Malu sekali rasanya. Aku bergegas ke kamarku yang ada di rumah ini. Setelah berada di dalam, aku menyalahkan diriku sendiri dengan segala macam cara, salah satunya membenturkan kepala ke ranjang yang berbusa. Biar tidak terasa sakit.
"Bodoh kamu, Nabila!. Kenapa bisa keceplosan gitu?!".
Aku langsung bergegas ke kamar mandi dan membersihkan badan. Bahkan sejenak, aku melupakan rasa sakit di perut akibat hari pertama menstruasi.
Saat mandi pun, aku masih terbayang cara Diko menyatakan perasaannya. Apakah benar Diko memendam rasa suka padaku?. Dan itu sejak SMA?!. Lama sekali.
Setelah selesai mandi, aku mengambil persediaan pembalut dan juga mengganti pakaian. Rumah ini memang benar-benar menjadi rumah kedua bagiku. Semua keperluanku sudah tersedia di sini.
Oma Sekar masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu sekalipun. Sudah biasa. Aku tersenyum kepadanya, begitu juga denganya.
Ia duduk di ranjang sambil menungguku untuk selesai berpakaian. Aku juga heran dengannya. Biasanya ia akan mulai membicarakan sesuatu. Namun kali ini ia terlihat kalem. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengannya?.
"Ada apa, oma?"
Aku bertanya karena saking penasarannya padanya. Oma Sekar menggeleng dan menepuk sisi kasur yang kosong.
Oh, i see. Dia pasti akan membahas tentang cucunya yang menyebalkan itu. Aku paham betul.
Aku menghampiri oma Sekar dan duduk di sampingnya.
"Ada apa, oma?"
"Oma menagih janji kamu!"
Astaga. Aku mohon jangan sekarang. Aku masih belum sanggup menerima segala jenis kekanakannya.
"Janji apa, oma?"
"Janji untuk mau menerima kekurangan Diko. Sebelumnya Nabila sudah berjanji kepada oma untuk mau mengenal Diko lebih jauh. Syukur-syukur kalau Nabila langsung jatuh cinta"
Apa?. Jatuh cinta?. Astaga, tidak semudah itu oma.
Aku tidak punya jawaban lain selain mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak. Aku bukanlah orang yang dengan mudahnya akan ingkar. Tidak, aku bukanlah orang yang seperti itu.
"Iya, oma. Tunggu saja. Nabila tidak akan ingkar janji sama oma"
***
Sebelum pulang, aku terlebih dahulu makan bersama keluarga Diko yang lainnya. Setelah itu, aku menyuruh Diko untuk mengantarku pulang seperti sebelumnya.
Kali ini, aku tidak menerima penolakan atau pengabaian. Ia langsung mengambil mantel dan kunci mobilnya sesaat setelah aku memintanya. Mungkin ini adalah salah satu bagian dari sikap modusnya, atau apa. Terserah.
Kini, kami berada di dalam mobil. Rasanya sangatlah canggung. Aku bersuara pun rasanya tidak enak. Jangankan bersuara, musik yang biasanya di setel pun ikutan bungkam.
"Eee..."
Aku langsung menoleh ke arah Diko yang hendak berbicara mengawali dan melebur kecanggungan ini. Aku menunggunya melanjutkan kata yang terpotong, tapi tak kunjung ada suara.
"Kamu mau bicara apa?" Tanyaku.
Diko menggeleng. Oke, suasana ini membuatku sedikit kesal. Aku sangat tidak terbiasa dengan suasana ini.. Sebelumnya, kami juga tidak pernah terlibat suasana secanggung ini.
"Ah. Aku tidak suka dengan suasana canggung seperti ini. Gini aja, kita anggap tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya dan enjoy aja. Bila perlu, kita berantem sekarang seperti biasa. Bagaimana?" Tawarku pada Diko.
Astaga. Apa aku sudah gila?. Aku mengajak Diko bertengkar sebagai ganti kecanggungan ini. Sungguh penawaran yang luar biasa!.
"Hehe... iya. Kita bertengkar seperti biasa, ya?" Tanya Diko ragu.
Aku pun mengangguk ragu. Really, Nabila?. Aneh.
***
Mobil Diko sudah berhenti menandakan sudah sampai tujuan. Aku melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Saat akan menyuruh Diko untuk pulang, matanya langsung memandang ke arah koper-koper yang sudah berbaris rapi di depan rumah.
Aku langsung berlari menghampiri koper-koper tersebut. Aku sangat kenal pemiliknya.
Aku kira Diko akan langsung pulang. Tapi, ia menghampiriku.
"Ada apa?"
"Sepertinya mama sama papa akan ke Lombok malam ini deh. Ini koper mereka berdua"
Mama dan papa keluar dari rumah. Wajahnya terlihat bersedih, semakin meyakinkanku bahwa mereka benar akan pergi malam ini.
"Ma, pa. Kalian akan pergi malam ini?" Tanyaku mulai sedih. Jujur, ini sangatlah sedih.
"Iya, sayang. Maafkan mama sama papa. Mama pikir papa mu akan berangkat ke Lombok satu mingguan lagi. Eh, ia mendapat kabar dari kantor bahwa besok pagi papa harus sudah mulai bekerja di cabang yang ada di Lombok. Maafkan mama dan papa ya, Nabila"
Mama memelukku, semakin membuatku ingin menangis. Ingin sekali rasanya, tapi tidak boleh. Ini demi keinginan lama mereka yang sebentar lagi terpenuhi.
"Iya, tidak apa, mama. Nabila tidak masalah dengan hal itu. Nabila kan bisa tinggal di rumah ini sendirian, atau Nabila akan sering-sering menginap di rumah keluarga Diko. Toh juga mereka sudah Nabila anggap sebagai keluarga. Jadi, mama sama papa tenang saja. Nabila akan baik-baik saja di sini" Ucapku menenangkan mama dan papa, sekaligus diriku sendiri tentunya.
"Maafkan kami ya, nak. Selalu kamu yang menjadi korbannya. Diko, mama titip Nabila ya, nak?"
"Iya, ma. Mama tenang saja. Nabila akan aman dengan Diko dan keluarga"
"Mam percaya sama Diko dan sedikit tenang mendengarnya"
Mama melepas pelukan. Aku kemudian memeluk papa. Seorang lelaki yang paling dekat denganku. Apalagi aku adalah anak satu-satunya mereka.
Sebenarnya, tidak rela sekali di tinggalkan oleh papa. Dia orang yang selalu sabar dan mau mengalah. Aku banyak belajar dari papa jika masalah untuk bertahan hidup seperti kesabaran dan ketabahan. Jika mama, aku lebih sering belajar tentang bagaimana cara menjadi perempuan yang layak.
"Apa mama dan papa sudah mendapat transportasi" Tanya Diko.
"Kami akan memesan taksi sebentar lagi"
Aku langsung menoleh ke Diko. Dia juga menatapku seakan mengerti maksud dari tatapan yang ingin ku sampaikan, bahwa aku ingin mengantar mama dan papa sampai ke bandara.
"Tidak perlu, ma. Diko yang akan mengantar kalian ke bandara"
Oke, terimakasih banyak Diko sudah mengerti maksud tatapan, dan juga hatiku.
"Baiklah. Ayo!"
***
Kini, kita sudah sampai di bandara. Mama dan papa juga sudah melakukan pengecekan berkas. Kini tinggal menunggu pengumuman keberangkatan mereka yang sebentar lagi.
Rasanya semakin tak rela melepaskan mereka. Aku ingin sekali memeluk mereka dengan erat sambil mengatakan bahwa aku masih belum sanggup. Tapi sekali lagi, aku tidak rela merusak keinginan mereka.
Suara pengumuman keberangkatan sudah menggema. Saatnya mereka pergi. Aku langsung memeluk mereka dan menangis kuat. Aku mengabaikan usiaku yang sudah tidak lagi muda.
"Sudah. Sudah. Jangan menangis. Nanti Nabila bisa ke Lombok, kapanpun. Ya?"
Aku mengangguk dan melepas pelukan dengan perasaan yang berat.
"Diko, mama dan papa titip jaga Nabila ya"
"Pasti, ma, pa. Kalian tidak usah khawatir"
"Baiklah. Mama dan papa berangkat. Nabila, jangan lupa jaga kesehatan ya, nak. Bye!"
"Hati-hati!"
Berat.
Sungguh berat.
Bayangan mereka hilang bersamaan dengan lambaian tangan yang tak pernah lelah melambai untuk mereka.
***
"Diko, aku takut tidur sendirian di rumah"
"Yaudah. Malam ini kamu beresin barang-barang kamu, dan tinggal di rumah. Gimana?"
"Hmm..."