Dari kejauhan, Shira melihat keluarganya sedang berhimpun di depan rumah. Ternyata yang tadi dikatakan Ayahnya benar. Paman dan Bibinya terlihat sudah bersiap kembali ke rumah mereka di pusat kota Eden. Shira pun berlari kecil sambil menjaga agar kucing di tangannya tidak terlepas. Harry mengikuti di belakang gadis itu.
"Paman! Bibi!" seru Shira. Napasnya terengah-engah begitu berhenti di hadapan Paman dan Bibinya. "Matahari belum naik, kenapa buru-buru pulang?"
"Iya, Shira," jawab Marliah. "Paman dan Bibi harus segera mengantarkan pesananan dua karung kacang tanah ini pada pembeli. Kau dari mana?"
"Sudah sebulan ini anak itu selalu bermain di sungai, Bi." Ellyora menyahut.
Shira menekuk wajah. Seharusnya tadi ia menemani Paman dan Bibinya saja, bukan malah bermain di sungai. Kalau begini, ia jadi harus menunggu sebulan lagi untuk bertemu mereka. Ah, andai saja rumah Paman dan Bibinya bukan di pusat kota Eden.
Ellyora memperhatikan hewan berbulu hitam yang dibawa Shira. "Apa itu yang sedang kau bawa?"
"Ini kucing. Dia sedang terluka. Kau mau pegang?"
Ellyora cepat-cepat menggeleng.
"Bibi? Benar hewan ini yang dinamakan kucing 'kan?" tanya Shira.
Marliah memperhatikan kucing di gendongan Shira. Bercerita tentang hewan-hewan dan bunga adalah apa yang sering ia lakukan pada Shira. Marliah merasa kasihan, karena sejak lahir Shira belum pernah meninggalkan pedalaman hutan Camden sehingga pemahaman gadis itu tentang dunia luar menjadi sangat terbatas.
"Ya. Kau benar, ini kucing," terang Marliah.
"Tapi bukankah sedikit aneh?" Gery berkomentar. "Warnanya memang hitam seperti kucing hutan yang biasa kita lihat. Tapi sepertinya kaki kucing ini nampak agak berbeda."
"Benar, kakinya sangat pendek." Elena menambahi. "Aku belum pernah melihat kucing seperti ini. Apakah bisa terjadi karena kelainan dari lahir?"
"Ya, mungkin saja." Marliah mengusap puncak kepala kucing di gendongan Shira. "Kasihan sekali kucing ini. Tidak heran jika Shira juga kasihan padanya."
Pandangan semua orang kemudian tertuju pada kucing dalam dekapan Shira. Sebagai Albara yang perasaannya mudah tersentuh, tentu saja mereka merasa iba.
Namun di sisi lain, Dexter menerjemahkan pandangan iba itu dengan pandangan lain. Seolah ia akan menjadi tawanan atau semacamnya. Jantung Dexter terasa meloncat-loncat hendak melarikan diri dari tempatnya, begitu pula tubuhnya. Dexter pun meronta, tapi sia-sia saja. Tubuhnya seakan kehilangan daya karena dekapan Shira yang semakin erat.
***
"Sayang, aku akan ikut adikku ke kota. Persediaan minyak kelapa kita hampir habis. Oh ya, aku juga akan membeli beberapa lilin. Jadi kita tidak perlu khawatir kehabisan minyak ketika penerangan kita tumpah." Di dalam kamar, Harry berpamitan kepada Elena. Harry memang biasa pergi ke pusat kota sebulan sekali untuk menjual beberapa hasil panen, atau membeli keperluan lain yang tidak bisa dihasilkan dari kebun dan ternak.
"Bagaimana, ya.... Sebenarnya aku ragu," kata Elena lirih meskipun di dalam ruang itu hanya ada mereka berdua. "Tadi Marliah bercerita. Seminggu lalu dia melihat anak buah Yurza berkeliaran di pasar Eden. Memang sudah tertangkap, tapi aku tetap takut akan ada penyusup lagi."
"Ini bukan sifatmu, Elena. Istriku yang kukenal adalah yang selalu bersikap tenang. Kau tidak perlu khawatir. Sebagai Albara, kita diberi kemampuan khusus melihat tanda lingkaran matahari emas di leher para pesuruh Yurza. Dan meski sudah tidak muda lagi, tapi mataku masih awas untuk melihat tanda itu."
Elena mengangguk pelan. "Baiklah. Selalu bawa pedang di pinggangmu."
"Tentu. Semua akan baik-baik saja. Aku akan pulang sebelum petang," kata Harry.
***
Ellyora duduk di teras kayu rumahnya sambil memakai sepatu kulitnya yang sudah lusuh. Di samping kanan gadis itu, terdapat satu keranjang rotan sebesar dekapan serta pedang katana.
Di siang hari seperti ini, biasanya ia pergi ke kebun bersama Elena. Melihat Ibunya masih tertidur pulas usai tadi pagi memanen dua karung kacang tanah, Ellyora tak tega membangunkannya, sehingga mau tidak mau, kali ini ia harus ke kebun sendirian.
Ellyora mengambil mantel coklat yang terlipat di sebelah kirinya, lalu memakainya dengan perasaan ragu. Sejak semalam, ia terpikirkan sesuatu. Bagaimana kalau penyihir itu masih ada di sekitar rumahnya?
"Tidak! Itu pasti tidak mungkin." Ellyora berusaha melenyapkan semua terkaan buruknya.
"Kau kenapa?" tanya Shira sehingga Ellyora seketika menoleh. Shira sedang duduk di halaman rumah, dan kini menatap bingung pada ekspresi aneh kakaknya.
Ellyora tidak mungkin bercerita pada Shira, jadi dia memilih balik bertanya saja. "Memangnya kenapa? Apa aku terlihat aneh?"
Shira mengedikkan bahu, kemudian kembali bermain dengan kucing barunya, Dexter. Tubuh Dexter masih basah kuyup setelah Shira memandikannya secara paksa. Jemari tangan kanan Shira tak mau lepas menjapit tengkuk Dexter. Sementara tangan kirinya, memegang sebuah sendok.
"Ayo Tummy, kau harus makan," bujuk Shira dengan sangat lembut.
Shira memberi nama Tummy, karena menurutnya kucing itu memiliki perut yang besar. Dexter yang kelaparan justru meronta-ronta. Gadis kecil itu berusaha menjejalkan sesendok adonan tanah bercampur daun-daun yang entah apa namanya ke mulut Dexter.
Ellyora menatap tragis wajah kucing yang tengah dicekoki oleh adiknya. "Shira, berhenti melakukan itu. Dia bisa mati. Bukankah kita masih punya ikan? Berikan saja padanya."
Kuping Dexter tegak dan pupil matanya yang biru membesar. Ikan? Benar. Itu yang ia butuhkan.
"Ell, kau pegang dulu si Tummy. Aku akan mengambil ikannya," pinta Shira.
"Tidak bisa. Aku tidak mau memegang kucing itu. Lagi pula, aku harus ke kebun sekarang. Lepaskan saja. Kucing itu tidak akan kabur."
Shira mencoba melepaskan tengkuk Dexter. Dalam kondisi kelaparan, benar saja Dexter lebih memilih menunggu diberi ikan daripada kabur.
Ellyora terkekeh. "Nah, benar bukan? Ya sudah, aku pergi ke kebun dulu. Pelankan suaramu agar Ibu tidak terbangun," pesan Ellyora lalu mengambil keranjang rotan dan pedangnya sebelum berlalu.
***
Ellyora berjalan dengan santai sambil menikmati angin pegunungan yang berembus. Matahari sedang naik. Beruntung ia berjalan di antara pohon-pohon pinus yang tinggi, sehingga cahayanya tidak sampai menyengat kulit.
Kurang lebih sepuluh menit berjalan kaki, kebun seluas satu setengah hektar yang dikelola keluarganya mulai terlihat. Ellyora menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan aroma kebun.
Ia selalu suka melakukan hal itu. Menurutnya, kebun yang ditumbuhi tanaman subur memiliki aroma manis yang menenangkan, seperti kebunnya ini. Dari sekian banyak sayuran dan buah-buahan, siang ini Ellyora akan memanen sepuluh jagung, serta beberapa lobak dan tomat.
Ellyora meletakkan keranjang rotan sebelum mulai memilih jagung yang sudah ranum. Angin pegunungan berembus dari arah belakangnya. Rambutnya yang warna coklat mengalir melewati bahunya hingga ujungnya tampak menari-nari di sekitar pinggang gadis itu karena tertiup angin. Bersenandung lirih, Ellyora mulai menikmati aktivitasnya. Sampai semakin lama ia merasa ada kejanggalan. Entah itu hanya perasaannya atau bukan, tapi seakan-akan ada seseorang yang sedang mengawasinya. Ellyora pun mempercepat gerakan.
Sepuluh jagung sudah masuk keranjang, lalu ia berjalan ke kebun tomat. Sesekali, ia mencoba sedikit menoleh tanpa menghentikan langkah, memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya.
***
Edbert merasa beruntung bisa membuntuti calon pengantinnya sampai di kebun tomat yang sepi. Ini kesempatan bagus, pikirnya. Ia berjalan mengendap-endap, bersembunyi dari semak ke semak yang lain. Ternyata Alcott benar. Tanpa harus buang-buang energi untuk merubah diri dengan sihir transformasi, pakaian hijau berumbai daun ini sudah cukup membantunya berkamuflase.
Namun ....
KREK!
Tiba-tiba Edbert menginjak batang pohon pinus kering, dan suara yang ditimbulkan lumayan keras.
Bunyi itu akhirnya membuat Ellyora menoleh ke sumber suara. Tanpa berpikir lagi, gadis itu langsung menjatuhkan keranjangnya dan berjalan mundur. Dadanya mendadak sesak ketika melihat sepasang iris mata biru yang kini sedang mengintainya dari balik semak-semak.
"Siapa kau!" seru Ellyora lantang.
Dengan gerakan cepat, Ellyora menarik pedang dari sarung dan mengacungkannya. Bisa saja pemilik mata biru itu adalah penyihir yang tadi malam mengintainya. Tapi entahlah, sebenarnya Ellyora juga tidak yakin.
Alih-alih menjawab, di balik semak-semak Edbert malah sedang tercengang. Entah bagaimana dunianya seolah berhenti berputar. Nalurinya sebagai lelaki tidak bisa bohong bahwa gadis yang kini sedang mengacungkan pedang padanya itu lumayan cantik. Tidak hanya lumayan, tapi memang benar-benar cantik. Edbert mengucek mata demi memastikan penglihatannya. Tapi semakin ia memandang, debaran di dadanya menjadi lebih cepat seakan menggila.
Sial! Perasaan ini?
Edbert mengutuk perasaannya sendiri.
"Keluar kau, penyihir!" seru Ellyora lagi.
Nada suara Ellyora terdengar sangat berani, meski sebenarnya ia takut. Berjumpa dengan orang asing bukanlah kebiasaan untuknya. Seruan itu membuyarkan lamunan Edbert sehingga lelaki berbaju hijau itu pun keluar dari semak-semak.
Ellyora semakin waspada melihat pakaian sosok di hadapannya. Seumur hidup, ia belum pernah melihat setelan kain hijau polos yang bahan kainnya mengkilat serta terlihat sangat halus seperti itu. Dan kenapa lengan lelaki itu ditumbuhi banyak daun? Aneh sekali, pikir Ellyora.
Menangkap ekspresi gadis di depannya, Edbert tersenyum dingin. Ia melipat tangannya ke d**a dan mengangkat dagu. "Penyihir? Kau salah. Aku hanya lelaki tampan yang sedang tersesat, Nona."
Grrr! Ellyora ilfeel seketika. Sosok di depannya sungguh narsis. Memuji diri sendiri adalah perbuatan memalukan bagi suku Albara. "Tidak mungkin! Katakan dari mana asalmu."
Edbert terdiam, mencari letak tempat yang dekat dengan hutan Camden, lalu terkekeh setelah menemukannya. "Aku tinggal di pusat kota Eden. Ini pertama kalinya aku masuk hutan ini dan tersesat. Bisakah kau membantuku menemukan jalan keluar?"
"Cih, raut wajahmu saja sudah menjelaskan bahwa kau menyimpan tujuan jahat! Menjauhlah, atau akan kutebas kau dengan pedangku ini!" Ellyora mencoba melindungi diri.
Edbert memasang seringai licik. "Coba saja, Nona. Aku memiliki sesuatu yang lebih mematikan dari tebasan pedangmu."
Jantung Ellyora berpacu kencang. Apa sesuatu yang lelaki itu maksud adalah sihir? Rasanya Ellyora saat ini sudah ingin menangis, tapi ia tahan agar tidak terlihat lemah di hadapan lelaki itu.
"Kenapa diam, Nona? Katamu kau akan menebasku dengan pedang itu?"
Ellyora tersentak. Lelaki di hadapannya ini benar-benar sedang menantangnya dengan sangat percaya diri. Jika lelaki itu mempunyai kekuatan sihir, sabetan pedangnya akan kalah cepat dan tak ada artinya. Ditambah lagi, postur lelaki itu yang tinggi dan berotot terlihat tidak sebanding dengan kekuatan fisik gadis sepertinya.
Ellyora memejamkan mata. Sebisa mungkin ia mengumpulkan keberanian. Lalu dengan cepat, ia mengayunkan pedangnya ke arah Edbert.
KYAAAA!
Serangan Ellyora yang ragu-ragu, membuat Edbert berhasil menghindar dengan mudah.
"Ternyata permainan pedangmu hanya sebatas ini? Sekarang giliran kau yang menjajal senjataku, Nona!" seru Edbert lalu mulutnya merapalkan mantra. Ia akan menarik tubuh gadis itu mendekat lalu membawanya dengan teleportasi. Kedua tangannya terlihat membuat suatu gerakan.
"A-apa yang akan kau lakukan? Tidak!" teriak Ellyora. Hingga tanpa sadar matanya terpejam. Terbayang sudah bagaimana senyum menenangkan Ibunya, wajah khawatir Ayahnya, dan rengekan polos Shira karena minta ditemani bermain gerabah tetapi seringkali ia tolak. Membayangkan hal buruk yang mungkin akan menimpa membuat kepalanya pening dan keringat dingin terasa mulai mengalir deras di punggungnya.
Usai sudah, sebentar lagi darahnya akan menjadi santapan penyihir. Apakah memang seperti ini akhir hidupnya?
Kedua tangan Edbert menyatu dan melemparkan sebuah kekuatan sihir yang sudah ia fokuskan pada Ellyora. "HYAAAA!"
"Ayah, Ibu, Shira maafkan segala kesalahanku!" pekik Ellyora.
Namun ....
Hening. Tak ada sesuatu yang terjadi. Ellyora perlahan membuka mata dan melihat dirinya masih baik-baik saja.
Edbert terperangah. Apa yang terjadi? Ia mencoba mengulang gerakan sihirnya, tapi justru malah membuat ia terlihat konyol di depan gadis itu. Sihirnya tidak berfungsi.
Mimik wajah Edbert yang panik membuat Ellyora berani mengacungkan pedangnya lagi. "Hah, mana senjata yang kau bilang mematikan?"
Rasa percaya diri Edbert yang sebelumnya menggunung, longsor seketika. Harga dirinya seperti tersuir-suir mendengar seorang gadis meremehkan kemampuannya. Apa yang harus Edbert lakukan sekarang? Gugup, panik, dan malu menghancurkan kepercayaan dirinya.
Sial! Tanpa pikir panjang lagi, Edbert berbalik dan bergegas lari secepat mungkin.
"Tunggu! Bukankah kau ingin merasakan tebasan pedangku?" kejar Ellyora.
Edbert berlari tak tentu arah. Menginjak-injak buah tomat yang hendak Ellyora panen.
"Dasar perusak tomat! Kembali kau, jangan kabur! Kau telah merugikan kebunku!" teriak Ellyora sambil terus mengejar Edbert, tapi akhirnya ia kalah cepat.
Edbert berhenti di tepian air terjun hutan Camden dengan napas tersengal-sengal. Ia menoleh ke belakang, dan gadis itu sudah tidak terlihat mengejarnya.
"Apa yang terjadi? Mengapa kekuatan sihirku tiba-tiba tidak berfungsi?" gumam Edbert dengan napas putus-putus.
Ia penasaran. Lalu mencoba kekuatan sihirnya sekali lagi dengan berteleportasi ke suatu tempat. Dan berhasil. Jadi, kenapa tadi sihirnya tidak berfungsi pada gadis itu?
***