Ares tersentak bangun dari tidurnya.
Lagi-lagi mimpi yang sama.
Mimpi yang indah, akan tetapi selalu berhasil membuatnya terbangun di tengah malam dan teringat kembali akan pahitnya kenyataan.
"Chika ...," bisiknya, lalu tersenyum pahit.
Dia menoleh ke arah nakas di samping kanan tempat tidurnya.
03.27 am.
Angka di layar jam waker digital menunjukkan waktu saat ini, terlalu awal untuk memulai hari, tapi terlalu pagi baginya untuk mencoba tidur kembali.
Ares menghela napas dan bangkit dari tempat tidur. Dia memilih untuk bangun saja, dia bisa mengisi waktu dengan berolah raga, lalu memasak sarapan untuknya sendiri dan seluruh penghuni di rumahnya. Dia mengganti celana piyamanya yang berbahan satin dengan celana training dan mengenakan kaus di tubuhnya yang tadinya bertelanjang d**a, lalu keluar dari rumahnya untuk jogging.
Ditatapnya langit yang masih gelap. Matahari bahkan belum saatnya terbit.
'Harusnya saat itu aku nggak pergi,' sesalnya akan keputusannya pergi kuliah ke Singapore sebelas tahun yang lalu.
'Kalau aku tetap tinggal, aku nggak akan kehilangan Chika,' rutuknya pada sang takdir, dan berlari lebih cepat memutari kompleks perumahan yang masih sepi.
Masih jelas ingatannya, tentang apa yang terjadi saat itu.
Flashback 11 tahun yang lalu ...
'Cuma empat tahun,' batin Ares Dwipangga yang sedari kecil sangat bangga bila dipanggil dengan sebutan Ade, singkatan dari namanya.
Empat tahun, dan dia akan pulang kembali ke Indonesia dengan ijazah S1 dari Universitas pilihan ayahnya di Singapura. Dia akan mengambil S2 di Indonesia saja, mungkin S3 juga, janjinya pada diri sendiri.
Dia punya cita-cita yang tinggi, yaitu meneruskan perusahaan turun temurun keluarganya yang terus berkembang dan mulai menguasai pasar Asia Tenggara. Cita-cita yang sudah ditanamkan oleh ayahnya sejak ia masih kecil sekali.
Sebenarnya tak mengapa baginya menuruti perkataan orang tua, tak ada buruknya. Namun makin ke sini, makin enggan hatinya menjauh dari Chika.
Gadis yang seusia dengan adiknya dan sudah dikenalnya sejak dia lahir.
Orang tua Chika adalah partner bisnis ayahnya, dan rumah mereka cukup dekat, bisa ditempuh hanya dengan 10 menit jalan kaki, membuat mereka otomatis tumbuh bersama. Terlebih orang tua mereka kerap kali melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, bahkan luar negeri yang sampai berhari-hari lamanya, dan mereka ditinggalkan bersama.
Ares sedang menghabiskan waktunya di taman yang terletak di halaman samping rumahnya. Dia duduk di bawah pohon, memegang sebuah buku yang tampak seperti sedang dibacanya, tapi siapa tahu bahwa pikirannya melayang-layang jauh, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan isi buku tersebut.
Ditatapnya Chika dan Armilla dari kejauhan. Mereka berdua sedang duduk berhadapan di bangku taman.
Botol-botol kuteks berserakan di meja yang ada di antara mereka. Beberapa tetesan dari botol pewarna kuku yang tak sengaja tersenggol m*****i gaun putih yang mereka kenakan. Mereka berdua sama-sama cantik, ceria, dan cerdas. Dengan warna kulit dan tinggi badan yang sama, terlebih ibu-ibu mereka gemar memakaikan gaun dan aksesoris berdesain senada, membuat mereka tampak seperti sepasang anak kembar.
Menjadi anak-anak dengan ekonomi selevel keluarga mereka, membuat orang tua mereka terlalu paranoid untuk mengirim mereka bersekolah di sekolah umum, terlebih dengan maraknya penculikan anak yang diberitakan di media. Maka dari itu, sampai pendidikan setara SMA, mereka diharuskan untuk menjalaninya bersama di rumah. Hal ini membuat hubungan mereka lebih erat, karena mereka bertiga hanya punya satu sama lain untuk bergaul.
Chika baru menginjak usia sebelas tahun, namun Ares tak dapat memungkiri ketertarikannya pada gadis yang selama ini dianggapnya adik tersebut. Perasaan sayang yang tadinya hanya sebatas kakak kepada adiknya, kini mulai bersemi menjadi cinta seiring dengan Chika beranjak remaja. Paras cantik, kecerdasan, kepribadian, dan perhatiannya berhasil membuatnya terpikat.
'Ini cuma Singapore-Indonesia, aku akan sering pulang,' batinnya lagi. Uang bukanlah masalah bagi mereka, harga tiket pesawat tidak seberapa.
Itulah mengapa dia terus mengulur waktu untuk memberitakan perihal keberangkatannya ke Singapore pada Chika. Tak kuasa hatinya bila harus berpamitan pada gadis itu, si cantik akan merajuk dan menangis, terlebih, mungkin membencinya. Sampai akhirnya tinggal dua hari lagi waktunya untuk dia pergi, dan dia terpaksa memberi tahu gadisnya.
"Kenapa baru sekarang Bang Ade kasih tau Chika?! Kita jadi gak punya waktu buat farewell party! Bang Ade nggak sayang sama Chika??" rutuk Chika setelah menerima pernyataan perihal kepindahan Ares ke Singapore.
Belum sempat Ares menjawab, Chika sudah berlari pulang sambil menangis. Keesokan harinya, tak seperti biasanya, Chika tak datang ke rumahnya. Ares yang merasa bahwa Chika butuh waktu untuk bersedih, membiarkannya.
Di hari keberangkatannya, hatinya sesak menyaksikan betapa bengkak mata Chika akibat terlalu banyak menangis, tak rela melepas 'Bang Ade-nya' pergi. Armilla, adik kandungnya bahkan tak sedih sama sekali.
Di terminal keberangkatan, dia berlutut di hadapan gadis manisnya, dan berjanji, "Chika sayang, Bang Ade janji akan cepat lulus, juga sering pulang untuk menemui Chika. Kalian juga bisa main ke Singapore sesekali buat ketemu Abang. Kalau Abang sudah lulus dan pulang ke Indonesia nanti, abang nggak akan tinggalin Chika lagi."
"Janji, ya?" tanya Chika dengan suara serak akibat terlalu banyak menangis dan tak tidur semalaman.
"Janji," ucapnya sambil memeluk gadis kecil tersebut, mencium puncak kepalanya untuk menyimpan memori akan wangi natural dari sosok Chika.
Namun kenyataan berkehendak lain.