Chapter 01 - Hallo Old Friend

1137 Words
"Aku siap berduel denganmu, selama bukan di lingkungan sekolah dan jika kau tidak bertindak seenaknya dengan orang yang kau anggap lemah." "F&*k off! Apa pecundang itu kekasihmu? Batangnya saja tidak bisa berdiri." Meremas kaleng cola yang sudah kosong, Maddie menyalurkan emosi terpendam di ruang kesehatan. Kejadian beberapa saat lalu di lorong loker senantiasa berputar-putar di kepala Maddie, hingga tanpa sadar dia nyaris melukai Shone—pemuda keturunan Thailand yang ia tolong dari si rambut perak. Kalau tidak salah lelaki berambut perak itu namanya Aaron. Maddie kurang memerhatikan dan memang tak berniat, karena yang terpenting untuk diingat adalah pemuda itu telah melukai teman masa kecilnya, Shone. Satu-satunya penyebab utama yang membuat Maddie marah besar lalu memutuskan untuk menghentikan Aaron dengan tendangannya, tanpa peduli bahwa hari ini adalah hari pertamanya sebagai murid baru di Santonius High School. Persetan dengan nama baik, lagipula dia dilahirkan memang untuk memberantas orang-orang seperti Aaron. Maddie mendecak kesal lalu dengan gerakan kasar, meletakkan kaleng cola yang telah mengerut di atas meja. "Sebaiknya aku berganti pakaian, daripada melukaimu dengan gunting s****n itu." Maddie melirik ke arah gunting yang dipegang Shone—pemuda itu tampak kesulitan memotong plester. "Lebih baik aku tidak ikut campur, daripada wajahmu berakhir seperti kaleng cola yang mengerut," kata Maddie lagi sebelum ia pergi mengambil kemeja lalu beranjak ke bilik sebelah. Shone mengabaikan ucapan Maddie dan masih sibuk merawat luka. Sebenarnya tidak terlalu susah melakukan hal tersebut, tetapi rasa nyeri yang timbul cukup merepotkan Shone. Selain itu, Shone juga belum bisa mengingat siapa gadis misterius yang menolongnya barusan, meski dia telah mengaku dirinya sebagai Maddie Ave. Shone benar-benar tidak bisa mengingat, tetapi jika Maddie Ave yang dimaksud gadis itu adalah dia, maka Shone mungkin akan menyangkal hal tersebut. Well, mereka sosok yang berbeda. Shone yakin itu. "Sepertinya kau benar-benar tidak mengenaliku atau mungkin lupa," ucap Maddie, sambil melepaskan hoddie, di bilik sebelah lalu kembali menghampiri Shone dengan mengenakan kemeja kotak-kotak warna merah maroon. Shone mengernyit—berpikir keras—menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak mengingat apa pun. Shone masih berpendapat, bahwa nama mereka mungkin hanya kebetulan sama. Namun, di waktu bersamaan Shone juga penasaran sehingga diam-diam dia berusaha mengingat jika memang benar gadis berambut hitam ini adalah teman masa kecilnya. "Well, jika yang kau maksud adalah Maddie Ave si gadis berkawat dan cengeng, maka sekarang kau telah banyak berubah. Bahkan aku tidak mengenalimu," ucap Shone ragu-ragu setelah menerima minuman bersoda dari Maddie. Maddie tersenyum lalu segera duduk di kursi samping tempat tidur pasien. Dari gerak-gerik Maddie, tampaknya ia tidak terlalu peduli dengan bel masuk yang baru saja berbunyi. "Kau tidak mengenalku karena aku sudah semakin cantik dan kuat, 'kan?" tanya Maddie dengan memasang ekspresi penuh percaya diri—membuat Shone tidak bisa menyembunyikan senyum, meski otot wajahnya akan terasa nyeri akibat pukulan Aaron. "Anyway, aku belum sempat mengucapkan terima kasih saat kau menolongku dari sekelompok anak nakal, tujuh tahun lalu." Shone mengangguk, tidak tahu harus berbicara apa karena sejak awal ia memang tak pandai bergaul. Namun, di waktu bersamaan, setelah mendengar ucapan Maddie, pikiran Shone secara refleks menerawang—memutar ulang kejadian tujuh tahun lalu. Tujuh tahun lalu, saat mereka berusia sepuluh tahun, Shone melihat Maddie sedang di-bully oleh sekelompok anak lelaki yang merupakan teman sekelas mereka. Shone tidak suka melihat kejadian tersebut, sehingga meski tak bisa berkelahi Shone memberanikan diri menyelamatkan Maddie. Namun, alhasil dia malah terluka dan berakhir babak belur di hadapan Maddie, bahkan sampai tidak bisa berangkat sekolah selama dua hari. Shone sangat mengingat kejadian itu—peristiwa mengerikan yang menjadi awal pertemanannya dengan Maddie, tetapi sayang tidak berlangsung lama karena setahun kemudian Maddie menghilang. Setidaknya itulah yang diketahui Shone, sebab setelah Maddie pergi meninggalkan Salem's Fork, mereka sama sekali tidak menjalin komunikasi. Jika Shone menganggap bahwa peristiwa itu adalah awal pertemanan mereka, maka Maddie memiliki anggapan lain karena sejak itu ia memutuskan untuk menjadi lebih kuat dan berusaha keras membela kaum lemah, demi melindungi Shone, serta membuat jera kaum pem-bully. Namun, takdir memang tidak selalu sama dengan harapan—Maddie terpaksa pergi meninggalkan Shone dan Salem's Fork karena perceraian orangtuanya, setelah setahun mereka berteman. "Kau menghilang dan aku mencarimu? Rasanya sepi tanpa dirimu karena kau tahu, aku tak pandai berteman." Sepasang mata Shone menampakkan aura kesedihan dan hal itu membuat hati Maddie terasa nyeri. Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati Maddie, ia sangat menyayangi Shone. Maddie mengembuskan napas, meletakkan tangan kanannya di lengan Shone dan berkata, "Aku pindah ke Israel dan itu terjadi begitu saja. Maaf, tapi sekarang, 'kan aku sudah kembali dan menjadi wonder women-mu. Kau seharusnya senang dan memberiku sebuah pelukan, Shone!" Tanpa menanggung beban apa pun, Maddie bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Shone erat. Yang benar saja, salah satu alasan mengapa Maddie begitu bahagia saat kembali ke Salem's Fork adalah karena dia akan bertemu lagi dengan teman lamanya. "Kau seharusnya mengenalku saat kita bertemu di gerbang sekolah, lalu menjadi pemandu pribadiku karena ini adalah hari pertamaku, tapi aku tidak menyangka kau mendapat perlakuan seperti itu di sini." Maddie mengembuskan napasnya lagi, seolah frustrasi. "Semestinya aku datang lebih awal dan menjagamu." "Keinginan yang konyol, Maddie. Kau tahu, di mana-mana laki-laki yang menjaga perempuan, bukan sebaliknya. Aaron benar, aku ini pecundang," ucap Shone, sambil menjauhkan tangan Maddie dari bahunya. "Konyol lubang pantatmu, Shone! Kau tahu, aku tidak bisa terima kau diperlakukan seperti itu." Maddie meremas kedua tangannya lalu menatap Shone tajam. "Setelah mencuri dengar bagaiamana perangai Aaron terhadapmu, rasanya aku tidak akan tinggal diam. Kau temanku, meski kau lupa dan ... s**l! "Listen to me, they tell you to be yourself and then they judge you. It's mean what they say is bulshit! Aku akan senantiasa melindungimu dan melawan Aaron sebisa mungkin, tanpa menimbulkan masalah di sekolah. I promise." Seketika Shone terdiam, tidak tahu harus bicara apa setelah mendengar perkataan Maddie yang jauh berbeda dengan dirinya. Selama ini, Shone pasrah diperlakukan semena-mena oleh Aaron, bahkan ia sempat berpikir bahwa masa SMA-nya akan berakhir menyedihkan. Namun, kehadiran Maddie hari ini mungkin akan mengubah kehidupan sekolah Shone. "Thanks, Maddie," ujar Shone pelan. Maddie mengangguk. Sudah hampir lima menit berlalu, setelah bel masuk berbunyi dan Shone teringat dengan kelasnya—dia ada kuis hari ini. "Kau seharusnya ke ruang guru dulu, sebelum masuk kelas, bukan? Jangan buat masalah di hari pertamamu, Maddie. Aku harus segera pergi, kuis s****n ini mendesakku." "Oke, good luck." Mengedikkan bahu, Maddie segera meraih tas ranselnya kemudian berdiri tepat di hadapan Shone. "Kau tidak terlihat senang bertemu teman lama, tapi tidak masalah bagiku. Hanya saja, beri tahu aku jika ada yang mengganggumu lagi," pesan Maddie, sambil melangkah meninggalkan ruang kesehatan tanpa perlu menunggu Shone. Bukan berarti tidak senang, Maddie. Aku hanya terlalu bahagia dan terkejut. Kau cuma belum mengetahui apa yang kurasa. "Maddie, ketemu lagi di jam istirahat!" seru Shone, mengabaikan suasana lorong yang sudah sepi karena jam kelas sedang berlangsung hampir lima menit. Dan Shone tidak menyadari bahwa ada orang lain yang sedang mencuri dengar, sambil menikmati gulungan tembakau berukuran jari kelingking.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD