Si Cantik

1068 Words
MARISKA’S POV Tanpa sadar kulajukan motor ke arah rumah besar di pertigaan. Aku menghentikan motorku di depan pintu gerbang rumah berpagar hitam tersebut. Semoga saja aku bisa diterima untuk tinggal di sini walaupun cuma untuk sementara, karena aku nggak yakin bisa bayar biaya sewa kos di rumah sebagus ini. Sebuah Honda Jazz warna silver melaju cepat ke arahku, lampu depannya menyorot mataku. Kupejamkan mataku. Mungkin ini akhir hidupku. Tragis sekali nasipku. Aku akan jadi headline di koran besok, judulnya 'SEORANG GADIS DAN KUCINGNYA MATI TERTABRAK SETELAH DIUSIR OLEH IBU KOSNYA YANG KEJAM'. Gak keren, sumpah. Beep! Klakson mobil berbunyi, dan kubuka mataku. Mobil itu berhenti cuma 20cm di depan motorku. Aku menghela napas. At least aku nggak mati. Kaca film di jendela sopir, bergerak turun, membuka. Seorang perempuan cantik berambut pirang lurus sebahu terlihat. "Mundur dikit, Mbak! Aku mau masuk!" teriaknya di sela alunan musik RnB yang mengalun cukup keras dari dalam mobilnya. 'Oh, salah satu penghuni di sini?' batinku. "Woi, Mbak?!" teriaknya lagi. "Oh, maaf!" jawabku sambil memundurkan motorku. Entah dia dengar atau nggak. Dia turun untuk membuka gerbang pagar, si cantik ini wangiii sekali. Pakaian yang dia kenakan sangat seksi. Cropped top warna putih dengan kerah rendah yang menampilkan G-string bralette hitam di dalamnya, menunjukkan belahan d**a dan perutnya yang sempurna, dipadukan dengan hotpants kulit ketat berwarna hitam yang aku sangat ragu bisa dikenakan bersamaan dengan dalaman, dilapisi dengan fish net stocking yang mengaksentuasikan sepasang kaki jenjang dan putih mulusnya. Dia melengkapi penampilannya dengan stiletto warna silver. Dia gak kelihatan terganggu sama sekali dengan rintik hujan yang membasahi rambut dan tubuhnya. Setelah membuka gerbang pagar, dia balik badan untuk masuk kembali ke mobil, tapi berhenti saat melihatku. "Mbak cari siapa?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. "Saya cari kosan," jawabku. Dia memicingkan mata, lalu membelalak, "Oh my God! Itu kucing? Ya ampun kalian basah. Tunggu sini bentar Mbak, aku markirin mobil dulu." Aku mengangguk. Dia memasuki mobilnya dan memarkirkannya di halaman rumah itu, ada dua mobil lain berjajar di sana, sebuah Mercedes Benz hitam, dan VW kodok klasik warna kuning. Setelah mesin mobilnya mati, dia keluar dan menghampiriku. "Motornya masukin dulu Mbak, biar aku kunci gerbangnya," katanya sambil menunjukkan tempat kosong di antara jajaran motor yang terparkir di bawah kanopi yang kelihatannya memang dikhususkan untuk parkiran motor, ada tiga motor yang sudah terparkir di sana. Aku melakukan apa yang dia minta, sementara dia menungguku di teras tanpa pandangan kesal sama sekali. Setelah motorku terparkir, tanpa kuminta dia mengambil tas besar di atas motorku dan mengangkatnya ke teras. Dia memencet tombol bell wireless yang terpasang di tengah pintu kayu minimalis warna putih dengan jendela kaca besar dengan bingkai berdesain se-tema dengan pintu di sampingnya. "Kenalin, aku Monik," kata si pirang sambil menjulurkan tangannya, kuku-kukunya cantik terawat dengan cat kuku warna silver. Aku menjabat tangannya. "Mariska. Cantik banget Mbak Monik," pujiku. Dia tertawa, "Tuntutan profesi, sih. Kalau nggak lagi kerja, ogah aku dandan begini!" serunya. "Oh, kerja di mana Mbak?" tanyaku basa-basi. "Tergantung klien yang hiring, sih," jawabnya, bikin aku berpikiran negatif secara bajunya kayak gitu. Penasaran, mending aku tanya aja daripada gak bisa tidur. "Kerja apa kalau boleh tau?" Dia tersenyum. "Aku stripper," jawabnya kalem. Aku melongo, baru kali ini aku berhadapan langsung dengan seorang stripper. Melihat reaksiku, dia menggigit bibirnya dengan ekspresi lucu, dan sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. "Hadoooh, masih aja nemu orang yang reaksinya sepolos ini," katanya sambil menggelengkan kepala. "Cari kos kok malem banget? Hujan pula," tanyanya. "Aku barusan diusir ibu kos," gumamku malu. "Kenapa? Nunggak?" tanyanya tanpa sungkan. "Boro, orang aku selalu bayar tepat tanggal 2 setelah gajian. Alesannya karena aku selalu telat bayar, maunya tanggal satu tet dibayar," sungutku kesal. "Hah?! Sinting kali, tuh orang!" sungutnya ikutan kesal. Aku punya feeling kalau nanti aku dan mbak stripper ini bisa jadi teman baik. Ceklek! Suara kunci dibuka dari dalam, lalu pintu terbuka. Aroma musky menguar keluar sebelum siluet seorang pria tampak dari dalam rumah yang gelap, handuk putih tersampir di pundaknya, dia memegang ujung handuk tersebut untuk mengeringkan rambut hitam tebalnya yang agak gondrong. "Ngapain pencet bell, Nik? Kunci kamu ilang lagi?" tanya si pemilik suara bariton yang belum menyadari keberadaanku. Kulihat Monik nyengir, "Nggak Om, ada yang nyari kos," katanya sambil menunjuk ke arahku. Lelaki tadi maju satu langkah. Kini cahaya dari lampu teras menerpanya dan aku bisa melihatnya cukup jelas. Full stubble. Rambut di wajahnya membuatku sulit menebak berapa usianya, mungkin pertengahan 30-an. Tingginya jelas lebih dari 180cm, mungkin 185cm atau lebih. Lehernya kokoh, bahunya tegap, dadanya bidang, perutnya kotak-kotak sempurna, pinggangnya ramping. Dia mengenakan bawahan piyama berbahan satin warna hitam yang menggantung rendah di pinggulnya, memperlihatkan cukup V-line yang separuhnya tertutup waistband celananya. Aku menelan ludah. "Oh," pekiknya, membuyarkan fokusku pada tubuh sempurna pria berkulit sawo matang di hadapanku. "Namanya Mariska, dia barusan aja diusir sama ibu kosnya tanpa alasan yang jelas. Kasian nih Om, mana ujan-ujanan sama kucingnya," Monik menjelaskan. "Ya udah, masuk dulu. Monik, tunjukin kamar kosong di samping kamarnya Mishka. Kamu keringin badan, ganti baju bersih, aku tunggu di bawah buat ngomongin kelanjutan tinggal di sini." "Tapi, Om ... saya belum tau biaya bulanan ngekos di sini," gumamku malu. "Itu nggak penting, yang penting sekarang jangan sampek sakit," katanya, wajahnya memang nggak senyum, tapi aku tau kalau orang ini baik hati. Aku mengangguk. "Yuk," kata Monik yang mengangkat tasku lagi. "Itu berat, Mbak Monik. Biar aku aja yang bawa," kataku sungkan. Monik meletakkan kembali tas besarku di lantai, lalu bersedekap, "Kamu umur berapa?" tanyanya. "22," jawabku. "Aku 25 tahun dua bulan lagi, gak usah panggil mbak, panggil Monik aja, Ok?" katanya jutek, lalu senyum. Si om tertawa. Monik mengangkat tasku lagi dan aku berjalan mengikutinya naik ke lantai dua. Dia memencet sakelar lampu di dinding, menunjukkan ruang tengah dengan sebuah sofa di tengah ruangan dan TV LED yang menempel di dinding. Terdapat empat kamar dengan pintu menghadap ruangan ini. Lantai marmer warna putih abu-abu di bagian tengah ruangan dilapisi karpet faux fur warna cream. Rumah ini bersih, wangi, dan tertata rapi. "Yang lain udah pada tidur. Selain aku, yang ngekos disini ada Anna, Mishka, dan Ruby. Semua tinggal di lantai ini, lantai 3 masih kosong. Besok bakal gue kenalin sama yang lain. Biasanya kalau ada penghuni baru, kami adain welcome party kecil-kecilan." Yang Monik ceritakan membuat hatiku menghangat. Kalau aku berjodoh tinggal di sini, sepertinya akan menyenangkan. "Ibu kos nggak tinggal di sini?" tanyaku. Monik tertawa kecil. "Om Ares masih single," katanya sambil membuka pintu kamar paling ujung. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD