“Bu, Lita berangkat dulu ya. Ibu jaga kesehatan di kampung.” Pamit Talita ketika dia dan keluarganya berada di stasiun. Erna mengelus puncak kepla putrinya, “Kamu yang harusnya hati-hati Nduk.”
Talita berusaha menahan tangisnya, “Ibu jangan nangis dong. Nanti Lita ikutan nagis.” Gerutu Talita yang hany ditanggapi senyuman oleh ibunya.
“Wes toh Bu,” ujar Fatur, ayah Talita menengahi kedua wanita yang dia sayangi dihidupnya.
“Nanti sampe di Jakarta langsung telfon Ibu ya Nduk. Jangan sampai lupa.” Pesan Erna yang langsung diangguki oleh Talita.
“Udah sana Nduk, nanti kamu ketinggalan sepur.”
Erna memukul pelan bahu sang suami, “Kamu nih Mas. Orang lagi enak ngobrol.” Kesal Erna.
“Nanti kalo anakmu ketinggalan sepur piye?”
Walaupun merengut, tak urung Erna juga melepaskan genggaman tangannya yang dari tadi terus menggenggam tangan putrinya. Talita dengan berat hati, mengambil alih kopernya yang dari tadi dipegang oleh ayahnya.
“Lita berangkat dulu Yah Bu,” Talit menyalimi punggung tangan orang tuanya bergantian.
“Telfon Ibu Nak jangan lupa.” Teriak ibunya kepada Talita yang jaraknya sudah lumayan jauh dari mereka.
“Wes toh Bu, lagian di sana ada Dzakki.” Erna langsung mengeluarkan ponselnya guna menghubungi putra sulungnya.
[Hallo, assalamu’alaikum ada apa Bu?]
“Wa’alaikumsalam, adikmu baru aja naik kereta. Nanti di samper ya Ki.”
[Siap Bu, percayakan Talita sama Dzakki ya Bu. Oh iya Bu, tadi Dzakki baru kirim uang ke rekening Bapak.]
“Enggih, terima kasih ya Nak.”
[Sama-sama Bu, Dzakki tutup ya Bu. Mau ada meeting, nanti Dzakki kabarin klo mau jemput adek.]
“Iya Nak, jaga kesehatan ya kamu. Ibu Ayah sayang sama kamu.”
[Dzakki juga sayang sama kalian. Wassalamu’alaikum Bu.]
“Wa’alaikumsalam.”
“Piye Bu?” tanya Fatur yang dari tadi hanya melihat mimik muka istrinya ketika berbicara dengan putra sulungnya.
“Nanti katanya kalo mau jemput Lita dia telfon lagi Yah. Dia mau meeting katanya, oh iya Pak Dzakki katanya ngirim uang ke rekening kamu.”
“Yaudah, nanti kita cek ya.” Erna menganggukkan kepalanya. Fatur sendiri langsung merangkul istrinya dan berjalan beriringan keluar dari statsiun. Mereka berdua tidak berhenti bersyukur mempunyai anak seperti Dzakki dan juga Talita.
****
Setelah meletakkan koper dan juga tasnya di atas dengan dibantu oleh petugas, Talita langsung duduk manis ditempat yang sudah dia pesan. Baru saja dia mendaratkan bokongnya di tempat duduk, ponsel di saku celananya bergetar tanda panggilan masuk.
“Halo, assalamu’alaikum Mas.”
[Wa’alaikumsalam, kenapa ngga bilang kalo udah di kereta?]
“Baru aja aku mau telfon, eh Mas udah telfon duluan.”
[Tadi ibu yang ngabarin Mas kalo kamu udah di kereta.]
“Nanti aku kabarin Mas kalo udah deket ya.”
[Harus lah, yaudah Mas mau meeting dulu. Wassalamu,alaikum.]
“Wa’alaikumsalam.”
Talita menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Baru kali ini dia merantau jauh dari kedua orag tanya, berat memang tapi mau bagaimana lagi. Ini keinginannya dari dulu, menjadi seorang wanita yang mandiri.
“Yuk bisa yuk Ta. Mas Dzakki aja bisa, masa kamu ngga.” Ujar Talita menyemangati dirinya sendiri. Selagi dalam perjalanannya, Tali memilih untuk menonton film di ponsel miliknya.
Akhinya penantian Talita terbayar. Dirinya sudah sampai di stasiun tujuan terakhir, stasiun Pasar Senen. Itu lah yang Talita lihat di plang yang terpajang di staiusn tersebut. Tdai dirinya sudah menghubungi Dzakki, dan masnya itu meminta untuk dirinya menunggu di dalam stasiun selagi menunggu sampai masnya datang.
“Lama ngga ya Mas datengnya.” Gumam Talita seraya berjalan menuju tempat menunggu. Dia melihat supermarket yang ada tempat duduknya untuk menunggu. Talita memutuskan untuk menunggu Dzakki di sana saja.
Talita tidak henti melihat ponselnya, memastikan masnya itun membalas pesan terakhirnya atau tidak. Tapi nihil, Dzakki tidak melihat pesannya hanya ceklis dua yang tersedia bukan ceklis biru tanda di baca.
“20 menit aja. Sejauh apa sih rumahnya mas Dzakki dari sini.” Dumel Talita. Dirinya sudah merasa lelah, ingin cepat-cepat istirahat.
“Ngga jauh kok, cuman lumayan aja.”
Talita terperanjat kaget mendengar suara bariton disampingnya, “Astaghfirullah, bisa ngga sih jangan ngagetin jadi orang.” Kesal Talita ditambah lagi dia melihat wajah masnya yang tersenyum seolah meledek dirinya. Jika di luar sana banyak wanita yang terpana hanya dengan senyuman masnya itu, tapi tidak untuk dirinya.
Dzakki tidak memperdulikan adiknya yang tengah bersungut. Dia langsung duduk dan meminum minuman adiknya yang ada di meja.
“Mas ih. Beli apa,” Talita tambah kesal dengan masnya itu.
Dzakki langsung berdiri dari duduknya dan mengambil alih koper sang adik, “Laper ngga?” tanya Dzakki seraya meraih tangan Talita.
“Ya kali nungguin hampir setengah jam ngga laper.”
Dzakki terkekeh mendengar nada bicara Talita, “Kangen deh sama Adek Mas yang cantik ini.” Ujar Dzakki dengan tangan yang menjawil pipi Talita.
“Adek ndak kangen tuh.” Ujar Talita memasang wajaha cueknya. Aslinya dia juga merindukan masnya ini. Rindu dengan kejahilan yang dibuat oleh masnya.
“Masa?” ledek Dzakki.
“Naik apa jemput aku?” Talita sengaja mengalihkan pembicaraan. Dzakki sendiri terkekeh mendengar apa yang ditanyakan adiknya itu. Dia tahu, Talita tengah mengalihkan pembicaraan.
“Dasar gengsi, bilang kangen aja susah banget.” Dzakki meninggalkan Talita dan melepaskan genggaman tangannya.
Talita tersenyum, ini yang dia indukan dengan masnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi dirinya langsung menyusul langkah kaki Dzakki dan merangkul tubuh masnya itu, “Ini nih yang Lita kangenin. Bapernya,” tawa Talita membuncah hanya meledek masnya saja. Dzakki tidak marah sedikit pun, dia malah merindukan tawa adiknya ini yang selalu membuat moodnya berubah menjadi baik.
“Mobil siapa Mas?” tanya Talita ketika mereka berdua sudah di dalam mobil.
Dzakki menyelesaikan memasang sabuk pengamannya dulu baru menjawab pertanyaan Talita, “Mobil kantor. Mau makan di mana?”
Talita mengangkat kedua bahunya, “Terserah.”
Dzakki memutar bola matanya dengan malas, kalimat yang selalu dia benci ketika bertanya dengan seorang wanita. Ingin rasanya dia memusnahkan kalimat tersebut.
“Mau McD?” tanya Dzakki yang langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Talita, “Terus maunya apa?”
“Ya terserah Mas aja.” Jawab Talita dengan ucapan seolah dirinya tidak bersalah. Padahal Talita yakin, masnya itu sudah kesal dengan dirinya. Tapi dia mau menguji, apakah kesabaran yang dimiliki masnya masih ada sampai sekarang.
Tanpa menanyakan lagi, Dzakki memberhentikan mobilnya tepat di depan penjual bakso dan mie ayam. Dirinya yakin, Talita tidak akan menolak tentang bakso.
“Nah kan tau ini, kenapa masih tanya aja tadi.” Tanpa menjawab apapun, Dzakki segera keluar dari mobilnya diikuti dengan sang adik.
“Mau telor apa urat baksonya?” tanya Dzakki.
“Telor aja, ada yang mercon ngga Pak?” tanya Talita kepada penjual baksonya.
“Ada neng."
“Yaudah aku mercon aja Mas.” Talita langsung meninggalkan masnya dan mencari bangku untuk mereka berdua.
Tidak lama kemudian, Dzakki ikut menyusul adiknya dan duduk tepat dihadapan Talita. Dia terus memperhatikan wajah adiknya itu, wajah yang dia rindukan dan kini berhadapan tepat di depannya.
Talita yang menyadari hal tersebut langsung mendongakan kepalanya, “Ngapain liatinnya kayak gitu banget sih Mas?”
“Kamu kayaknya tambah embul ya Dek.”
Merasa tidak terima dengan apa yang masnya ucapkan, talita sontak melempar masnya itu dengan gulungan tissue, “Aku bahagia ya. Emang kayak situ tambah item.” sengit Talita.
Dzakki terkekeh, “Ngga sempet Mas perawatan Dek. Lagian ngga ada yang ngurusin Mas di Jakarta.”
“Nikah mangkannya.” Jawab Talita seraya menyuruput minuman yang baru saja diantar oleh pelayan.
“Banyak cewe yang deketin Mas, tapi takutnya nanti ada yang cemburu lagi.” sindir Dzakki.
“Aku ngga cemburu yaa.” Talita menjeda kalimatnya sejenak, “Mas pernah denger ngga pepatah gini, patah hati terbesar seorang adik perempuan itu waktu kakak cowonya punya pacar. Pernah denger ngga?”
Dzakki diam sebentar, lalu menggelengkan kepalanya seraya mengaduk minumannya, “Emang iya?”
“Mangkannya, coba deh kita tuker posisi. Mas jadi aku, aku jadi Mas. Terus nanti aku macarin cewe yang aku suka, dan aku yakin pasti Mas bakalan merasa kalo aku berubah.”
Dzakki tersenyum hangat kepada adiknya, “Walaupun Mas udah punya istri nanti ya Dek, Mas ngga akan lupa atau pun sengaja buat lupain kamu.”
“Tapi kalo ternyatan istri Mas yang nyuruh lupain aku gimana? Kan banyak tuh zaman sekarang yang saudara saling melupakan.”
Dzakki mendekatkan wajahnya ke depan Talita, “Mas ngga akan mau sampai kapanpun. Mas sampai kapan pun yaa akan jadi orang yang ada di garda terdepan sebelum kamu nemuin pendamping hidup.”
Baru saja Talita mauangkat bicara, pesanan mereka datang. Dzakki pun langsung menuruh adiknya untuk memakan bakso yang ada dihadapannya. Obrolan bisa nanti mereka teruskan lagi.
Mereka berdua sekarang sudah berada di dalam mobil, Talita dari tadi tidak melepaskan tatapannya dari jendela disampingnya. Ini kali ketiganya di ke Jakarta. Biasanya kemarin-kemarin dia hanya sekedar berkunjung saja ke rumah masnya, tapi kali ini dia akan menetap di Jakarta entah sampai kapan.
“Mas, berarti nanti kalo aku dapet jodoh orang Jakarta aku bakalan stay di sini mulu dong yaa?”
Dzakki terkekeh mendengar pertanyaan adiknya itu, “Belum juga apa-apa, udah mikirin nikah.”
“Ya kan aku cuman ngomong doang.”
“Mas, nanti ajak aku jalan-jalan yaa?” pinta Talita yang langsung diangguki oleh Dzakki.
“Pasti, mau ke mana emang?”
“Enaknya ke mana?”
“Keliling Jakarta aja gimana?” tawar Dzakki.
Talita langsung menganggukan kepalanya antusias, “Mau. Mau banget Mas.”
Dzakki mengulurkan tangannya guna mengelus kepala sang adik, “Inget yaa, jangan terpengaruh sama temen yang baru kenal. Jakarta keras Ta, ngga kayak di Malang.”
“Siap bosku.”