Mobil Diko sudah berhenti menandakan sudah sampai ditujuan. Aku melepas seatbelt dan keluar dari mobil dengan perasaan yang campur aduk. Aku tidak tahu bagaimana cara bersikap kepada Diko.
Satu sisi aku masih kesal, tapi sisi lain aku merasa canggung setelah ia mengatakan bahwa ia melakukan semuanya hanya untuk membuatku cemburu.
Aduh, ini tidak bisa di biarkan. Jika ini terus saja berlanjut, maka aku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan layak. Sepanjang bekerja aku akan terpikirkan akan hal ini. Aku tidak mau hal itu terjadi. Ini harus di selesaikan, secepatnya.
Sebelum Diko masuk ke dalam rumah, aku lebih dulu mencegatnya dan menyeret tangannya ke halaman belakang. Meski dengan keadaan perut yang masih sakit, tapi ini jauh lebih penting untuk saat ini. Setidaknya juga untuk hati yang masih kebingungan.
“Ada apa sih sampai menyeret ke halaman belakang segala?” tanya Diko. Jangan tanyakan mengapa, aku aja bingung kenapa aku bisa memilih halaman belakang sebagai tempat penyeretan.
“Sebentar, ikut aku sebentar saja. Aku harus meluruskan sesuatu denganmu dan tidak boleh ada kata tidak. Ini harus dan aku memaksa!”
Setelah sampai di halaman belakang, aku menghempas tangannya. Sejenak aku masih belum mau mengawali pembicaraan. Masih bingung memulai dari yang mana dan dengan kata seperti apa.
Oke, jika aku tidak memulai maka kita akan tetap seperti ini terus dan akan menghambat segala hal, termasuk rencana rahasia dengan oma Sekar. Aku sudah berjanji dengannya, mana mungkin aku berdusta meski tokoh utamanya adalah orang yang berada di depanku sekarang.
“Oke, aku tidak mau berlama-lama lagi. Coba kamu jelaskan sejelas-jelasnya terkait perkataan yang sudah kamu katakan beberapa menit lalu. Aku tidak mau karena perkataanmu yang tiba-tiba itu akan merusak semuanya”
Jujur, aku sedikit emosi.
Diko memegang tanganku dan mengiringku untuk dudukdisampingnya. Astaga, aku bahkan masih menggunakan jasnya sebagai lapisan baju supaya daranya tidak terlalu banyak yang terlihat. Mungkin Diko sudah menyadari baunya, tapi dia hanya diam saja karena aku sudah bisa mencium baunya.
“Duduk dan tenang. Aku akan menjawab semua pertanyaanmu asalkan kamu duduk. Bukankah perutmu masih terasa sakit?”
Iya, benar. Astaga, aku lupa dengan keadaanku yang sekarang.
“Kamu mau menanyakan apa? Aku akan jawab”
Selayaknya mendapat lampu hijau, aku langsung menghadap ke arahnya dan menatap matanya. Mulut memang sering berbohong, tapi mata tidak. Jangan mencoba main-main dengan mata.
“Oke, mungkin aku akan banyak melontarkan pertanyaan, tapi kamu sudah janji untuk menjawabnya. Pertama, ceritakan tentang perempuan yang setiap hari kamu bawa ke kantor itu!”
Diko terlihat memperbaiki duduknya. Kini, ia juga memegang tanganku.
Aneh, tapi terasa nyaman. Ingin sekali rasanya menepis tangan itu, tapi hati kecilku mengatakan rasa nyaman dengan tangan besar itu. Astaga, labil sekali diri ini.
“Jika berbicara tentang perempuan yang sering aku bawa ke kantor bahkan saat SMA aku juga sering melakukannya itu tidak lain dan tidak bukan hanya untuk membuatnya cemburu. Jujur saja, sejak SMA aku sudah memendam perasaan padamu dan mungkin kamu tidak pernah merasakannya karena kita terlalu fokus untuk bertengkar dan berbeda pendapat satu sama lain. Aku benar-benar tidak serius dengan mereka. Bahasa kasarnya, aku membayar mereka hanya untuk membuatmu kesal karena bagiku wajahmu ketika kesal itu sangatlah lucu. Sangat lucu. “
Apa? Lucu? Jangan main-main deh!.
“Lupakan dengan kata lucu, aku tahu itu sejak dulu. Tapi apa maksudmu dengan membayar mereka? Kenapa kamu merendahkan kaum perempuan seperti itu, Diko?”
Aku tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikir Diko. Bagaimana mungkin dia menganggap perempuan selayaknya boneka. Dan membayar?.Helo, Diko!. Bahkan kamu juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan.
“Aku tahu kamu sedang menyumpahi aku dengan ribuan kata hinaan. Aku tahu, dan aku juga sadar. Tapi sumpah, aku tidak pernah memaksa mereka. Mereka sendiri yang tiba-tiba menghubungiku dan rata-rata dari mereka membutuhkan uangku saja. Tidak lebih!. Aku tidak melakukan sesuatu yang kelewatan, Nabila”
Dilihat dari matanya, ia terlihat jujur. Apa mungkin aku sudah terpengaruh olehnya. Aduh, jangan sampai!.
“Iya, aku sedikit percaya dengan perempuan-perempuanmu itu. Lalu bagaimana dengan kata cemburu? Aku belum mencintaimu, Diko”
Ia tersenyum. Astaga, sangat manis.
“Jika belum, berarti masih rencana. Senang rasanya bisa menceritakannya langsung seperti ini. Aku sudah menunggu untuk waktu yang cukup lama hanya untuk sekedar bercerita apa yang aku rasakan padamu. Baiklah, mungkin kamu penasaran kapan aku mulai suka denganmu. Itu bermula sejak kamu menyelamatkanku dari perempuan preman waktu SMA. Meski aku adalah laki-laki tulen, tapi aku juga takut dengan tenaga yang dikeluarkan langsung oleh perempuan itu. Dengan gagah berani, kamu melawan perempuan itu, waktu itu. Dari situ aku mulai untuk memperhatikanmu. Aku tersadar satu hal, sejak kamu menjadi wakilku dulu, kamu sering menghandle pekerjaan, entah itu dari devisi manapun, dan dari sanalah aku terpikir untuk membuatmu mengerjakan segala pekerjaan yang seharusnya itu merupakan kewajibanku. Aku tahu, aku salah dari awal karena menjadikan perempuan sebagai mainan, tapi memang aku tidak pernah serius dengan mereka. Dari dulu sampai sekarang, perhatianku masih terfokus sama satu perempuan"
Please, jangan bilang kalau itu adalah aku. Aku mohon.
"Dan itu adalah kamu"
Oke, fix. Aku tidak bisa dengan sesuatu yang seperti ini.
Astaga, jangan tatap aku dengan tatapan seperti itu. Aku sepertu di kuliti dengan mesra oleh tatapan Diko. Aku sengaja menoleh ke arah lain, tapi ucapannya yang berikutnya membuatku terpaksa harus menoleh ke arahnya.
"Jujur saja padaku, selama ini kamu menyukaiku, kan?"
Aku mohon, jangan tanyakan satu hal ini. Aku masih bingung, bahkan pada diriku sendiri. Ini terlalu ambigu bagiku.
"Hey, kenapa kalian berada di sini?. Cepat masuk!"
Huft... untung oma Sekar datang menyelamatiku. Aku langsung berdiri dan segera menghampiri oma Sekar. Sedangkan Diko menyusul dari belakang.
"Kenapa kamu melilit jas kerja Diko di pingganhmu, Nabila?. Kamu menstruasi?"
"Iya, oma. Tadi pagi perut Nabila keram, terus sakit banget. Ini pertama kalinya Nabila menstruasi sampai sakit begini".
" Yaudah. Sekarang kamu ganti pakaian terlebih dahulu. Nanti oma buatkan minuman rempah-rempahan untuk meredakan rasa sakitnya"
Aku mengangguk semangat dan masuk ke dalam rumah.
Aku bisa lancang mengatakan bahwa rumah Diko sudah aku anggap selayaknya rumahku sendiri. Jujur saja, bahkan pakaianku juga sangat banyak di rumah ini. Jangankan pakaian, barang-barang anak gadis pada umumnya juga tersedia di kamarku.
Iya, aku juga mempunyai kamar khusus di rumah ini. Pokoknya, aku sudah seperti anak di rumah ini. Tapi ya gitu, agak canggung untuk sekarang.
Dulu, aku tidak perlu merasa canggung karena semua anggota keluarga rumah ini menerimaku dengan sangat terbuka. Lalu sekarang, beda kasus. Aku sedikit merasa canggung, apalagi kepada Diko. Itu semua adalah karena ia telah menyatakan perasaannya yang seharusnya ia tahan untuk beberapa waktu sampai aku bisa menerima dengan ikhlas.
"Bagaimana dengan misi rahasia kita? Apakah ada perkembangan?"
Deg...
Aku menjawab apa untuk pertanyaan ini? Sedangkan tadi saja Diko menyatakan rasa sukanya kepadaku.
"Aku sudah menyatakan perasaanku, oma. Tapi sepertinya dia tidak suka denganku"
"Enggak kok,"
Sontak aku langsung menutup mulut. Astaga, ingat Nabila. Mulutmu, harimaumu.
Kini kamu sudah mengatakan bahwa kamu mungkin saja menyukainya.
Siapkan saja hatimu untuk selanjutnya, Nabila!.