Sakit Perut dan Perhatian

1301 Words
Baru saja kami masuk ke dalam Café, kami sudah di sambut dengan suasana Café yang begitu memancarkan jiwa mudanya. Membuat kami yang sudah tak lagi muda, cukup malu untuk masuk kedalam tempat ini. Jujur saja, begitu indah. Sepintas membuatku terperangah dengan keindahannya. Kalau anak muda, mereka menyebutnya instagramable. Sebenarnya, kamu juga belum terlalu tua, tapi rasanya begitu berbeda. Di ujung sana, ada seorang lelaki yang melambaikan tangannya ke arah kami. Bisa aku tebak bahwa itu adalah Rey Moccasizo, klien besar kami yang terkenal akan kesuksesannya. Sedikit informasi, dia sudah mendirikan banyak cabang dan juga sukses di usianya yang muda. Sebut saja muda, ia mengalahkan banyak pebisnis yang usianya masih jauh diatasnya. Tidak hanya itu saja, dia juga baru saja melangsungkan pernikahannya dengan seorang perempuan yang juga berasal dari keluarga pebisnis. Usut punya usut, aku mendengar bahwa mereka menikah setelah si perempuan mengalami trauma yang berat dan itu berasal dari keluarganya sendiri. Memang cukup miris, tapi pada akhirnya, mereka dapat melaluinya dengan baik. Jujur saja, kisah mereka banyak menginspirasi anak muda zaman sekarang karena meskipun bagaimanapun keadaan pasangannya, mereka tetap setia sampai ke tahap pernikahan. “Halo. Perkenalkan saya Diko Pratyaksa dan ini sekretaris saya, Nabila Karista” Aku hanya mengangguk. Tidak berjabatan tangan dengannya. Meski mereka terlihat berkenalan formal selayaknya orang yang baru kenal, tapi aku bisa merasakan aura pertemanan mereka. Hmm… jangan coba-coba untuk mengelabuiku ya. “Halo. Perkenalkan saya Rey Moccasizo. Silahkan duduk, saya sudah memesankan makanan untuk kalian berdua” Sudahlah. Tidak perlu di perpanjang. Entah mereka benar-benar sudah saling kenal dan berteman baik, atau baru berkenalan, tidak ada urusannya denganku. Tipikal seperti Diko sudah pasti memiliki banyak kenalan meski orang yang di depanku ini adalah orang yang beristri. Tidak menjamin sebuah kesetiaan. Perlu di catat!. “Sudah lama ya?” ucap Diko basa basi. “Tidak juga sih, “ Diko mengangguk. Aku hanya diam saja karena jujur saja perutku kembali merasa keram. Aku tahu ini fase lendir itu keluar bersama zat merah, tapi apakah tidak boleh di tunda?. Apakah fase bulanan ini tidak bisa di ajak berkompromi bahkan barang sedetik pun?. Terlalu banyak mendengar mereka basa basi membuatku sedikit kesal. Ditambah dengan rasa sakit yang tak kunjung berujung. Entah aku mendapat kepercayaan diri dari mana sampai membuatku berani memukul meja dan membuat mereka terkejut. Dari ekspresinya, aku bisa mengatakan bahwa mereka sangat terkejut. Brak… “Maaf. Aku tidak sengaja” What?. Tidak sengaja?. Hey, Nabila!. Itu adalah jawaban terbodoh yang pernah ada . Tiba-tiba aku berkeringat saking sakitnya. Aku sudah tidak tahan. “Kalian mengobrol lah. Aku ke mobil duluan” Tanpa mendengar jawaban Diko dan Rey, aku berlalu dari mereka dan keluar dari Café. Sakitnya tak tertahan dan ini adalah kali pertamanya bisa sesakit ini. Astaga, aku lupa kalau mobil Diko sudah pasti akan di kunci. Lalu bagaimana caraku untuk masuk ke dalam. Aku meraba saku, dan kembali aku mengatakan betapa bodohnya aku. Tas dan semua barangku masih tertinggal di dalam, disamping tempat duduk Diko. Astaga, ini benar-benar sakit. Karena aku berada di luar, tepatnya di parkiran, banyak yang melihatku memeras perut. Tapi karena sakitnya yang tak tertahan, aku mengabaikan berbagai macam tatapan mereka dan fokus pada rasa sakit ini. Benar-benar membuatku terasa lemah. Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang membantuku berdiri. Aku masih belum melihat siapa orang itu. Rasa sakit yang berasal dari perut tidak kunjung mengizinkanku untuk membuka mata. Jangankan membuka mata, bahkan bernafas pun masih tersendat-sendat. “Ayo masuk ke dalam mobil. Kenapa gak bilang dari awal kalau kamu gak tahan dengan rasa sakitnya? Kan aku bisa membatalkan pertemuan ini lagi dengan Rey. Aku antar ke oma ya?” Aku hanya mengangguk setelah duduk di dalam mobil. Ingin rasanya seat belt itu melingkari perutku dengan erat, bukan tubuhku. Tapi itu bukanlah fungsi yang seharusnya dari sebuah seatbelt. Setelah masuk ke dalam mobil, Diko langsung mentancap gas dan seperti ucapannya, kita akan pulang ke rumahnya. *** Saat masih berada di perjalanan, sakitnya pun agak berkurang karena tadi Diko sempat mampir ke apotek dan membeli obat untuk mengurangi rasa sakit. Ingatan tentang Diko dan Rey tadi kembali hadir di ingatanku. Bagaimana anehnya hari ini dan bagaimana pintarnya mereka berdrama. Aku bukanlah penonton yang bodoh, yang dengan mudahnya akan tertipu. Tidak, aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku tahu bahwa mereka adalah teman yang dekat, tapi aku butuh pengakuan langsung dari orangnya. “Diko?” “Hmm…” Tangan Diko memegang tanganku. Mungkin saja dia masih khawatir atau sekedar modus sama seperti ia memperlakukan perempuan yang lain. Aku menghempas tangannya halus. “Aku mau bertanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus menjawabnya dengan jujur” Mungkin kalian akan mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang lebay. Perempuan seharusnya sudah terbiasa dengan rasa sakit ketika menstruasi, tapi aku berlagak selayaknya aku seperti keguguran. Aku terlalu mengurus campur urusan atasanku, padahal seharusnya dia punya hak pribadi yang tidak bisa di ganggu gugat. Dan masih banyak lagi yang sekirannya membuat kalian berpikiran bahwasanya aku ini adalah perempuan yang lemah dan mungkin juga anak layangan?. Terserah, kalian punya hak untuk menghujat. “Iya, katakan saja” “Jujur, sebenarnya kamu dekat kan dengan Rey Moccasizo? Dan kamu juga sudah tahu perihal pertemuan siang ini?” Aku menanyakan hal itu sambil dengan mata tertutup. Masih belum sanggup untuk membuka mata. “Apakah dengan menjawab itu akan membuatmu menjadi lebih baik?” Aku mengangguk. “Baiklah, aku akan jujur padamu. Sebenarnya, aku dan Rey adalah teman lama. Aku dekat dengannya sejak kuliah di Harvard University. Aku juga berperan penting dalam kisah percintaannya. Aku tidak bermaksud sombong, tapi kami memang dekat sejak lama. Tentang hari ini, sebenarnya ini adalah rencanaku untuk melakukan pertemuan. Aku hanya kasihan melihatmu seharian di depan laptop dan tidak pernah keluar sedikirpun. Aku minta maaf karena tidak tahu kalau kamu sedang menstruasi. Kalau aku tahu dari awal, aku juga tidak ingin bertemu dengannya. Mungkin aku lebih memilih untuk mengantarmu ke oma. Dan sekarang, akulah yang paling merasa menyesal. Gara-gara rencanaku, kamu merasakan rasa sakit yang mana aku sendiri tidak tahu bagaimana cara meredakannya. Aku benar-benar merasa…” Aku memberi tanganku, mengatakan bahwa pengakuannya sudah cukup. “Cukup. Aku mengerti dan aku juga memaafkanmu. Lain kali jangan bertindak kekanakkan. Jika ingin mengajakku keluar, tinggal bilang saja. Setidaknya aku bisa menyesuaikan. Setidaknya aku juga bisa bersiap-siap jika sekiranya aku bertemu dengan perempuan-perempuan yang mendekatimu” Aku tidak merasakan mobil Diko bergerak. Apakah ini sudah sampai di rumahnya? Tapi aku merasa kami baru saja jalan dan perjalanan masih jauh. Diko melepas seatbelt ku dan memegang pundakku. “Tolong buka mata kamu dan tatap aku. Aku mohon” Dengan kesal dan malas aku membuka mata. Melihat ekspresi aneh darinya. Ada apa dengan pria ini?. “Aku sudah bilang dari awal kalau aku hanya main-main dengan mereka. Aku sama sekali tidak serius dengan mereka” “ Terus hubungannya denganku apa?” Rasanya malas sekali jika membicarakan tentang perempuan-perempuan Diko. Ingin sekali rasanya berteriak kalau aku tidak suka membicarakan mereka. Aku hanya melengos. “Bagaimana pendapatmu tentang aku selama ini?” Nah, ini adalah topic pembicaraan yang tepat. Sedikit membuatku kembali bersemangat. Ini adalah kesempatan yang pas untuk mencaci bagaimana buruknya seorang Diko Pratyaksa dan perlu di garis bawahi adalah tidak adanya kata pelarangan karena orangnya langsung yang menyuruh. “Kamu adalah orang yang menyebalkan!” “Aku menyebalkan karena apa?” “Kamu adalah pria yang menyebalkan karena selalu membawa banyak perempuan ke ruanganmu. Kamu gak punya tempat lain? Restaurant? Café? Atau hotel?. Setidaknya jangan sekali-kali membawa mereka ke kantor dan membuatku naik pitam setiap setiap harinya. Naasnya, mereka adalah orang yang berbeda, setiap harinya. Sudah puas, Diko Pratyaksa?” “Oh, jadi kamu selama ini menganggapku menyebalkan karena aku selalu membawa perempuan ke ruanganku?” Tanpa basa-basi, aku mengangguk pasti. “Kamu gak cemburu?” “Maksud kamu apa?” “Hmm… padahal aku melakukan hal itu untuk membuatmu cemburu” “Maksudmu apa?!” Apa? Aku tidak salah dengar kan? Dia dengan jelas mengatakan bahwa alasan dia membawa perempuan yang berbeda ke kantornya adalah karena ia ingin membuatku cemburu. Maaf ya, bapak Diko Pratyaksa yang terhormat, aku mungkin tidak cemburu dengan perempuan-perempuan itu. Mungkin…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD