Ellyora bergegas masuk dan menutup pintu begitu sampai di rumahnya. Ia bersandar di balik pintu seraya mengkondisikan tarikan napasnya yang belum teratur usai dari kebun.
Situasi di rumahnya yang sangat sepi membuat ia bertanya-tanya. Apa Shira dan Ibunya baik-baik saja?
"Shira!" panggil Ellyora. Adiknya tidak menyahut. "Ibu?" panggilnya lagi, tetapi sama saja tidak ada jawaban.
Dengan tetap berusaha tenang, Ellyora meletakkan keranjang yang hanya berisi sepuluh jagung itu di dekat pintu, kemudian berjalan mengendap-endap menuju kamar Shira yang juga merupakan kamarnya. Sebilah pedang masih mengacung di tangannya sampai ia berhenti di depan ambang pintu kamar. Ellyora membuka tirai pintu kamar itu perlahan. Akibat bertemu lelaki aneh di kebun tomat tadi, kini pikirannya jadi dipenuhi hal negatif.
"Ya ampun, Shira! Apa yang kau lakukan bersama kucing itu!" seru Ellyora. Kekhawatirannya pecah melihat Shira tidur seraya memeluk kucing di ranjang.
Shira mengucek kedua matanya lalu perlahan bangun. Gadis mungil itu terduduk sambil menatap Ellyora bingung bercampur kesal karena mengganggu tidurnya.
"Shira, segera singkirkan kucing itu dari tempat tidur!" titah Ellyora.
"Memangnya kenapa?!" protes Shira.
"Dia kotor!"
"Tummy sudah kumandikan. Kau tidak lihat, bulunya sekarang bersih dan halus!" Shira membela.
"Tapi tetap saja dia itu ... di—dia ... laki-laki!" Ellyora tiba-tiba saja kikuk.
"Hah?" Shira mengangkat dua alisnya.
Dexter yang menjadi topik percekcokan antara kakak beradik itu duduk mematung di atas ranjang, tak berani bergerak atau bergeser sesenti pun. Salah-salah pedang di tangan calon kakak iparnya melayang padanya.
Sebenarnya saat ini Dexter bisa saja ikut membela. Meski dalam wujud kucing, ia tetap masih bisa berbicara layaknya manusia. Hanya saja, itu perlu sedikit latihan. Lagi pula, melihat pedang tajam yang kini dipegang calon kakak iparnya, Dexter lebih memilih mencari aman dengan membela dalam hati saja, bahwa Shira yang memaksanya tidur di atas ranjang, sama sekali bukan keinginan Dexter.
Kening Shira berkerut, tidak mengerti pemikiran kakaknya yang menurutnya sungguh aneh. "Ell, Tummy itu cuma kucing!"
Lagi-lagi batin Dexter tak terima. Hmmm... kau tidak tahu saja, aku ini sebenarnya pangeran yang tampan!
"Tidak!" sergah Ellyora. "Shira, tetap saja dia kucing laki-laki!"
"Memangnya kenapa kalau kucing laki-laki?" Shira tak mau kalah.
"Sudah ... sudah, kalian sebenarnya sedang mendebatkan apa?" Elena tiba-tiba datang menengahi. Ia terbangun karena mendengar teriakan kedua putrinya. "Tidak baik seorang gadis berbicara kencang seperti itu. Terlebih kita ini Albara, bukankah kalian sudah tahu kalau leluhur kita tidak menyukai perdebatan?"
Ellyora dan Shira menunduk. Mereka sama-sama terdiam, tetapi masih merasa kesal.
"Ell, kau adalah seorang kakak. Seharusnya kau memberi contoh yang baik dengan berbicara lembut. Sekarang, minta maaflah pada adikmu," bujuk Elena.
Ellyora menghela napas, lalu perlahan mendekati Shira. "Maaf, tidak seharusnya aku berbicara dengan nada tinggi padamu," ucap Ellyora seraya mengulurkan tangan kanan.
Shira membalas jabat tangan kakaknya. "Aku juga minta maaf, sudah mendebatmu."
Elena tersenyum bahagia melihat kedua putrinya sama-sama memiliki hati yang besar. Dengan rasa bangga, Elena mendekati mereka dan merangkul keduanya.
Melihat kehangatan itu, mata Dexter berkaca. Ia ingat seseorang: wanita yang telah hilang dari kehidupannya sejak usia tiga tahun, wanita yang kadang ia rindukan kehangatannya, dan wanita yang seharusnya ia panggil Ibu.
***
"Ell, di mana hasil berkebun yang lain? Di sini hanya ada jagung?" tanya Elena.
Ellyora menghampiri keranjang yang tadi ia letakkan begitu saja di ruang tamu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ah, benar. Pasti Elena akan menanyakannya. Seharusnya ia sudah mengantisipasi.
"Maaf, Ibu." Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
"Kau lupa lagi? Ya ampun, Nak. Apa dosa ibumu di masa lalu sehingga kau menjadi gadis yang pelupa. Ya sudah. Paling tidak, sekarang ambilkan telur di kandang. Sambil menunggumu, Ibu akan memandikan Shira dulu."
"Baik, Bu."
Ellyora lega. Ternyata kebiasaannya yang pelupa membuat Ibunya tidak bertanya lebih lanjut. Kandang tidak jauh. Tak masalah ia akan mengambil beberapa telur sekarang.
Sementara itu, di teras rumah keluarga Bright, Dexter sedang meratapi nasib. Ia menatap nanar pada deretan pohon pinus yang sempat menjadi persembunyiannya bersama Edbert semalam. Senja mulai memantulkan cahaya jingga pada daun-daun pinus itu. Terlihat hangat sekaligus melelahkan.
Kehangatan di keluarga Bright membuat Dexter merindukan keluarganya. Ayahnya yang murka karena ia tak becus menghafalkan mantra sihir, Edbert yang kadang usil padanya, juga pelayan-pelayan yang tetap sabar meski ia banyak mengomel.
Dexter ingin pulang, tapi tak mungkin jika tubuhnya masih seekor kucing. Yang ada, ia hanya akan menjadi santapan hewan buas hutan Camden. Lagi pula, Dexter tidak ingat jalan pulang. Ia juga belum lancar mengucap mantra sihir teleportasi. Ah, sekarang ia benar-benar menyesali kemampuan dirinya.
GRASAK GRUSUK!
Terdengar bunyi berisik di kejauhan sana. Dua reseptor Dexter tegak. Bunyi itu mirip langkah kaki seseorang yang semakin mendekat.
Siapa itu?
Terka Dexter berulang-ulang dalam hatinya. Ia berharap langkah kaki itu milik Edbert. Setelah diperhatikan, sayangnya sosok itu bukan kakaknya.
"Eleeeena!" panggil Harry dari kejauhan. Wajah pria beriris mata coklat terang itu nampak sangat cemas. Harry langsung masuk ke dalam rumah melewati Dexter begitu saja. Dexter menggeram kesal.
Jangan heran, Harry memang begitu jika sedang khawatir. Kadang sifatnya yang terburu-buru itu membuat ia banyak melewatkan sesuatu. Misalnya seperti saat ini.
"Iya, Sayang! Syukurlah, kau sudah pulang." Elena menyahut dari arah belakang rumah. Ia belum selesai memandikan Shira di pancuran.
"Kau di belakang?" seru Harry.
"Iya," balas Elena tak kalah berseru, lalu Harry bergegas menghampiri Elena di belakang rumah.
"Elena!" Harry mengontrol napasnya yang putus-putus begitu sampai di pancuran.
"Ada apa? Tenangkan dirimu, Sayang."
"Kita harus secepatnya pergi dari rumah ini!" cetus Harry tiba-tiba.
Elena keheranan. Diambilnya handuk lalu menyelimutkan kain berserat kasar itu pada Shira. "Pergi ke kamar dan pakai bajumu sendiri ya, Nak."
Shira mengangguk dan segera berlari ke kamarnya.
"Maksudmu apa, Sayang?" Elena bingung.
"Dengar ... tadi sebelum pulang, aku mampir ke rumah Charlie."
"Oh, jadi kau mampir ke sana tanpa bilang-bilang. Pantas saja kau hampir terlambat pulang."
"Bu—bukan begitu. Maksudku, apa yang kau katakan benar, tapi bukan itu yang harus kita bicarakan sekarang. Charlie bilang, saat ia sedang memperbaiki saluran air di air terjun ... ia melihat seseorang melakukan teleportasi!"
Elena melongo, lalu beberapa detik kemudian menutup mulutnya yang tertawa. "Teleportasi? Ah, mana mungkin. Jangan bercanda di sore-sore begini."
Harry memutar bola matanya, tak percaya bahwa istrinya manusia yang begitu santai. "Siapa yang bercanda? Aku serius! Mana mungkin aku berbohong hanya untuk lelucon!"
Elena terdiam. Kali ini menatap suaminya dengan serius. "Jika itu benar, lalu sekarang bagaimana?"
"Sementara waktu, rumah ini tidak lah aman. Kita harus segera pergi ke rumah Gery!"
Ellyora menyimak dari jauh pembicaraan kedua orang tuanya. Ia ternganga. Tapi untung saja tidak sampai menjatuhkan telur-telur yang ia bawa di keranjang.
Ada yang menggunakan teleportasi? Penyihir? Dua sosok tadi malam? Lelaki aneh tadi siang? Semua pertanyaan itu menjadi makin ruwet di kepalanya.
"Ell, cepat kemasi barang-barangmu. Ibu tahu kau sudah mendengarnya." Elena berjalan melewati Ellyora lalu menuju Shira yang sudah nongkrong di teras bersama Dexter. "Shira, masuklah, Nak. Ambil barang-barangmu, masukkan ke dalam tas."
Shira menoleh. "Memangnya kita akan pergi ke mana, Bu?"
"Ke rumah Paman Gery dan Bibi Marliah," tutur Elena mencoba tetap terlihat tenang di hadapan Shira.
"Benarkah? Asyik!" Shira memekik kegirangan, tanpa memikirkan hal negatif apa pun. Yang ia tahu, akhirnya ia bisa keluar hutan Camden dan mengunjungi pusat kota Eden. Dengan bersemangat, Shira membopong Dexter menuju kamar.
Di pojok kamar, Ellyora sedang membuka lemari kayu kecil yang merupakan miliknya. Ia hanya memiliki sedikit baju dan barang, sehingga berkemas bukanlah hal merepotkan. Setelah memasukkan semua baju itu ke dalam tas rotan, ia mengambil sebuah kotak kecil dari rak paling bawah.
Kotak berbahan besi yang bagian atasnya berukirkan daun-daun itu merupakan pemberian mendiang neneknya. Entah apa isinya, Ellyora tidak tahu. Sang nenek tidak pernah memberi tahu cara membukanya. Yang jelas, kotak itu lumayan berat. Akan sedikit menyusahkan ketika dibawa, jadi Ellyora meletakkannya kembali di rak lemari paling bawah dan meninggalkannya.
Kala langit berpendar dengan cahayanya yang jingga, keluarga Bright memulai perjalanan menuju rumah Gery di pusat kota Eden. Bisa dikatakan, perjalanan itu adalah usaha untuk lari dari penyihir. Namun, tak ada yang sadar bahwa Shira justru menyembunyikan penyihir di dalam tasnya. Si kucing gadungan, Dexter Kinsey.
***