihat Rindu bermain tenis meja sehebat itu. Pian sampai dibuatnya kewalahan dan kecolongan. "Gila! lo belajar dari mana?" Pian mengejar bola yang menggelinding ke lantai lapangan. "Di rumah gue ada yang kaya gini. Di kosan juga ada. Makanya gue paling suka main tenis." "Karena lo udah nguasain?" "Bukan?" "Terus?" "Karena gue bisa mukul kepala lo! kalau lo macem macem!" Pian kembali terkekeh. "Anjir! bisa aja lo!" dan aku menangkap kalau Pian lebih tertarik lagi pada Rindu. Meski gadis itu cuek dan terkesan prontal. Tapi justru Pian seperti malah menyukai itu. "Kaya nya gue nyerah. Capek banget maen sama lo. semes mulu!" Pian meletakan raket di atas meja. Aku tahu ini adalah kesempatan bagiku. Maka aku segera mengambil raket itu. "Maen sama gue aja yuk?" ajaku. Rindu hanya tersenyum datar saja, seraya menaikan kedua bahunya. Pian sepertinya kaget pada apa yang aku lakukan. Sehingga ia menatap ku untuk beberapa saat, dan berdiri di sisi lapangan. Kami mulai bermain dalam diam. Rindu terlihat tidak mau memulai percakapan apapun denganku. "Lo masih marah sama gue?" "Hah!" Dia terlihat kaget. "Lo kaya hindarin gue banget." "Biasa aja." "Tapi sama Pian, lo akrab banget." "Enggak, biasa aja." Kami terdiam lagi. Aduh, bagaimana caranya agar kami terlibat obrolan hangat. Seperti dengan Pian atau dengan yang lainnya. "Gue minta maaf ya?" "Buat apa?" "Buat semuanya!" "Iya." "Iya apa?" "Iya, gue udah maafin lo." "Semudah itu?" "Ya, kan dari pada gue benci lo enggak jelas. Malah jadi penyakit ujung ujungnya." Aku tersenyum. Dan dia hanya memutar kedua bola matanya malas. Bagiku, ini sudah cukup. Aku melihatnya santai dan tersenyum seperti itu sudah cukup. Karena entah kenapa. Akhir akhir ini, hatiku sakit bila ingat masa lalu di mana dia menangis karena diriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD