Tama

1128 Words
Sejak kepergian Arjuna, Adhista menjadi sangat pendiam, tak begitu ceria seperti dulu, dan seringkali menangis setelah membaca scrapbook dan surat yang diberikan Arjuna kepada Adhista beberapa hari setelah kepergiannya. Entahlah, Adhista seperti bukan Adhista. Dia berubah, bahkan teman-temannya pun sempat tak mengenali sifat Adhista yang baru. Saat ini Adhista sedang ada kelas pagi dan dirinya harus bersiap-siap agar tidak telat, karena waktu itu adalah uang, katanya. Adhista berkuliah di salah satu Kampus Negeri di Yogyakarta dengan mengambil jurusan kedokteran. Ya, Adhista nekat merantau demi memudarkan semua kenangan tentang dirinya dan Arjuna, karena hampir semua tempat di Jakarta dan sekitarnya terdapat kenangan manis antara mereka berdua. Adhista tinggal tidak jauh dari kampusnya, hanya berjarak dua ratus lima puluh meter saja dan ia pun sudah sampai di kampus barunya itu. Namun Adhista lebih memilih naik motor, karena menghemat waktu dan tidak terburu-buru. Di Yogyakarta, Adhista tidak memiliki banyak teman. Dirinya menjadi tertutup dan enggan untuk bersosialisasi. Adhista lebih nyaman sendiri sekarang. Calla Margaretha, memiliki kulit sawo matang, rambut sedikit ikal, tidak terlalu tinggi, sedikit gemuk, dan sangat pintar. Biasa dipanggil Calla oleh teman-temannya, Calla berteman dengan Adhista sejak mereka masih bayi, dan terpisahkan saat mereka SMA dikarenakan Calla harus ikut keluarganya pindah ke Jogja karena pekerjaan sang Ayah. Dan satu lagi, Agatha Poernomo Sanjaya, anak dari seorang Konglomerat namun tetap rendah hati dan tidak pernah sombong. Badannya yang tinggi tegap, kulit putih bersih, rambut lurus dengan dicat menjadi abu-abu, bibir kecil dan bulu mata yang lentik, membuat Agatha disukai banyak orang karena paras dan sifatnya yang cantik. Mereka bertiga berteman dari saat masih kecil sampai menjadi gadis remaja yang cantik seperti ini, walaupun sempat terpisah, namun mereka masih tetap berkomunikasi sampai akhirnya mereka kembali dipersatukan oleh semesta di kota penuh kenangan ini. "Dhis, udah berangkat belum?" tanya Calla dari telepon. "Udah rapih sih, tapi bentar. Lo otw duluan aja," jawab Adhista terburu-buru karena dirinya bangun kesiangan pagi ini. "Oke, kalau ada apa-apa lo telpon aja ya, gue otw duluan. See you," ucap Calla dari sebrang sana. "Oke, see you," jawab Adhista lalu mematikan panggilan teleponnya dengan sepihak. "Aduh telat ini mah, apalagi ya yang kurang," tanya Adhista kepada dirinya sendiri sambil memeriksa barang bawaannya. "Tas, Laptop, Pulpen, Notebook, Cas an, apalagi ya, kayak ada yang kurang," gumam Adhista memastikan lagi. "Ya udah deh, kalo ada yang ketinggalan pulang lagi," ucap Adhista lalu mengunci pintu kostnya dan menyalakan mesin motornya. *** "Tumben Dhis telat tadi, kenapa emang?" tanya Agatha sambil memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Gue juga lupa abis ngapain, yang jelas tadi malem gue begadang," jawab Adhista. "Pasti lo mikirin si Arjuna Arjuna itu ya?" tebak Calla tepat sasaran dan Agatha langsung menatap tajam kearah Calla lalu suasana mendadak canggung. "Tam duduk sini aja," ajak seorang laki-laki tepat di samping meja Adhista dan kawan-kawannya. "Iya-iya," jawab seseorang yang dipanggil Tam tadi. "Tam, mau makan apa lo?" tanya laki-laki lainnya. "Gue makan nasi goreng aja deh," jawab laki-laki yang di panggil Tam itu lalu ia berdiri dan berjalan menuju warung nasi goreng di cafetaria. Adhista tak menggubris sekelompok laki-laki itu, namun Calla memperhatikan dengan penuh keseriusan sekelompok laki-laki tersebut. "Masa yang beli nasi goreng tadi ngeliatin Adhista terus," bisik Calla kepada Adhista. Adhista sudah tidak kaget lagi kalau ada yang berbicara seperti itu. Apalagi kedua temannya ini, hampir setiap hari mereka berucap seperti itu. "Udah lah biarin aja Call, mereka punya mata," jawab Adhista cuek lalu kembali memakan makanannya yang sempat tertunda tadi. Tak berapa lama, laki-laki yang membeli nasi goreng tadi kembali, dan beberapa kali melirik kearah Adhista yang tertangkap basah oleh Calla. "Dhis Dhis, itu anjir. Creepy," bisik Calla berlebihan. Akhirnya Adhista penasaran lalu menengok kearah meja yang berada di samping nya. Benar saja, laki-laki itu memperhatikan Adhista walaupun sudah ketahuan juga. Dia tersenyum tipis, namun Adhista hanya menatapnya dengan pandangan judes dan cuek tanpa senyum diwajahnya. "Ayo, abis ini kita masih ada kelas," ajak Adhista lalu dirinya bangkit dan berjalan keluar dari cafetaria. Calla dan Agatha tak mengikuti nya, karena mereka tau, Adhista seperti itu hanya ingin menghindari laki-laki tersebut dan ingin menyendiri di tepat favoritnya. Adhista pergi ke tempat sepi dikampusnya, yaitu perpustakaan. Tak banyak orang yang datang kesana, karena mereka lebih suka menghabiskan waktu mereka di cafetaria atau nongkrong di depan kelas, buang-buang waktu. Adhista duduk di pojok paling belakang perpustakaan, dia menangis dengan surat yang berada ditangannya. Ya, Adhista yang sekarang sering kali menangis sendirian. Walaupun banyak yang perduli, namun pikir Adhista, mereka tak akan mengerti apa yang ia rasakan, jadi hanya buang-buang waktu saja Adhista menceritakan itu semuanya. Adhista menangis, dia bingung kenapa dirinya menjadi gadis cengeng seperti ini, menjadi tertutup dan tidak seaktif dulu. Ternyata, dampak Arjuna di hidupnya sangat besar. Padahal, Jika Adhista ingin mencari pengganti Arjuna tinggal pilih saja mau yang mana. Toh sudah banyak yang menyatakan perasaannya kepada Adhista sejak pertama masuk. Tapi, Adhista masih mencintai Arjuna, dan tak mungkin semudah itu melupakannya. Adhista hanya butuh waktu, sampai dia menemukan pengganti Arjuna, yang sebenarnya. Masih dihari, jam, dan tempat yang sama. Adhista menangis tanpa suara, tapi jika dilihat secara langsung, pasti kalian tau bahwa ia sedang menangis. Pundaknya naik turun, menandakan Adhista sedang menangis sangat hebat. Lelaki dengan wajah sedikit bule dan memakai tas selempang berwarna hitam itu memasuki perpustakaan. Dengan wajah seperti mencari-cari seseorang ditempat itu. Dia sangat pintar, katanya. Katanya, dia bisa masuk kampus ini karena beasiswa yang diterima nya. Lelaki itu sengaja ke perpustakaan sendirian, karena dia tau ada seseorang yang sedang tidak baik-baik saja didalam sini. Laki-laki itu duduk secara diam-diam di samping Adhista, pura-pura membaca buku, dan sesekali melirik kearahnya. "Ekhem," Adhista yang merasa risih, akhirnya menghindari laki-laki itu dengan menggeser sedikit tubuhnya agar ada jarak antara dirinya dan lelaki tadi. "Ngga usah ngejauh gitu," gumamnya yang masih setia menatap buku yang sejak awal ia baca. "Saya Nicolau Diratama Sarwapalaka, panggil aja Tama," ucap lelaki yang baru saja memperkenalkan dirinya dan Adhista hanya diam saja. "Udah ngga papa, nangis aja dulu. Kalo udah mendingan, jawab ya," gumam Tama dengan sabar menunggu Adhista menjawab pertanyaannya. Setengah jam kemudian... "Nangisin apa? Cerita sini sama saya," seru Tama, dan sedikit demi sedikit Adhista mulai mengangkat wajahnya. Maskaranya luntur, tidak parah sih, tapi sukses membuat laki-laki itu hampir tertawa. "Nih tissue, maskara kamu luntur," ucap Tama memberitahu sembari memberikan tissue kepada Adhista. Adhista menerimanya dan langsung mengusapkan nya di bagian mata. "Nicolau Diratama Sarwapalaka," ucap Tama sambil mengulurkan tangannya. "Adhista Chalondra," jawab Adhista membalas jabatan tangannya. "Ada masalah?" tanya lelaki yang menyebutkan bahwa namanya Tama. "Gapapa, gue duluan ya," ucap Adhista yang hendak pergi dari perpustakaan meninggalkan Diratama sendirian. "Kalo mau cerita, saya selalu ada. Cari aja di cafetaria, kalo ngga ada ya di perpustakaan," seru Tama dengan senyum manisnya dan Adhista hanya menatapnya tanpa ekspresi lalu langsung berjalan pergi meninggalkan pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD