Usulan Dilara

1028 Words
"Sayang, udah semua?" Izzaz mendatangi Dilara yang sejak tadi sibuk memilih bumbu-bumbu dan bahan masakan lain untuk distok selama kurang lebih satu bulan. Juga termasuk sembako, sabun, shampo dan lain-lainnya. "Udah deh kayaknya, Mas. Sabun, shampo, minyak, beras dan yang lainnya," ucap Dilara seraya mengecek kembali barang yang ia ambil. "Mas sendiri ambil apa aja?" Matanya tertuju pada keranjang plastik merah yang dibawa oleh Izzaz di tangan kanannya. Sembari tersenyum, Izzaz memperlihatkan isi keranjang yang dibawanya pada sang istrinya. Isi dari keranjang tersebut adalah berbagai jenis buah-buahan segar, mulai dari anggur, apel, pir, nanas, bahkan semangka. "Sengaja Mas ambil banyak buah-buahan. Kata kamu tadi pagi, kamu suka makan buah, kan? Mas gak mau kalau buah di rumah sampai habis, kalau udah tinggal sedikit kamu bilang aja, sebisa mungkin kita restock seminggu sekali, biar buah yang kamu makan juga tetap segar." Lagi-lagi Dilara hanya bisa dibuat terpukau dengan cara Izzaz memperlakukannya. Ia sendiri saja sudah lupa untuk mengambil buah-buahan untuk dirinya. Tapi, lihat suaminya itu, dia bahkan memperhatikan sampai ke detail-detailnya. "Mas, terima kasih," bisik Dilara. "Sudah kewajiban, Mas." Keduanya pun bersama-sama mendorong troli dan mengantre untuk membayar. Tampaknya supermarket yang mereka kunjungi malam ini tengah ramai pengunjung. "Loh, Izzaz?" Suara sapaan itu membuah Izzaz maupun Dilara menolehkan kepala mereka. Terlihat seorang pria seusia Izzaz mendekati mereka, di sampingnya juga ada perempuan yang tengah menggendong anak laki-laki. "Fahmi? Tumben kamu belanja di dekat sini," ucap Izzaz seraya bersalaman dengan pria yang Dilara tebak adalah teman suaminya. "Iya, tadi lagi ke rumah mertua yang kebetulan tinggal dekat sini, sekalian aja singgah belanja bulanan," jelas Fahmi, matanya kemudian tertuju pada Dilara. "Dilara, ya?" tebak Fahmi yang dibalas anggukan oleh Dilara. Keduanya saling berkenalan dengan menyatukan tangan di depan d**a. "Maaf karena pas kalian nikah kami gak bisa datang, soalnya lagi pergi liburan." Fahmi tersenyum menatap istrinya yang sejak tadi hanya menyimak. "Oh iya, kenalkan ini istriku, namanya Aisyah." Dilara dan Aisyah saling bersalaman, hanya sebentar karena Aisyah tampak kesusahan menggendong anaknya dengan satu tangan. Mereka juga saling berkenalan dan melempar senyuman manis. "Liburan mulu perasaan, udah punya buntut juga," goda Izzaz. "Menjaga keromantisan dalam rumah tangga itu harus, salah satu caranya dengan quality time berdua," jawab Fahmi seraya menepuk pundak Izzaz. "Kalian juga harus nikmati waktu sebanyak-banyaknya sebelum punya buntut. Kalau udah punya anak nanti bakal susah buat cari waktu berduaan doang." Ia menatap serius pada Izzaz. "Bawalah istrimu itu pergi honeymoon, Zaz. Buat apa kamu kerja keras selama ini kalau cuma disimpan di bank, lagipula kalian ini pengantin baru kok mau-maunya di kota mulu." "Masih rencana dan cari waktu dulu nih," jawab Izzaz seadanya. Fahmi mengangguk-angguk. "Yaudah, kita berdua mau lanjut belanja dulu, ya. Lain kali kita bisa ketemuan yang lebih santai lagi, biar istrimu dan istriku bisa jadi dekat dan temenan," ucap Fahmi berpamitan, tak lupa juga pada Dilara. Sepeninggalan Fahmi, keduanya pun lanjut mengantre yang kebetulan sudah giliran mereka untuk membayar. * "Mas, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu," ucap Dilara memecahkan keheningan saat keduanya kini berbaring di ranjang. Lebih tepatnya Izzaz yang duduk menyandar di kepala ranjang, sementara Dilara berbaring dan menggunakan paha Izzaz sebagai bantalan kepalanya. "Kepikiran apa, Sayang?" tanya Izzaz seraya menyisir rambut istrinya, salah satu bagian yang ia sukai dari Dilara. Dilara memperbaiki posisinya agar bisa menatap mata Izzaz. "Gimana kalau Mas terima aja tawaran itu," ucap Dilara yang membuat Izzaz bingung. "Terus Mas harus tinggalin kamu sendirian di sini gitu? Kan kita sudah bahas ini tadi pagi, Sayang. Mas gak bisa tinggalin kamu di sini sendirian, walaupun ada Mama dan Papa atau Umi dan Abi yang jaga kamu," tolak Izzaz bersikeras. Dilara mencebikkan bibirnya. "Denger dulu, Mas. Makanya jangan dipotong kalau aku ngomong ih!" Kalimat bernada manja itu berhasil membuat Izzaz gemas, alhasil ia mencubit hidung Dilara pelan saking gemasnya. "Iya, terus gimana? Mas dengerin dan gak motong deh." "Nanti aku ikut sama kamu, lagian aku juga pengen kok jadi relawan kayak gitu. Aku bisa dapat banyak pengalaman, teman baru dan yang pasti apa yang aku lakukan bisa bernilai ibadah di mata Allah," usul Dilara. Izzaz terdiam. "Mas, gimana? Boleh, ya?" bujuk Dilara. "Kamu yakin, Sayang? Menjadi relawan bukan pekerjaan yang mudah, bukan juga pekerjaan yang memiliki balas upah tinggi. Kamu juga harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang mungkin gak sama dengan lingkungan di sini, kamu juga bakal jauh sama Papa dan Mama nanti." Ada keraguan yang tersirat di dalam ucapan Izzaz, maupun ia tak sepenuhnya menolak usulan istrinya kali ini. Dilara mengangguk dengan wajah percaya diri. "Aku yakin bisa kok, Mas! Lagipula saat kuliah dulu juga aku pernah KKN di desa orang, sedikit banyaknya aku tau dan gak bakal kaget kalau nanti ikut kamu. Lagian ini juga pilihan yang paling tepat menurut aku," ucap Dilara. "Kamu gak harus menolak dan kita gak harus berpisah. Malah kita kayak lagi honeymoon." "Mas sih setuju-setuju aja dengan usulan kamu, gak terlalu buruk juga." Ucapan Izzaz berhasil menerbitkan senyuman di wajah Dilara. "Tapi, nanti kita tanya pendapat orang tua kita dulu, ya? Mas rasa perlu membicarakan ini juga sama mereka." Dilara lagi-lagi mengangguk. "Terima kasih, Mas." "Kamu ini daritadi terima kasih mulu," ucap Izzaz. "Sudah kewajiban Mas untuk mencari jalan keluar terbaik untuk kita dan rumah tangga kita ke depannya, Sayang." Dilara mengubah posisinya menjadi duduk, ia memeluk Izzaz dengan erat yang langsung dibalas tak kalah eratnya oleh Izzaz. Wangi lembut yang menenangkan dari rambut Dilara membuat Izzaz mabuk kepayang menciumnya. "Udah berani ya, gak malu-malu lagi kayak awal-awal nikah, hm?" goda Izzaz yang berhasil membuat Dilara tersenyum malu-malu. Ia melonggarkan pelukan mereka dan mengangkat Dilara ke atas pangkuannya, tangannya menangkup wajah Dilara. Jarinya menjelajahi setiap jengkal wajah Dilara, kedua mata mereka saling mengunci. "Mas boleh minta hari ini?" tanya Izzaz dengan tatapan yang sangat menghormati. Tatapan itu berhasil membuat Dilara terpesona, ia mengangguk tanpa adanya paksaan di matanya. Walaupun ini bukan pertama kalinya bagi mereka, tetapi perasaan malu-malu itu masih ada dalam diri Dilara. Izzaz membelai rambut dan wajah istrinya, kemudian mengubah posisi Dilara menjadi berbaring di ranjang dengan sangat lembut. Ia memperlakukan Dilara dengan hati-hati, tanpa berlaku kasar dan tanpa membuat Dilara berpikir bahwa ia sedang dipaksa saat ini. Malam itu, kedua pengantin baru itu saling tenggelam dalam perasaan cinta yang menggebu-gebu dengan hubungan yang halal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD