BAB 13

1603 Words
Bagian 13 Warna coklat yang mendominasi di pondok itu memberikan kesan kehangatan tersendiri yang berbanding terbalik dengan suhu udara di daerah ini. Mia bahkan cukup terkesan dengan dekorasinya yang tidak main-main walaupun tempatnya berada di pinggiran hutan jauh dari hiruk pikuk kota. Mungkin tempat ini memang di buat khusus saat ingin melepaskan penat atau saat ingin menyendiri. Anehnya, terdapat beberapa pigura kosong yang di biarkan terpajang di dalam pondok itu. Dan yang paling mencolok, hanya ada satu lukisan berukuran besar yang di pajang tepat di atas perapian, lukisan bergambar pohon-pohon besar menjulang tinggi di malam hari yang di selimuti kabut. "Pondok ini milik siapa?" Tanya Mia pada Alex yang sedang berdiri mematung termenung menatap ke arah luar jendela sambil menghisap rokok nya. Satu hal lain yang baru Mia ketahui tentang pria itu. "Milik Ayahku." Jawab Alex seadanya. Mia mengangguk pelan seraya mengulurkan kedua tangannya yang dingin dekat dengan perapian. "Kau sering datang kesini?" Pria itu menoleh sebentar lalu menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Omong-omong tidak ada listrik disini." Kata Alex seketika langsung membuat Mia meloncat berdiri karena terkejut. "Apa kau serius?! Lalu bagaimana dengan penerangan di tempat ini saat malam tiba nanti?!" Tanya Mia panik. "Aku suka berada di tempat gelap, jadi itu tidak masalah untukku." Jawabnya enteng. "Tapi itu menjadi masalah untukku!" Sembur Mia. Alex malah terkekeh dengan sikap impulsif wanita itu. "Kenapa kau tertawa?! Apanya yang lucu?" "Kau... Tentu saja kau..." Jawab Alex masih terkekeh geli. "Hanya satu malam tinggal di tempat yang gelap tidak akan membuatmu mati, Mia." "Ta-tapi, tapi, setidaknya ada lilin atau, atau mungkin lampu gantung kan? Disini tidak akan benar-benar gelap gulita?" Alex tersenyum simpul, lalu membuang puntung rokok nya dan berjalan ke arah lemari besar, mencari sesuatu di dalam laci. "Hanya tersisa satu lilin lagi, sepertinya cukup untuk seperempat malam saja." Mia menelan air ludahnya seraya menatap keluar pondok dimana hari terlihat semakin gelap, suara burung-burung yang terbang beriringan, entah kenapa terlihat begitu menyeramkan saat ini. Di tambah lagi suara-suara hewan malam yang bersembunyi di balik hutan kini mulai terdengar sangat jelas. Alex melihat rona ketakutan dari mimik wajah yang Mia tunjukan saat ini. "Kau tidak perlu khawatir, tempat ini aman." "Dan kau bersamaku, jadi tenanglah." Lanjut Alex lagi. Perkataan itu seketika langsung membuat Mia mengerjap menatap Alex tidak percaya. Mungkin ia telah salah dengar, tapi ketika melihat tatapan Alex yang bersungguh-sungguh, entah kenapa Mia langsung percaya jika pria itu memang bisa melindunginya dan membuat ia merasa aman. Perasaan hangat itu tidak dapat Mia abaikan begitu saja, tapi karena egonya terlalu besar untuk mengakui hal tersebut, tentu saja Mia tidak akan pernah mengungkapkannya. *** Entah sudah berapa puntung rokok yang Alex habiskan sembari menatap kosong ke luar jendela dan sesekali menatap jam di pergelangan tangannya. Pria itu benar-benar mengabaikan Mia dan membiarkan wanita itu berkutat dengan rasa jenuh yang mulai ia rasakan. Hari telah berganti malam, nyala api di perapian menjadi satu-satunya penerangan di pondok itu, dan sejak tadi Mia tidak melakukan apapun selain memandang api di hadapannya dengan malas. Mungkin ia akan jatuh tertidur jika bukan Alex yang menepuk pundaknya pelan. "Pakai jaketmu yang benar." Katanya seraya membantu Mia untuk beranjak berdiri. "Kita mau kemana?" "Lihat saja nanti," kata Alex terlihat tergesa-gesa langsung menarik Mia untuk menyamai langkahnya yang terbilang cepat. Mengandalkan lampu senter dari ponselnya, Alex membawa Mia ke dalam hutan gelap hingga Mia mengeratkan pegangannya pada Alex takut jika pria itu akan meninggalkannya. "Hati-hati, perhatikan langkahmu." Alex berkata di depannya, tak tahu apa yang akan ia rencanakan saat ini. Namun, pikiran-pikiran aneh Mia langsung berjalan. Mungkin saja pria itu akan meninggalkannya di hutan gelap ini sendirian, atau mungkin bagian terburuknya, pria itu akan menguburnya hidup-hidup di sebuah lubang yang sudah ia gali sebelumnya, atau mungkin pria itu akan membunuhnya dan membuang jasadnya ke tepian jurang hingga tak akan ada satupun orang yang akan mengetahui kematiannya. Pikiran itu langsung membuat Mia menghentikan langkahnya. "Tunggu, aku tidak akan ikut jika kau tidak memberitahu aku terlebih dahulu kemana kita akan pergi!" Ucap Mia tegas. "Kau akan tahu, percayalah padaku. Sebentar lagi kita sampai," kata Alex meyakinkan, dan seperti sihir walaupun dalam keadaan yang gelap, Mia dapat melihat tatapan pria itu yang bisa membuatnya langsung luluh kembali dan mempercayai apa yang dikatannya. Semua pikiran negatif yang sempat ia pikirkan langsung menguap begitu saja. Alex menggenggam erat pergelangan tangan Mia, menuntunnya untuk berjalan ke tempat yang masih belum Mia ketahui. Lalu mereka berhenti, entah sudah seberapa jauh mereka meninggalkan pondok. Pria itu berbalik ke arah Mia dan memberikan seulas senyum misterius. "Berbaliklah!" Perintah Alex lembut, yang langsung Mia patuhi dan di detik itu juga, Mia membulatkan matanya tak percaya sekaligus kagum. Disana, terdapat banyak kunang-kunang yang sedang berkelap-kelip menghiasi hutan yang gelap ini. Mungkin jumlahnya ratusan, mungkin juga lebih. Mengingat, betapa langkanya ia bisa menemukan kunang-kunang karena hanya terdapat pada kondisi alam yang masih baik. Mia masih belum dapat berkata-kata selama beberapa saat. Hanya ada suara angin malam yang bergemerisik di antara daun-daun pohon yang saling bersentuhan, dan juga suara binatang-binatang kecil yang bersembunyi di balik pohon maupun di dalam tanah tempat ini. Ia hanya tidak menyangka, jika pria itu, pria yang Mia pikir akan selalu bersikap ketus dan menatapnya dengan penuh kebencian itu lah yang mengajaknya ke tempat ini. Tempat yang Mia pikir begitu istimewa. "Kau suka?" Tanya Alex pada akhirnya setelah beberapa saat membiarkan keheningan yang melingkupi mereka berdua. Mia mengangguk sebagai jawaban, masih tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. "Bahkan dalam kegelapan sekalipun kau masih dapat menemukan keindahan. Benar kan Mia?" Mia langsung termangu, memikirkan jika apa yang di katakan Alex memang ada benarnya juga. "Lalu apa yang sebenarnya kau takutkan saat berada dalam kegelapan?" Mia terdiam, Alex mungkin tidak akan pernah mengerti. Tapi ketakutan bukanlah hal yang mudah ia atasi begitu saja. Semua orang pasti memiliki ketakutannya masing-masing. Entah mereka menunjukannya secara langsung, atau mereka menjadikan ketakutan tersebut sebagai rahasianya sendiri. "Kematian..." Jawab Mia setengah berbisik, bulu kuduknya langsung meremang saat mengatakan hal tersebut. Sesuatu yang sudah lama tak ia ingat tiba-tiba saja terputar kembali dalam memorinya. Keduanya kembali terdiam, membiarkan suara alam dan juga kunang-kunang yang masih setia memancarkan kelap-kelip cahayanya menemani malam syahdu mereka. *** "Tidurlah," kata Alex seraya memberikan satu lilin yang sudah menyala pada Mia. Mia mengambil lilin itu dengan ragu. "Lalu kau tidur dimana?" "Kamarku tepat di sebelah kamarmu." Mia menggigit bibirnya, kenapa di saat seperti ini, Alex tidak memaksanya untuk tidur bersama seperti biasa? Sialan---pikiran itu seketika membuat Mia langsung memanas. "Kenapa?" Tanya Alex yang langsung dapat menangkap ekspresi cemas Mia saat ini. "Aku---" Mia tidak tahu harus mengatakan apa, ia tidak mungkin dengan gamblang mengutarakan jika ia sangat ketakutan dan ingin Alex menemaninya tidur, hanya untuk malam ini. Alex menaikan sebelah alisnya. "Hmm?" "Aku takut." Bisik Mia malu, menggigit bibirnya semakin kuat. "Lalu...?" Alex menunggu dengan sabar seraya menahan tawanya karena sudah tahu dengan pasti apa yang Mia inginkan malam ini, tapi tentu saja ia akan bermain-main terlebih dahulu dengan wanita itu. "Aku takut sendirian!" Ulang Mia kali ini lebih jelas, berharap pria itu langsung menyadari apa yang Mia maksudkan. "Jadi aku harus apa Mia?" Alex masih berpura-pura tidak tahu. Mia kembali menggigit bibirnya, berpikir ulang apakah ia harus membuang harga dirinya jauh-jauh atau masuk ke dalam kamar sendirian bersama ketakutannya yang sangat mengganggu---sialan, dan ini bukanlah pilihan yang mudah. "Aku ingin kau menemaniku." Jawab Mia cepat, dengan suara yang sangat pelan, segera memalingkan wajahnya yang merah padam karena begitu malu telah meminta suatu hal yang menjadi pilihan terakhir untuknya. "Apa? Katakan dengan jelas Mia, aku tidak mendengarnya." Alex mengulum bibirnya menahan tawa sehingga hal itu langsung membuat Mia tahu jika Alex tengah berpura-pura tidak mengerti saat ini. "Terserah kau saja!" Dengusnya seraya membalikan badan berniat untuk memberanikan diri masuk ke dalam kamarnya tanpa pria sialan itu. Tapi Alex segera menahan pergelangan tangan Mia. "Kau yakin bisa tidur dengan hanya satu lilin di dalam kamar gelap itu?" Katanya sengaja agar Mia semakin merasa ketakutan. Mia kembali menggigit bibirnya menatap Alex dengan tatapan memelas. "Kau jahat!" Alex menaikan dagu Mia gemas. "Hei, pertama-tama berhenti menggigit bibirmu itu." Perintah Alex muram. "Dan kedua, apa salahnya kau mengatakan apa keinginanmu dengan jelas?" "Sekarang katakan padaku apa maumu? Hmm?" "Aku..." "Jika kau bicara, tatap orang yang kau ajak bicara itu Mia." Katanya gemas. Mia menahan napas sesaat seraya mengulum bibir karena merasa gugup. Mencoba memberanikan diri, ia mendongak untuk menatap Alex lalu menghembuskan napasnya pelan. "Aku ingin kau menemaniku malam ini." Katanya dengan wajah merah padam, ia telah membuang jauh harga dirinya hanya untuk mengatakan hal tersebut. Alex tersenyum puas, lalu menggandeng Mia untuk masuk ke dalam kamarnya terlebih dahulu. Ia juga mengambil alih lilin yang semula Mia pegang dan menyimpannya di nakas kecil dekat dengan ranjang kecil yang seharusnya hanya di peruntukan bagi satu orang saja. Alex membiarkan Mia menaiki ranjang terlebih dahulu, dan tak lama ia ikut bergabung dengan Mia, mendekapnya dari samping seperti yang biasa ia lakukan. "Tidurlah," bisik Alex parau di telinganya. Biasanya, Mia akan melakukan segala cara agar Alex dapat menjauh darinya dan melepaskan dekapannya. Tapi kali ini, Mia membiarkan hal itu terjadi dengan sukarela, malahan tanpa ada rasa malu lagi, Mia semakin bergeser untuk merapat dengan tubuh Alex. Sebelah tangannya menggenggam erat kemeja Alex takut jika Alex akan pergi meninggalkannya sendiri di dalam kamar ini. Keduanya nyalang dalam pikirannya masing-masing, saling merasakan suara degup jantung mereka yang terdengar jelas tanpa tahu malu. Mia belum sempat mengucapkan terimakasih karena pria itu telah membawanya ke tempat yang sekarang telah menjadi salah satu tempat favoritnya. Tapi kantuk telah lebih dulu datang, bersamaan dengan lilin yang sumbunya semakin pendek, dan juga suara degup jantung Alex yang begitu menenangkan, Mia terlelap begitu saja, meninggalkan Alex yang masih nyalang berbalut sepi...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD