Kebingungan

1047 Words
"Jadi maksudnya, Mas harus pergi dalam waktu dekat ini? Terus kita harus LDM?" Sama sekali tak ada emosi yang tersirat dalam pertanyaan Dilara, ia murni bertanya dengan tutur katanya yang lembut dan sopan. "Mas masih pikirkan ulang," ucap Izzaz. "Sebenarnya setelah memutuskan menikah, Mas juga sudah berpikir untuk berhenti jadi relawan dan akan melamar kerja di salah satu rumah sakit swasta di sini. Mas sendiri juga gak nyangka kalau surat ini akan datang, padahal Mas kira tidak diterima." Dilara terdiam sejenak, ia seperti sedang berpikir keras hingga keningnya mengerut. Hal itu pula tak lepas dari pandangan Izzaz yang seperti sedang menebak-nebak isi kepala istrinya. "Mas," panggil Dilara. "Pergilah." Izzaz menatap terkejut pada ucapan Dilara, ia mengernyitkan keningnya bingung. "Maksud kamu?" "Pergilah, Mas. Aku ikhlas kalau memang kita harus LDM dulu selama beberapa bulan," ucap Dilara memperjelas. "Sejak awal niat kamu baik karena ingin membantu, jangan sampai niat baik itu hanya menjadi niat saja. Aku juga akan merasa berdosa kalau menjadi penghalang kamu berbuat kebaikan." "Tapi, Ra. Tugas Mas kali ini bukan hanya beberapa bulan, tapi selama satu tahun." Diam. Dilara benar-benar diam kali ini. Satu tahun? Apa ia bisa bertahan ditinggal Izzaz selama satu tahun? Apalagi mereka terhitung masih pengantin baru. "Mas tahu niat kamu baik, Ra. Mas juga berterima kasih karena kamu sudah mau dukung Mas, tapi semua ini harus kita pikirkan baik-baik lagi. Walaupun kamu mengizinkan, Mas yang akan merasa tidak enak dengan orang tua kamu. Kita baru menikah beberapa hari, apa kata mereka kalau Mas langsung tinggalkan kamu?" Izzaz mengambil tangan Dilara. "Sekarang kamu tanggung jawab, Mas. Akan lebih berdosa kalau Mas lalai akan tanggung jawab Mas ini. Mengerti Sayang?" Semburat kemerahan sontak saja menjalari di kedua pipi Dilara, ia bisa merasakan wajah dan telinganya memanas karena panggilan mesra dari Izzaz. Ini pertama kalinya Izzaz menggunakan panggilan mesra seperti itu, padahal biasanya ia hanya akan menyebut namanya. Izzaz sendiri yang melihat istrinya malu-malu menjadi gemas sendiri, ia mengacak-acak hijab yang menutupi kepala Dilara dengan pelan. "Lalu solusinya bagaimana, Mas?" tanya Dilara. "Biar Mas pikirkan dulu, nanti setelah itu Mas akan beritahu kamu dan tanya pendapat kamu bagaimana." * "Sayang, bangun. Kita salat magrib dulu yuk." Izzaz berbisik lembut di telinga istrinya seraya menepuk-nepuk pelan lengan Dilara agar segera bangun. Adzan magrib baru saja berkumandang, membuat Izzaz mau tak mau harus menganggu tidur istrinya. "Yuk bangun, Sayang. Nanti tidurnya dilanjut lagi habis ini," bisik Izzaz lagi. Dilara yang merasa tidurnya terganggu pun lantas terbangun, ia mengubah posisinya menjadi duduk seraya mengumpulkan kembali kesadarannya. "Shalat magrib dulu, yuk," ajak Izzaz lagi. Dilara mengangguk, tetapi masih belum juga beranjak dari ranjang. Bukannya marah, Izzaz malah mengangkat tubuh istrinya dari ranjang, membuat Dilara melotot kaget. "Mas!" pekik Dilara tertahan, ia berusaha agar tak meninggikan suaranya pada sang suami. "Turunin ih." "Gapapa, sekali-kali. Lagian kamu nih gak ada berat-beratnya. Segini doang mah Mas juga kuat," ucap Izzaz seraya membawa Dilara masuk ke tempat berwudhu yang berada di dekat dapur. Barulah ia menurunkan istrinya di sana. Dilara sendiri yang digendong tiba-tiba oleh suaminya kini menjadi sadar sepenuhnya. Tak ada lagi rona-rona mengantuk di wajahnya. "Kamu wudhu duluan gih, habis itu baru Mas," pinta Izzaz yang diangguki oleh istrinya. Dilara membuka hijab yang sejak tadi membungkus kepalanya, tampak rambut hitam lebat yang diikat menjadi satu. Ia kemudian mulai berwudhu dengan serius, tak lupa membaca niat wudhu ketika membasuh wajahnya. Setelah selesai Dilara keluar lebih dulu dari ruang wudhu, meninggalkan Izzaz yang kemudian gantian berwudhu. Ia menyiapkan sajadah di ruangan khusus yang diperuntukan untuk salat, seperti musholla mini. Di ruangan itu sudah lengkap dengan lemari kaca kecil berisikan mukenah, sarung, sajadah dan Al-Qur'an, juga muat menampung hingga lima orang. Setelah memasang mukenanya dengan benar dan rapi, datanglah Izzaz dengan rambut yang basah. Ia mengambil tempat sebagai imam dan mulai mengumandangkan adzan. Suaranya yang merdu ketika mengumandangkan adzan berhasil menenduhkan hati Dilara yang mendengarnya. Ia bahkan sampai menangis terharu, padahal ini bukan pertama kalinya ia mendengar Izzaz mengumandangkan adzan. Ketika Izzaz melanjutkan beriqomah, barulah Dilara ikut berdiri dan bersiap-siap untuk melaksanakan shalat magrib bersama suaminya. Shalat sebanyak tiga rakaat itu dilaksanakan dengan khusyuk oleh pasangan pengantin baru itu. Setelah shalat pun keduanya tak lupa berdoa, memohon ampun kepada Allah dan juga berdoa agar pernikahan mereka selalu diridhoi oleh Sang Pencipta. Dilara mengangkat kedua tangannya, dengan mata terpejam hatinya berdoa seakan ia tengah berkomunikasi dengan penciptanya. "Ya Allah, hamba mohon petunjukmu atas apa yang menjadi kebingungan kami hari ini. Jika memang Mas Izzaz harus pergi dan melaksanakan panggilan kemanusiaan itu, hamba ikhlas. Berilah petunjukmu agar kami tetap berjalan di jalan yang terbaik dan jalan yang engkau ridhoi." Setelah menutup doanya dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, Dilara pun mengambil tangan Izzaz untuk kemudian ia salimi. Dilanjutkan dengan Izzaz yang menciumi kening istrinya, sungguh pasangan suami-istri yang romantis. "Siap-siap yuk," pinta Izzaz. "Siap-siap? Buat apa, Mas?" "Kita ke supermarket, ya? Beli isi kulkas, kemarin sebelum ditinggalin Mas cuma beli seadanya doang, pasti sekarang udah habis," ucap Izzaz. "Sekalian beli peralatan rumah tangga yang kurang juga." Dilara mengangguk, ia melipat mukenanya dengan rapi, kemudian menyimpannya kembali di lemari kaca. Setelah itu, barulah ia kembali ke kamar untuk berganti pakaian sesuai perintah Izzaz. Malam ini pilihannya jatuh pada gamis berwarna putih dengan aksen bunga-bunga. Setelah memakai pakaiannya, Dilara duduk di depan cermin, hendak mengikat rambut dan memakai hijab. Namun saat tangannya hendak terangkat, Izzaz sudah lebih dulu menyisir rambutnya dengan lembut. "Rambut kamu harum, jangan diganti shamponya ya?" ucap Izzaz. "Kalau sama Mas berdua doang kamu gak pakai hijab juga gak apa-apa, Sayang. Mas suka liat rambut kamu, cantik." Dilara lagi-lagi tersenyum malu-malu dipuji seperti itu. "Ke depannya aku usahakan, Mas. Soalnya kebiasaan pas di rumah Mama dan Papa selalu pakai hijab walaupun dalam rumah," ucap Dilara. Setelah Izzaz selesai menyisir dan mengikat rambut istrinya, barulah Dilara memasang hijab berwarna peach yang dibuat memanjang menutup dadanya. "Mas," panggil Dilara. "Maaf kalau aku belum bisa menutup aurat dengan sempurna." Izzaz yang paham akan maksud istrinya pun mengangguk sembari tersenyum manis. "Mas gak menuntut kamu untuk sempurna, Sayang. Karena agama Mas sendiri pun juga Mas akui masih kurang. Kita belajar sama-sama, ya?" Dilara mengangguk, ia bangkit dari duduknya dan memeluk Izzaz erat. Ia sangat bersyukur di dalam hati karena diberikan jodoh seperti Izzaz, yang mampu memahami dan membimbingnya, bukan malah menuntut kesempurnaan tanpa mau bercermin terlebih dahulu. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD