Azza

1613 Words
            Nama lengkapnya Naira Azzarine. Biasa dipanggil Azza, tapi guru – gurunya sering memanggil Naira. Cewek manis yang agak tomboy. Bertubuh langsing dengan tinggi badan yang lumayan untuk seorang cewek. Kulitnya langsat, dengan rambut pendek sebawah leher. Hobi ngemil sama tidur, malas banget kalau disuruh belajar, katanya dia sudah pintar. Sialnya dia memang sudah jenius dari lahir. Jenis – jenis anak yang sudah memiliki bakat alami sebagai penakluk soal – soal.  Baru kelas dua SMA, dan peringkatnya selalu yang teratas seangkatan. Agak sombong karena memang dia memiliki kemampuan. Azza memang memiliki wajah yang lumayan manis, tapi sorot matanya tajam, sangat kontras dengan garis wajahnya.             Azza suka bermain. Bermain gim, bermain teka – teki, bermain alat musik dan bermain apa saja yang ia sukai. Iya, Azza memang suka bermain – main. Bermain apa saja yang ia suka, baik permainan secara nyata atau permainan secara virtual. Bahkan jika itu permainan yang mempermainkan perasaan orang lain.             Azza memang sombong, tetapi dia gadis yang baik, sangat baik malahan. Azza hanya dikenal sebagai gadis yang dingin namun mudah bergaul, meski kesan pertama bagi orang – orang yang melihatnya tidak selalu baik. Azza disebut – sebut sebagai gadis yang sempura. Pintar, cantik, anak orang kaya, dan baik hati. Apa lagi yang kurang dari semua itu?             Kebanyakan orang memang hanya menilai orang lain dari apa yang tampak bagi mereka. Mereka tidak pernah berpikir untuk mengenal seseorang lebih jauh. Hanya kelihatannya saja.             Orang Jawa bilang ‘Urip iku sawang – sinawang’. Maksudnya, manusia hidup dengan memperhatikan orang lain. Hanya yang tampak dari luaran saja. Meskipun banyak yang suka kepada Azza, bukan berarti tidak ada yang membencinya. Kalau dihitung, jumlah yang menyukai Azza dan juga yang membencinya hampir sama. Hidup memang seperti itu, orang yang selalu bersikap baik saja ada yang membenci apalagi Azza yang kadang juga bersikap buruk ketika mood nya turun. Apalagi dia juga sombong. Azza mengakuinya, sifat buruk itu melekat kuat dalam dirinya.             Azza bermain bukan tanpa alasan, dia hanya ingin membuat hidupnya terasa tidak membosankan. Iya, dia merasa begitu bosan dengan kehidupannya. Alasan yang cukup kurang ajar. Dia mempermainkan orang lain hanya sebagai hiburan di dalam kehidupannya yang menurutnya begitu membosankan. Azza hanya percaya satu hal, bahwa permainan perasaan ia lakukan atas dasar persetujuan kedua belah pihak, jadi Azza tidak bersalah.             Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya ia merasa begitu kebingungan. Ia bingung kenapa ia merasa kehidupannya begitu monoton, ia bingung kenapa ia merasa hidupnya seakan tidak memiliki rasa, begitu hambar dan ia bingung saat terkadang ia merasa begitu iri kepada teman – temannya saat mereka dapat merasakan warna – warni dunia mereka. Azza bukannya merasa tidak bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya. Segala kebutuhannya tercukupi, otaknya juga bekerja sempurna. Hanya saja, ia merasa ada yang kurang. Orang lain akan berpikir ia tidak bersyukur, tapi Azza tak peduli. Perasaan tak pernah berbohong, dan semua rasa kosongnya juga nyata.     *             Siang itu, Azza sedang duduk manis di bangku kantin sambil menikmati mie ayam Bu Weni favoritnya. Dia makan berdua dengan Ila, teman sekelasnya.              “Za, lo ntar pulang sekolah bareng Reno?” Tanya Ila seraya menyuapkan mie ayam ke mulut nya.             Azza tidak menjawab, dia masih asyik menikmati makanannya.             “Hoi, jawab dong!” Ila menarik poni Azza yang lumayan panjang. Si empunya poni yang ditarik begitu merasa sedikit kesal.             “Apaan sih. Nggak kok. Gue pulang sendirian.” Jawab Azza sambil membenarkan poninya. Ila menghela napas dan sedikit mengerucutkan bibirnya karena kesal.             Ila menyipitkan matanya. “Heee… serius? Si Om nggak marah tuh kalau lo pulang sendirian?”             Azza mendengus. “Gue bukan anak manja. Gue bisa beladiri kalau diperlukan, atau lari dengan semangat masa muda kalau ngerasa nggak bisa lawan.”             Ila bukan teman dekat Azza sebenarnya, Azza sendiri juga tidak mengerti sebenarnya, siapa yang layak disebut sebagai temannya. Kebanyakan dari mereka mendekati Azza hanya karena kepopuleran Azza saja. Ini bukan karena Azza berpikir negatif. Semua ini berdasar, dan Azza bersumpah ia mendengar pendapat (mantan) teman-temannya yang membicarakannya ketika dirinya tidak ada. Sialnya, Azza mendengar semuanya.             Menyebalkan.             Azza terkadang merasa begitu kesal sampai rasanya ia ingin menendang apa saja yang ada di dekatnya. Tapi, itu tidak mungkin. Alhasil boneka-boneka kado dari teman – teman Papanya waktu kecil lah yang menjadi pelampiasan kekesalan Azza. Terkadang, memukuli benda mati bisa mengurangi stress. Harap ini jangan ditiru kecuali kalian memiliki barang – barang yang sudah benar – benar tak terpakai.              Sejauh ini, Ila memang lumayan jauh berbeda dengan ‘teman – teman’ nya yang dulu – dulu. Dia gadis yang ceria dan easy going. Setidaknya, dia bersikap sama kepada semua orang. Tidak ada rumor buruk tentangnya, dia tidak begitu dekat dengan satu kelompok tetapi membaur kepada siapa pun.             “Za, apa lo nggak capek?” Tanya Ila penasaran. Ia menatap Azza lekat.             Azza menoleh sembari mengerutkan kedua alisnya. Capek? Memangnya dia melakukan apa?             “Ha? Capek kenapa?” Tanya Azza bingung.             Ila meniup poninya kasar. “Yah, bermain. Lo pasti tau maksud gue. Apa lo nggak capek terus bermain – main?”             Deg!             Azza merasa jantungnya berpacu lebih cepat. Kenapa? Kenapa rasanya Azza merasa begitu tersudut, seakan – akan ia tengah tertangkap basah saat sedang mencuri. Azza tersenyum miris, Ila bukan teman dekatnya, tapi dia memperhatikan detail itu dengan sangat sempurna. Pengamatan gadis itu boleh juga.             “Hahaha… nggak, gue nggak tahu apa yang lo maksud.” Azza tertawa hambar.             Ila memandang gemas kepada teman sekelasnya ini. “Please, lo tuh nggak jago bohong. Setidaknya di depan gue. Ini bukan urusan gue sih, maaf kalau lo tersinggung.”             Azza kemudian tersenyum, senyuman hambar yang sulit terbaca apa maksudnya. “Gue nggak nyangka lo bakal tanya kaya gini, La.” Katanya dengan tertawa kecil. “Well, kalau boleh jujur, gue cuma ingin bermain. Apa itu salah? Ayolah kita masih remaja. Lo tahu ‘kan istilah remaja dan kegilaannya? Nah, anggep aja gue sedang menikmati masa itu. Makanya, wajar kalau gue suka main – main.” Lanjutnya dengan seringai tipis.             “Gue nggak tau apa tujuan lo melakukan semua ini, tapi saran gue lebih baik segera lo hentiin deh. Gue takut akhirnya lo menyesal.” Kata Ila sambil menepuk bahu Azza. "Eh, ngomong – ngomong gue ada urusan nih sama anak kelas sebelah, gue duluan ya.” Ila berlari meninggalkan Azza yang termenung sendirian.             Apa katanya tadi? Menyesal? Bahkan sejak pertama kali Azza memutuskan akan bermain pun, ia sudah siap dengan berbagai konsekuensi yang akan terjadi nantinya. Di kehidupannya yang sudah terlanjur membosankan seperti ini, apalagi yang bisa membuatnya menyesal? Mungkin, satu – satunya hal yang akan membuatnya menyesal adalah ia tetap membiarkan hidupnya terbelenggu kebosanan. Azza mengusap wajahnya. Kadang-kadang, ia benci dengan dirinya sendiri yang pemikir. Harusnya pertanyaan Ila bukan masalah, lagipula gadis itu sendiri yang mengatakan bahwa ia hanya sekadar penasaran dan bukannya karena apa-apa.             Azza menghela napas. Sedikit tidak habis pikir dengan Ila, bagaimana gadis itu bisa sebegini peka nya. Teman – temannya yang lain tidak pernah sekali pun menyinggung soal ini kepadanya. Kehidupan pribadinya tidak pernah diumbar kepada siapa pun, bahkan kepada Ila sekali pun. Tapi gadis itu tahu. Hebat sekali.             “Oi Za, main basket yuk!”             Azza sedikit tersentak, ia menoleh ke sumber suara. Seorang anak laki – laki jangkung berbalut jersey basket menghampirinya. Tulisan nama Ivo tercetak besar di punggungnya. Tubuhnya berkeringat, dengan bagian depan rambutnya yang basah dan lepek.             “Lo mau ngasih apa ke gue kalau gue menang?” Tanya Azza dengan tampang merendahkan khasnya.             Si anak laki – laki tertawa kecil, kemudian dia tersenyum sambil menjentikkan jarinya. “Siapa yang menang boleh minta satu permintaan apa saja dari yang kalah.” Katanya kemudian.             Bibir Azza mencebik, ia tersenyum sinis. “Kalau gue minta mobil, apa lo bakal ngasih?” Tanya Azza masih dengan wajah meremehkan khasnya.             “Yaelah Za, permintaan lu ya yang sesuai sama kantong anak SMA dong.” Ivo menghela napas.             Azza dan Ivo saling kenal sejak dua tahun yang lalu. Semester pertama di tahun pertama Azza. Ivo sudah tahun kedua. Awalnya, karena melihat Azza bermain basket untuk menjadi murid baru yang dipersilahkan mencoba pada saat acara MOS. Setiap ekskul di sekolah diberi kesempatan untuk memperkenalkan kegiatan masing – masing. Azza sempat direkrut untuk menjadi anggota tim basket putri oleh kaptennya sendiri, berkat rekomendasi Ivo. Sayangnya ia menolak. Jadilah mereka masih berteman hingga sekarang meski Azza bukan anggota mereka.             “Gue cuma bercanda. Ya udah, pinjemin gue baju. Eh, bentar bukannya sebentar lagi kelas dimulai? Lo ‘kan kelas tiga. Inget umur dong.” Cibir Azza.             Ivo tersenyum penuh kemenangan. “Nah, itu Za. Hari ini kita bebas. Gue sih nggak tau kenapa, tapi katanya mulai jam istirahat ini sampai jam pulang ntar kita kosong. Itu lho, rapat apaan gitu yang ngundang petinggi-petinggi yayasan. Kayaknya ada hubungannya sama yang mau ngundang-ngundang tamu luar negeri di festival ulang tahun sekolah mendatang.” Jelas Ivo dengan aura berkilauan di sekitarnya.             “Kenapa? Masa satu sekolah? Kelas tiga doang kali.”             “Iya, beneran semuanya kok. Kalau nggak percaya, lo tanya aja deh sama teman – teman sekelas lo. Lo pasti tau lah, gimana rapat sekolah kita kalau udah pada ngundang petinggi yayasan. Udah macam pesta khusus guru-guru aja, atau konferensi meja bundar a la mereka.”             Azza menaikkan sebelah alisnya sembari berpikir. “Ya udah deh, sini bajunya.” Putusnya kemudian.             Ivo menarik setelan jersey yang sama dengan miliknya kemudian menyerahkannya kepada Azza.             “Ya udah bentar, gue ganti baju dulu.” Katanya cepat kemudian segera berlalu menuju ke toilet.             Ivo tersenyum lebar. “Sip, gue tunggu di lapangan indoor.” Ivo berteriak keras, membuat beberapa pengunjung kantin menatapnya.             “Oke.” Jawab Azza sekenanya.             “Cepetan!!” Teriakan Ivo masih mampu didengar Azza walau tidak seberapa jelas. Ivo kemudian berlalu dan segera menuju ruang klub basket. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD