Arissa bangun pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit dan memulai rutinitas lari paginya. Baginya, ia saat-saat terbaik untuk memulai hari sambil melatih kebugaran fisiknya. Sambil mendengarkan lagu favoritnya melalui earphone, Arissa berlari ringan menyusuri lingkungan sekitar apartemennya dan menyapa penduduk lokal dengan ramah. Ada toko roti homemade di pojok jalan yang selalu memanggang roti-rotinya sebelum pukul 6 pagi. Bau harum roti semerbak yang seketika merangsang bunyi gemuruh di perut Arissa saat ia berlari melewati toko tersebut. Ada juga toko bunga yang sibuk menyiapkan dan memajang bunga-bunga segar saat Arissa sekelebat melewatinya. Arissa juga melihat pasar tradisional, mini market serta pelelangan ikan yang berada agak jauh di area pelabuhan.
Dengan nafas terengah-engah, Arissa beristirahat sebentar di pelabuhan sambil mengamati perahu-perahu layar yang berjejer rapi di dermaga. Bau angina laut dan bunyi burung camar membuat tubuhnya rileks dan segar. Perlahan, ia membuka botol minumnya dan menenggak habis airnya. Lalu, matahari terbit mulai muncul di ufuk timur sambil membiaskan semburat jingga keemasan ke batas horizon. Melihat pemandangan matahari pagi di hadapannya, Arissa terpukau kagum. Tanpa terasa, beberapa tetes air mata mengalir turun di pipinya. Ia belum pernah merasa sehidup ini sebelumnya dan ia merasa sangat bersyukur bisa menyaksikan pemandangan secantik ini di hadapannya.
Arissa berdiri diam di tempatnya sampai matahari mulai cukup tinggi dan kemudian ia berjalan pulang ke apartemennya.
………………………………………………………………………………
Ketika Arissa membuka pintu, ia seketika dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang langsung membuat mukanya panas dan pipinya memerah.
Tepat di hadapannya, Cristan sedang b******u mesra dengan seorang wanita asing!!
Bukan hanya itu, mereka berdua tampaknya tidak menyadari kehadiran Arissa yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
“Oh, kau sudah pulang….” Kata Cristan dengan suara serak. Wajahnya tampannya menunjukkan ekspresi malas dan tak peduli sementara wanita di dalam pelukannya sibuk memandangi pria di depannya dengan tatapan memuja.
“Kenalkan… ini…”
“Eh, siapa namamu tadi?” tanya Cristan dengan nada mesra dan tatapan menggoda. Tangannya masih erat merangkul bahu wanita cantik tersebut.
“Bianca… Kau sudah menanyakan namaku lima kali dari kemarin malam.” Jawab wanita yang disebut Bianca tersebut dengan mulut cemberut tapi raut wajahnya menunjukkan ekspresi menggoda.
Cristan lalu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sambil tertawa jahil.
“Maaf.. aku memang pelupa. Jangan marah ya, sayang?”
“Bianca, kenalkan… ini sepupuku…” kata Cristan lagi sambil memperkenalkan Arissa yang masih terpaku kaget di pintu masuk.
Bianca tersenyum kecil lalu mencium Cristan sekali lagi dengan mesra lalu memisahkan dirinya dari pelukan Cristan.
“Dah… jangan lupa telepon aku nanti ya?” pamit Bianca centil sambil memberikan isyarat dengan tangannya. Ia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Arissa di pintu masuk dan melengos pergi begitu saja.
Arissa menggelengkan kepalanya sambil menutup pintu lalu mengambil handuk serta peralatan mandinya. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya. Belum ada 24 jam tapi Cristan sudah membawa seorang wanita asing masuk ke apartemen mereka dan ini baru hari pertama.
Arissa memejamkan matanya sementara air membasuh tubuhnya. Ia menghela nafas panjang sekali lagi.
……………………………………………………………..
Selepas Bianca pergi, Cristan kembali pada sikapnya yang biasa. Raut mukanya datar tanpa ekspresi sementara lagaknya tetap acuh dan menyebalkan. Ketika Arissa selesai mandi, Cristan sedang duduk di atas sofa sambil memegang mug berisi coklat panas dan menonton TV.
Melihat pemandangan itu, Arissa tidak berkata apa-apa. Ia lalu berkemas dan memeriksa semua peralatannya dengan teliti sekali lagi. Ini hari pertamanya bekerja jadi ia sama sekali tidak boleh memberikan kesan buruk pada kantor barunya. Setelah semuanya lengkap, Arissa lalu segera berjalan ke arah pintu ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya dari arah belakang.
“Kau pulang jam berapa?”
Arissa tertegun. Ia tidak menyangka akan mendengar pertanyaan tersebut dari mulut pemuda tersebut.
“Aku belum tahu. Mungkin sore atau malam, tergantung tugas yang diberikan oleh kantor baruku hari ini.” Jawab Arissa dengan nada canggung. Rasanya aneh mendengar pemuda asing itu menanyakan pertanyaan ini.
“Oh, aku ada keperluan hari ini jadi ada kemungkinan pulang subuh atau malah tidak pulang sama sekali. Kau kunci saja pintunya…” balas Cristan acuh tak acuh. Matanya terpaku pada layar televisi yang sedang ditontonnya tanpa memandang Arissa sama sekali.
“Baiklah…” balas Arissa singkat dengan nada datar.
Tak lama, Cristan mendengar suara pintu ditutup di belakangnya dan langkah-langkah kaki Arissa yang semakin menjauh. Kali ini, gantian Cristan yang menghela nafas panjang. Sebuah kesedihan yang sangat dalam terpancar di wajah tampannya.
……………………………………………………………….
Tower Emerald, Fashion Blast
Kesibukan yang luar biasa terjadi di kantor Fashion Blast pagi itu. Ada beberapa shooting video iklan serta pemotretan beruntun untuk model-model internasional yang akan datang hari ini. Ketika Arissa sampai, ia melihat para kru, fotografer, dan fashion stylist sedang sibuk di tempatnya masing-masing. Jadwal mereka benar-benar padat dan area studio terlihat sangat berantakan. Tempat itu lebih terlihat seperti sebuah medan perang daripada sebuah studio foto untuk majalah fashion terkenal.
“Eh, kau sudah di sini..”
Sebuah suara tiba-tiba menyapa Arissa dari samping. Arissa menoleh dan melihat seorang pria dengan gaya sedikit gemulai sedang menuju ke arahnya. Wajahnya ramah dengan senyum lebar dan ia membentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambut Arissa.
“Jojo!!!”
Arissa berteriak gembira sambil memeluk Jojo erat-erat. Pria ini adalah teman sekelasnya dulu saat ia mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual dulu dan orang yang sama yang membantunya untuk memperoleh pekerjaan sebagai seorang freelance photographer di Fashion Blast. Sebuah majalah fashion baru yang saat ini sedang naik daun di kalangan remaja dan para sosialita kelas atas.
Setelah berpelukan selama beberapa saat, Jojo lalu mengajak Arissa masuk ke sebuah studio lain yang lebih kecil dan mengamati penampilan Arissa dengan teliti. Walaupun saat itu Arissa mengenakan kemeja bercorak yang dipadukan dengan celana jeans belel dan sepatu ankle boots, hal itu tidak menutupi struktur tubuhnya yang tinggi dan jangkung bak seorang model professional. Kacamata bulat yang digunakannya sebagai samaran pun, tidak mampu menutupi kecantikan wajahnya yang berbentuk oval dengan tulang pipi yang tegas dan simetris. Belum lagi matanya yang bulat dan berwarna biru gelap seperti warna lautan yang dalam.
“Kamu ga banyak berubah ya? Masih cantik kayak dulu…” goda Jojo sambil tersenyum nakal.
“Apa sih? “ balas Arissa malu sambil menyikut Jojo dengan lengannya.
“Kamu yakin mau kerja di sini sebagai fotografer aja? Gam au iseng-iseng coba jadi model sekalian? Bone structure kamu bagus banget loh. Kamu punya bakat alami buat jadi model…”
“Lagipula…. Bayarannya jauhhhhh lebih besar…”bisik Jojo saat mengucapkan kalimat terakhir di kuping Arissa.
Jojo tahu kalau Arissa sangat membutuhkan banyak uang saat ini. Mereka sudah bersahabat lama sejak masih kuliah dulu dan walaupun sama-sama berkuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Jojo ternyata punya bakat terpendam menjadi seorang makeup artist dan fashion stylist. Gaya berpakaiannya sangat modis dari dulu dan hasil fotonya tidak pernah sebaik hasil jepretan Arissa. Arissa sendiri hidup sebatang kara sambil membesarkan anaknya seorang diri di bawah asuhan Suster Hua sambil berjibaku mengelola panti asuhan tua tersebut. Penghasilan panti asuhan itupun sangat bergantung dari hasil donasi gereja maupun para dermawan yang selalu rutin menyumbang untuk keperluan anak-anak asuh mereka. Sayangnya, semakin lama, uang donasi itupun semakin berkurang. Kini, Suster Hua sendiri harus pintar-pintar mencari tambahan dana baru untuk supaya kebutuhan operasional panti asuhannya tetap bisa berjalan. Sementara Arissa yang dulu merasa sangat banyak dibantu oleh Suster Hua, merasa berhutang budi dan berjanji untuk menjadi sponsor tetap bagi rumah keduanya tersebut.
“Terima kasih, Jo. Tapi kau tahu kan kalau aku sama sekali tidak suka berada di depan kamera…” tolak Arissa halus. Ia tahu benar batas dirinya dan Jojo bukanlah orang pertama yang mendorong dirinya untuk mencoba karir modeling. Suster Hua, Anne, dan beberapa teman dekatnya mengusulkan hal yang sama tapi pada akhirnya, Arissa selalu memberikan jawaban yang sama setiap saat. She would never be a front stage player, because she’s unwilling for doing so.
Jojo lalu mengankat bahunya sebagai tanda menyerah. Ia tahu benar karakter Arissa yang keras kepala dan mengalihkan topik pembicaraan mereka ke masa- masa kuliah mereka dulu ketika seorang wanita berusia empat puluhan memasuki ruangan studio di mana mereka berada.
Wanita itu memiliki raut wajah yang sangat menyenangkan dan tatapan mata yang berbinar-binar seperti bintang. Pipi tembemnya hanya membuatnya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Ditambah lagi dengan sikapnya yang sangat ekspresif.
“Hi Jo. Aku dari tadi cari-cari kamu. Eh, ternyata kamu di sini…”
Wanita itu menyapa Jojo dengan ramah lalu matanya tertumbuk pada sosok Arissa yang sedang berdiri di hadapan Jojo. Pupil matanya seketika membesar dan tersenyum lebar.
“Jadi ini orangnya?”