Teror

1101 Words
Jeritan Rara sontak membuat Aska berlari menerobos pintu masuk. "Ra...Rara,"Aska memanggil Rara dengan panik. Rara terduduk lemas didepan bungkusan yang menguatkan bau anyir, tak jauh didepannya nampak pemandangan yang mengerikan. Bangkai ayam dan kucing tergeletak begitu saja dengan kondisi bersimbah darah. Rara masih menangis histeris, dengan sigap Aska merengkuh tubuh Rara kedalam pelukannya dan membawanya keluar. "Kunci rumah kamu mana,"Aska mengulurkan tangannya yang disambut Rara dengan menyerahkan kunci yang sedari tadi digenggamnya. Kost yang Rara tempati beruba rumah dengan 3 kamar tidur, dulu saat masih magang Rara menempati nya bersama dua teman magangnya. Sekarang tinggal Rara seorang diri yang menempati nya. "Halo Hendry, segera kirim orang kesini. Nanti gue share lock,"Aska mengakhiri panggilan telepon nya dan mulai melajukan mobilnya membelah malam. Rara masih shock dengan kejadian barusan, sampai tak sadar sekarang dia tengah meninggalkan kostnya. "Ra kamu ada tempat buat tinggal sementara ?"Aska mulai bertanya, karena dia sudah 15 menit membawa Rara tak tentu arah. "Aku bisa tidur di kamar jaga RS aja"Rara menjawab dengan lirih. Sejujurnya dia masih tidak siap untuk menjelaskan alasannya pada semua rekan kerjanya. Pasalnya memang sudah hampir tiga bulan ini dia sering mendapat paketan yang ditujukan ke RS namun tak jelas asal-usulnya. Nadrikaa sudah sering menanyakan apakah dia sedang diganggu orang, tapi selalu disangkal oleh Rara. Namun hari ini puncak dari segala teror yang dialaminya. Sebelum ini dia sempat mendapat kiriman berisikan fotonya saat bekerja atau saat sedang jalan-jalan. "Are you kidding me, Ra?"respon Aska mampu membuat Rara kembali ke kenyataan. "Setidaknya disana aku nggak sendirian ka,"Rara menjawab dengan getir. Keduanya terdiam, sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di loby apartment yang terkenal. Sadar siapa yang barusan datang, seorang petugas menghampiri Aska dan menyapa dengan ramah. "Selamat malam tuan,"sapanya Ramah. "Malam,"Aska menjawab sambil lalu, tangan kanannya masih menggenggam erat jemari Rara. Nampak raut kebingungan dan rasa ingin tau yang besar dari sang petugas. Tapi Aska tidak memberikan sedikitpun kesempatan agar privacinya terjaga. Maklum selama ini tak ada seorang wanita pun yang pernah diajaknya ke apartment nya, terlebih sekarang sudah pukul 02.00 dini hari. Pintu lift khusus terbuka, tanpa buang waktu Aska segera melangkah masuk sambil menggandeng Rara. "Ka kita mau kemana?"Rara bingung. "Malam ini kamu tidur di apartment ku, besok unit kamu baru bisa dipakek."Aska sudah melangkah keluar, diikuti Rara patuh dibelakangnya. "Aku nggak akan macam-macam Ra, disini ada 2 kamar terpisah, kamu bisa pakek satu. Besok kalau unit kamu sudah siap kamu bisa tinggal disana,"Aska menjelaskan sambil menunjuk sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Di lantai ini hanya ada dua unit yang kesemuanya milih Aska, sebenarnya seluruh apartmen ini miliknya. Dulu dia sempat menolak untuk membeli seluruh apartmen ini, namun sekarang dia baru menyadari keputusan pembeliannya adalah hal tepat. "Aku boleh pinjam kamar mandinya?"Rara tersenyum tipis sambil mengibaskan tangannya yang masih berlumuran darah. "Kamu bisa mandi disebelah sana, "Aska menjukan arah kamar mandi yang ada diluar kamar tidur."Atau kalau kamu mau kamu bisa pakai kamar mandi di dalam kamar ku, nanti aku mandi di kamar mandi lain,"Aska berusaha menjelaskan. Setelah beberapa waktu Rara baru menyadari betapa berantakannya tampilannya sekarang, kemeja yang digunakannya terkena darah. Bahkan kemeja mahal Aksa pun tak luput dari bercak darah. "No thanks aku mandi disana aja,"Rara mulai beranjak ke arah kamar mandi. Pikirannya memang sudah lebih tenang tapi fokusnya masih belum kembali. Terdengar suara shower yang dinyalakan , Rara segera memposisikan dirinya dibawah shower masih mengenakan pakaian lengkap. Tangisnya pecah mengingat kejadian tadi, banyak hal terlintas dipikirannya. Sebenarnya siapa yang tega melakukan teror keji itu, dan Rara masih tak habis pikir ada salah apa dia dengan orang yang menerornya. Setelah hampir 15 menit menghabiskan waktu untuk menangis dan merutuki kejadian yang menimpanya. Rara mulai tersadar bahwa dia telah masuk ke kediaman orang lain, dan orang lain itu adalah Aska. Lelaki yang belum begitu dikenalnya, dan sekarang mereka hanya berdua dalam apartemen yang sama. Tok... tok...terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar. "Ra, baju gantinya aku taru di depan pintu ya,"Aska kemudian beranjak masuk ke kamarnya. Andrenaline yang dari tadi sempat terpacu kini telah mereda, baik Aska maupun Rara mulai merasa canggung dengan kondisi ini.Mereka baru bisa menelaah kondisi saat ini, berdua di dalam apartemen walaupun ada dua kamar terpisah tapi tetap saja canggung. Aska memenuhi bathtub dengan air dingin dia harus mendinginkan pikiran dan tubuhnya. Bayangan Rara dengan kegiatan mandinya sukses membuat pikiran Aska berkabut. Rara melongok keluar kamar mandi saat dirasa sudah tidak ada suara Aska di depan. Secepat kilat Rara memakai baju yang telah disiapkan Aska. Selesai mandi Rara mencoba membuat makan malam dari bahan yang tersedia, sayangnya kulkas Aska benar-benar kosong melompong. Hanya ada beberapa kaleng bir dan air minum kemasan. Rara merasa sedikit kecewa, perutnya benar-benar lapar. Setelah makan malam terakhirnya dia muntahan tadi. Sekarang Rara kebingungan bagaimana cara dia tau kondisi kostnya sekarang, hanya mengingat kejadian tadi sukses membuat nya bergidik ngeri. Pasti kondisinya sekarang amat sangat berantakan, dengan darah dan muntahan yang bercampur sempurna. Ting tong... Terdengar suara bel pintu. Rara nampak ragu-ragu hendak membukakan pintu, dengan langkah berat dan penuh dengan sikap waspada Rara menuju arah datangnya suara. "Tunggu, biar aku saja yang buka,"Aska nampak bergegas keluar dari kamar sambil menenteng handuk kecil yang sepertinya hendak dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Rara mundur dengan patuh, dan memilih duduk di sofa empuk yang ada di depan TV plasma berukuran besar. Aska tak mau buang waktu, setelah paketan ditangan tanpa menunggu persetujuan lawan bicaranya pintu apartemen segera ditutup, tepat didepan hidung Hendry yang sukses membuat Hendry mengomel. "Ayo Ra kita makan,"Aska meletakkan beberapa jenis makanan yang sudah dibelikan Hendry. Belum sempat makan sekarang giliran Handphone Aska berdering. " Halo," jawab Aska ketus, nampaknya pembicaraan yang berlangsung cukup penting, sampai Aska lupa untuk melanjutkan mengeringkan rambutnya. Akibatnya sekarang air menetes ke kaos yang dikenakannya. Rara reflek menarik kaos Aska untuk mendapatkan perhatian. Aska menoleh sambil berbisik "Kenapa?" "Sini,"Rara menepuk tempat disebelahnya meminta Aska agar duduk disana. Dengan patuh Aska duduk sesuai permintaan Rara, tubunya menegang saat tiba-tiba Rara meraih handuk yang sedari tadi hanya diletakkan dibahu bidang Aska. Rara mencoba mengeringkan rambut Aska dengan lembut, jantungnya berdegup tak karuan namun berusaha dia tutupi. "Ka, Aska....kamu masih disitu kan? kamu lagi ngomong sama siapa?" lawan bicara Aska berteriak protes karena merasa tak digubris. "Berisik banget sih lu kak,"Aska menjawab asal. Aska mengakhiri panggilan telepon secara sepihak dan memposisikan tubuhnya bersandar pada bahu Rara. "Biarin gini dulu ya Ra...bentar aja ya Ra,"Rara tak menjawab ataupun menolak. Akhirnya mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD