Bagian 17
Entah sejak kapan ia begitu terobsesi dengan warna putih. Sejak dulu ia menanamkan dalam hati jika putih akan menjadi warna favoritnya.
Warna itu terlihat begitu sederhana, tenang, dingin dan tentu saja bersih, satu hal yang paling utama.
Ia tidak diizinkan untuk banyak berekspresi sejak ia masih kecil. Wanita itu selalu menginginkan ia untuk menjadi seorang pelukis seperti dirinya di masa mudanya.
Namun jelas melukis adalah satu hal yang paling ia benci. Ia tidak suka bagaimana warna lain mengotori kanvas putihnya, ia lebih senang memandang selama berjam-jam lamanya kertas putih yang ia biarkan tanpa tergores apapun.
Walaupun konsekuensinya ia mungkin harus mengotori kanvas putihnya dengan warna merah, dari darahnya sendiri...
***
Pria itu tidak kembali, karena saat Mia terbangun, ia tidak menemukan siapapun di sebelahnya. Entah apa yang membuat pria itu kembali bertingkah aneh. Tapi Mia tidak berniat untuk mencari tahu, pikirannya terlalu lelah untuk menerka-nerka apa yang Alex pikirkan.
Ia mengangkat gaun tidur berwarna putih yang kebesaran di tubuhnya saat ia keluar dari pondok untuk mencari Alex saat ini.
Sebelumnya, ia melihat beberapa sisa puntung rokok yang tergeletak asal di depan pintu pondok ini. Mungkin pria itu menyesap rokoknya semalaman sambil duduk di depan pondok ini, sendirian.
Kabut yang menyelimuti pagi itu cukup tebal dan Mia tak menyadari jika ia telah berjalan cukup jauh dari pondok berada. Setidaknya, ia merasa tenang kala masih melihat atap pondok dari tempat ia berada saat ini. Sampai seorang pria dengan setelan seperti pendaki gunung berjalan dari arah berlawanan dalam hutan itu.
Mulanya ia memicingkan mata memastikan jika wanita yang tak jauh darinya itu benar-benar manusia. Namun, semakin ia berjalan mendekat ke arah Mia, barulah pria itu menghela napas lega---dan sialan, wanita itu tampak begitu cantik.
Mia langsung melihat ke arah sekitar, tapi tidak menemukan siapapun selain pria itu disini. Instingnya langsung berjalan, bagaimanapun dia adalah seorang pria asing yang ditemuinya di pinggiran hutan seperti ini. Tentu saja Mia harus merasa waspada, jadi cepat-cepat ia berbalik untuk kembali ke arah pondok.
"Tunggu, Nona. Jangan pergi." Teriak pria itu membuat Mia menghentikan langkahnya, tiba-tiba saja pria itu sudah berada tepat di belakangnya.
"Jangan takut, saya bukan orang jahat." Jelasnya seperti membaca kekhawatiran Mia saat ini.
"Ada apa?" Tanya Mia pada akhirnya, ia pikir tidak ada salahnya berpikir positif terlebih dahulu.
"Aku tersesat dan berpisah dengan rombonganku selama satu malam di hutan ini. Apa kau tahu dimana jalan raya terdekat dari tempat ini?" Pria itu kelihatannya bersungguh-sungguh.
"Oh, apa anda tidak apa-apa? Aku juga tidak terlalu tahu banyak tempat ini, tapi jika kau mencari jalan raya kau hanya perlu berjalan sedikit lagi dari sini, dari danau itu akan ada jalan dari sebelah kanan yang akan menghubungkan langsung ke jalan raya." Jelas Mia sesuai apa yang ia ketahui.
"Saya baik-baik saja, hanya lelah karena semalaman tidak tidur. Saya hanya gusar karena harus segera mengabari teman-teman jika saya dalam keadaan baik-baik saja, tapi tentu saja tidak ada sinyal di tempat ini. Apa ada rumah penduduk atau semacamnya?"
Mia menggeleng. "Aku tidak tahu, maaf."
Tiba-tiba saja terbersit di benaknya untuk meminta pertolongan pada pria ini. Mungkin saja pria ini bisa membantunya agar ia terbebas dari Alex, lalu setelah itu ia akan memikirkan cara lain untuk membebaskan Ayahnya.
"Omong-omong jika saya boleh tahu, apa yang anda lakukan di tempat seperti ini seorang diri?"
Mia menelan ludahnya kelu, jantungnya memacu dengan kencang, memikirkan kata apa yang tepat untuk menjelaskan posisinya saat ini. Mia menoleh ke sekitarnya untuk memastikan jika Alex tidak berada di sekitar ini. "A-aku tidak sendiri," jawab Mia pelan.
"Lalu?" Pria itu menunggu apa yang akan Mia katakan selanjutnya.
"Se-sebenarnya aku ..."
Tidak ada waktu lagi Mia!
Batinnya berteriak, Mia sungguh merasa gugup, tapi ia juga merasa jika meminta pertolongan pada seseorang yang sebelumnya juga sedang membutuhkan pertolongan bukanlah pilihan yang tepat. Tapi mungkin hanya ini menjadi satu-satunya cara agar ia segera terbebas dan mengetahui semua teka-teki sialan ini.
"Tolong aku," ucap Mia pada akhirnya.
"Maksud anda?"
"Aku---"
Sebuah tepukan halus di pundak Mia berhasil membuat wanita itu terlonjak kaget. Entah dari mana arah datangnya, tiba-tiba saja Alex sudah berada di sampingnya, dengan wajah tak bersahabat yang membuat tubuh Mia langsung bergetar.
"Tolong apa maksudmu?" Tanya Alex dengan tatapan menusuk yang hanya dapat dimengerti oleh Mia, belum lagi Alex langsung menggenggam tangan Mia yang dingin dengan erat seakan tahu apa rencana wanita itu sebelumnya.
Mia menghela napas pelan. Ia juga berusaha dengan keras agar air mukanya tetap terlihat tenang walaupun sekarang ia sedang merasa panik bukan main.
"Dia meminta tolong padaku untuk memberitahu jalan raya terdekat dari sini." Jawab Mia cepat.
Suasana berubah menjadi canggung.
"Ah ya, saya tadi bertanya arah jalan pada Nona ini, dan tadi juga sepertinya dia membutuhkan pertolongan,"
Rasanya Mia ingin menenggelamkan diri saja saat ini.
"Itu---aku, maksudku, aku..." Ucap Mia tergagap, tidak tahu alasan apa yang tepat untuk menyangkal hal itu.
"Oh, sekarang anda sudah tahu arah jalannya bukan? Jika tidak ada lagi hal yang ingin anda tanyakan, kami permisi." Sepertinya Alex sama sekali tidak berniat untuk mendengarkan Mia terlebih dahulu, dengan nada suara yang sangat tidak ramah, Alex menarik Mia untuk mengikuti langkahnya yang cepat meninggalkan pria itu dengan kebingungannya.
***
"Alex lepaskan aku!" Protes Mia karena Alex menarik Mia dengan genggaman yang kuat sampai kembali masuk ke dalam pondok, tapi pria itu tak menggubris permintaan Mia.
Ia membanting pintu lalu mendorong Mia masuk ke dalam hingga wanita itu tersungkur jatuh ke lantai kayu pondok itu.
"Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan, hah?!" Sembur Alex dengan rahang yang mengeras.
"Berani beraninya kau!" Bentak Alex dengan napas yang memburu menghambur ke arah Mia seraya melayangkan tamparannya talak pada pipi mulus wanita itu sehingga sudut bibir Mia mengeluarkan cairan berwarna merah.
Tak sampai disitu, Alex mencengkeram rambut Mia dengan kuat hingga wanita itu mendongak ke arah nya.
"Kau mau melarikan diri bersama pria itu hm? Kau mau mengadu kepadanya cerita sedihmu ini agar dia bersimpati padamu lalu kau dapat tidur dengannya?! p*****r! Dasar p*****r murahan!" Gertak Alex belum puas sampai Mia tak bisa berkata-kata untuk menjelaskan pada pria itu.
"Kau pikir kau bisa lari dariku semudah itu?! Apa kau lupa siapa dirimu saat ini hah?! s****l sialan!" Hardik Alex menyungkur kan Mia hingga kepalanya membentur lantai kayu dengan cukup keras.
Tubuh Mia bergetar hebat, tidak menyangka jika Alex akan semarah ini kepadanya. Dengan sisa tenaga yang masih ia miliki, ia mencoba bangkit mengubah posisinya menjadi duduk tegap sambil mendongakkan kepalanya pada pria itu.
Matanya sudah penuh dengan air, tapi belum---ia juga tidak tahu kekuatan darimana yang membuat ia belum menumpahkan air matanya sampai saat ini.
"Lalu apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Mia dengan suara yang terdengar bergetar.
"Aku lelah dengan semua permainanmu! Kau pria gila! Kenapa kau tak biarkan aku mengerti?!" Kali ini Mia meninggikan suaranya.
Alex langsung melotot, semakin tersulut saja amarahnya karena perkataan wanita itu. Ia kembali melayangkan satu tamparan di pipi Mia tanpa ragu.
"Aku sudah katakan kau disini untuk membayar sesuatu! Apa yang kau rasakan saat ini belum sebanding dengan apa yang telah aku alami wanita s****l!"
"Tapi untuk membayar apa?!" Teriak Mia di sela tangisnya, ia tidak bisa lagi menahan bendungan di matanya itu.
"Kenapa harus menyandera papaku, kenapa harus dengan cara menikahi ku dan mengurungku agar terus bersamamu, kenapa?" Isak Mia.
Alex berjongkok, membelai wajah Mia yang kini sudah babak belur akibat ulahnya sendiri. Sentuhan itu membuat Mia langsung memalingkan wajahnya karena takut, tapi Alex langsung mencengkeram pipi Mia dengan satu tangannya agar tetap terarah kepadanya.
"Karena ini tujuanku, membuatmu menderita karena pertanyaan-pertanyaan di kepala pintar mu itu. Kau pikir perlakuan baikku kepadamu tempo hari itu karena aku bersungguh-sungguh?" Alex tersenyum ironi.
"Kau salah sayang, kau terlalu cepat masuk ke dalam perangkapku hingga kau lupa apa posisi mu saat ini."
"Buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Kau persis seperti ibumu si p*****r itu." Desisnya seraya melepaskan cengkraman di wajah Mia lalu beranjak berdiri dan masuk ke dalam kamar dengan membanting pintunya.
Dan seketika itu juga tangis Mia pecah tak dapat tertahankan. Ia meremas dadanya yang terasa bergemuruh perih. Belum pernah ia merasa sesakit ini, mungkin hinaan dan juga siksaan yang ia dapat masih dapat ia terima tapi ucapan terakhirnya yang juga membawa-bawa ibunya dalam hal ini sungguh sudah kelewat batas.
Ia tidak akan tinggal diam, bagaimanapun juga Mia tidak akan membiarkan pria itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia akan melarikan diri dari pria itu bagaimanapun caranya.
Bahkan jika pilihan terakhir untuk terbebas dari pria itu adalah... kematiannya.