2. Keluarga Abraham

1790 Words
“Gimana perkembangan kantor Fik?” tanya Ibnu seraya menutup al-qur’an yang baru saja dia baca. Fikar sendiri yang tadinya sudah berdiri, duduk kembali ketika abinya ingin berbincang. “Alhamdulillah Bi, lancar. Kemarin ada beberapa yang mau tanam saham lagi tapi Fikar mau minta pendapat Abi dulu enaknya gimana.” Jelas Fikar dengan nada sopannya. “Perusahaan kecil atau besar?” “Menengah Bi kayaknya.” Ibnu diam sejenak tidak langsung menjawab, “Kalo menurut Adi gimana?” tanya Ibnu mengenai orang kepercayaannya yang mana itu sekertaris sang anak. “Kalo kata mas Adi gak papa Bi, buat ningkatin pemasaran juga.” “Ya sudah kalo kata Adi gak papa, kamu acc aja ya Nak.” Fikar langsung menyetujui apa yang abinya katakan. “Bi, kata Ummi makan malam dulu baru ngobrol lagi.” Ujar Dania, adik dari Fikar yang mana putri bungsu dari Ibnu Abraham. Baik Ibnu maupun Fikar segera bangun dari duduknya. Pasalnya, Ummi Ita jika urusan makan nomor satu. Tidak boleh terlewatkan apapun alasannya. “Lama banget sih, makan dulu baru ngobrol lagi.” omel Ita ketika melihat putra sulungnya berjalan bersama sang suami dari mushola belakang rumah mereka. “Iya Ummi sayang. Ini kan Fikar juga mau makan.” “Dania, panggil mbak Inah yaa. Bilang makan dulu baru beres-beres belakang.” “Oke Mi.” Begitulah keluarga Abraham, tidak membedakan antara pembantu atau tuan rumah. Karena bagi mereka itu semua orang sama, sederajat dan tidak ada bedanya. Yang membedakan hanya amalan ibadah yang di punyai masing-masing orang. “Bi, sini makan dulu.” Ajak Ita. Inah sebenarnya sungkan jika harus makan bersama dengan majikannya. Tapi mau bagaimana lagi, majikannya selalu menyuruh dirinya untuk makan bersama. Ditambah lagi, ada putra sulung keluarga Abraham yang biasanya tidak di rumah. Fikar Putra Abraham, putra pertama dari pasangan Ibnu Abraham dan juga Ita Marlita. Fikar memang sudah mempunyai rumah sendiri, jadi tidak heran jika dirinya jarang main ke rumah kedua orang tuanya. Ini saja karena kegiatan mengaji bersama di rumahnya, dan itu sangat diwajibkan. Begitulah keluarga Abraham, selalu mementingkan urusan agama di utamakan. Karena prinsip seorang Ibnu Abraham adalah jika kamu mengejar akhirat, niscaya dunia akan berada digenggaman. Jadi, sesibuk apapun Fikar dan Dania keduanya diwajibkan untuk datang pengajian di malam jumat. Jika berhalangan pun, harus dengan alasan yang jelas. Fikar dan Dania yang memang dari kecil sudah diterapkan ilmu agama, tidak pernah membantah sekalipun. “Langsung pulang Nak kamu habis ini?” tanya Ibnu setelah mereka semua selesai makan. “Iya Bi, ada yang harus Fikar kerjain di rumah.” “Ummi udah bikinin kamu donat kentang di kulkas. Nanti kamu tinggal goreng atau masukin macrowave.” Fikar tersenyum senang, “Wah alhamdulillah. Syukron (makasih) ya Mi.” “Nia Ummi bikinin ngga?” “Kamu mah kalo ngga Ummi bikinin pasti ikut ngedumel.” Ita langsung bangun dari duduknya dan ikut membantu bi Inah membereskan meja makan. Begitupun dengan Dania, tapi yang mencuci tetap bi Inah. Mereka hanya membantu membawakan saja. Fikar menghampiri kulkas dan membukanya, benar saja di dalam kulkas sudah tersedia satu tempat tupperware yang mana pasti isinya donat kentang yang tadi umminya bilang. “Mi, yang ini kan?” tanya Fikar seraya mengangkat kotak tersebut. Ita langsung menghampiri putranya itu, “Iya itu. Nanti langsung masukin kulkas yaa.” “Siap ibu negara.” Fikar mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Ita, “Syukron ya Mi. Fikar izin pulang dulu.” Pamit Fikar seraya menyalimi punggung tangan umminya. “Hati-hati yaa bawa motornya. Lagian kenapa bawa motor sih Fik, kenapa ngga bawa mobil.” Omel Ita yang sangat tidak suka jika anaknya menggunakan motor. Jika Ita melihat ada anaknya atau suaminya naik motor, maka siap-siap kena ceramah dari dirinya. “Mi, tadi tuh macet loh. Fikr juga sampe rumah jam setengah enam. Jadi dari pada telat ke sininya, Fikar naik motor aja.” “Besok-besok jangan pokoknya.” Ita sendiri memang memiliki trauma dengan motor. Adik kandungnya meninggal karena kecelakaan motor di malam hari. “Iya Ummi sayang.” Fikar langsung menghampiri abinya yang asik dengan siaran tv yang sedang berlangsung, “Bi, Fikar pamit pulang yaa.” Pamit Fikar seraya menyalimi punggung tangan abinya, “Hati-hati yaa, udah malem soalnya.” Pesan Ibnu. “Iya Bi.” “Fik, apa kamu naik taxi aja? Biar motor kamu di sini, besok dianter sama pak Wira.” Ibnu langsung menyuruh sang istri duduk disebelahnya, dia paham sang istri memiliki trauma dengan yang namanya sepeda motor. “Sudah kamu pulang Fik, biar Ummi Abi yang urus.” Jika sudah dengan abinya, pasti umminya itu langsung tunduk. Umminya tidak pernah membantah abinya sekalipun, sangat penurut. Dan Fikar juga sangat ingin memiliki pendamping hidup seperti umminya, solehah, nurut dengan apa yang dikatakan sang suami. Pokoknya bagi Fikar paket lengkap tipe seperti umminya. “Ya udah, Fikar pamit ya Mi Bi. Salam ke Dania,” berhubung dirinya sedang terburu-buru jadi tidak sempat pamit degan adiknya yang kebetulan kamar sang adik ada di lantai atas. “Hati-hati pokoknya ya Fik.” Teriak Ita ketika Fikar sudah keluar dari pintu utama. “Udah toh Mi.” Ujar Ibnu yang masih bisa didengar oleh Fikar. Dia sendiri terkekeh melihat tingkah kedua orang tuanya. Sebelum benar-benar pergi, Fikar mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. “Halo, di mana bro?” [.....] “Langsung ke rumah ya kalo udah balik.” [....] “Oke gue tunggu.” Setelah memasukkan ponselnya, Fikar langsung menghidupkan motornya dan membelah jalan di malam hari. Dirinya harus begadang malam ini, banyak dokumen yang harus dia periksa. Fikar bukan hanya menjabat sebagai CEO di kantor abinya, melainkan juga sebagai kepala bagian HRD. Walupun dibagian HRD dirinya tidak terjun langsung, tapi tetap saja Fikar ikut berkecimpung di dalamnnya. Bagi Fikar ini bukanlah sebuah beban, melainkan sebuah amanah yang abinya percayakan. Tandanya dia dipercaya oleh abinya untuk memegang jabatan tersebut. Sesampainyan di rumah, Fikar segera membersihkan dirinya. Fikar termasuk tipikal pria yang suka kebersihan, bepergian dari manapun dia selalu membersihkan diri. Walau hanya sekedar cuci muka atau wudhu. Setelah selesai membersihkan badannya, Fikar memasukkan donat yang tadi umminya berikan ke dalam kulkas. Walaupun dirinya tinggal seorang diri, tapi kulkas di rumahnya selalu penuh. Siapa lagi jika bukan umminya yang mengisi. Terkadang adiknya sering bermalam di rumahnya. “Ya Allah Mi, banyak banget donatnya.” Gumam Fikar seraya menata donat dari tupperware ke dalam kulkas. Tok.. Tok.. Fikar langsung memasukkan semua donat ke dalam kulkas ketika mendengar suara ketukan pintu rumahnya. Dia bingung siapa yang bertamu di malam hari, padahal jika sahabatnya sekaligus tetangganya pasti akan langsung masuk ke dalam rumah tidak perlu mengetuk-ngetuk. “Kenapa—“ Fikar tidak melanjutkn perkataannya ketika melihat seorang wanita berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Baru saja dia mau memulai omelannya jika itu sahabatnya, tapi perkiraannya salah. “Cari siapa ya?” “Perkenalkan, saya tetangga baru di depan rumah kamu.” Ujar wanita itu. “Oh, iya. Salam kenal, saya Fikar.” Ketika wanita itu mau bersalaman, Fikar lebih dulu mensedekapkan tangannya di depan d**a. Wanita itu kikuk sendiri, dia tidak tahu jika tanggapannya akan seperti itu. “Saya Lidia,” “Ini ada sedikit oleh-oleh,” Lidia menyerahkan satu kantong plastik ke hadapan Fikar. Fikar sendiri langsung menerima apa yang disodorkan wanita itu. Umminya selalu mengingatkan tidak baik menolak hal baik yang datang. Dan baginya, ini salah satu cara bersilaturahmi antar tetangga. “Makasih ya.” Dari jauh, Fikar melihat sosok yang dari tadi dia tunggu, “Siapa Fik?” tanya sang sahabat ketika melihat wanita di depan rumah Fikar. Tidak biasanya Fikar menerima tamu wanita. “Ini yang nempatin rumah pak Bowo dulu Dzak.” Lidia menyapa pria itu, “Lidia.” Berbeda dengan Fikar, Dzakki menyambut uluran tangan wanita itu. “Dzakki, rumah saya yang itu.” Jawab Dzakki seraya menunjuk rumahnya yang berjarak tiga rumah dari rumah Fikar.” “Ya sudah, kalau begitu saya izin pamit ya. Selamat malam,” “Malam.” Jawab Dzakki dan Fikar bersamaan. “Wih cantik tuh Fik.” Canda Dzakki ketika mereka berdua masuk ke dalam rumah. Fikar hanya mengedikkan bahunya acuh. Dzakki sendiri tahu, jika jawaban sang sahabat akan seperti itu. Tidak heran memang, Fikar tipikal orang yang cuek dengan lawan jenis. Bahkan teman wanita saja Fikar tidak memiliki secara khusus, hanya partner kerja semata. “Cari awewe bro, entar lu disangka yang ngga-ngga loh.” “Ke sini niatnya mau kerja atau ngegosip?” tanya Fikar dengan nada datarnya. Dzakki bukannya sebal dengan tanggapan sang sahabat, dia malah terkekeh melihat ekspresi Fikar. “Lebih tepatnya bantuin lu ya. Gue mah ngga bawa kerjaan ke rumah.” “Adek lu jadi dateng?” tanya Fikar ketika keduanya sudah duduk di sofa yang ada di ruang kerja milik Fikar. “Udah, kan tadi gue ngejemput dia di stasiun.” Fikar mengangguk-anggukan kepalanya sebagai jawaban, “Jadi kerja di Abraham CORP?” “Bagian apa yang kosong?” Dzakki sebelumnya memang sudah bertanya mengenai pekerjaan di kantornya. Tapi waktu itu Fikar hanya menjawab, nanti liat aja ada atau ngga. “Divisi pemasaran ada yang kosong, kemarin ada yang resign soalnya.” “Yaudah, langsung interview besok?” “Boleh, soalnya kita lagi butuh tambahan buat pemasaran. Abi udah nyetujuin kerja sama yang kemaren diajuin PT. Insat.” “Alhamdulillah,” “Elu ya Dzak yang megang PT ini?” “Boleh, asal elu ngeridoin mah gue ayo aja.” “Kalo laper ada donat tuh dibawain sama Ummi.” “Entar aja, masih kenyang. Tadi gue sempet mampir ngajak adek gue kulineran.” Dzakki memang sudah akrab dengan keluarga Abraham. Jadi tidak heran jika nanti Ita atau Ibnu memperlakukan pria itu dengan baik. “Eh Fik, persyaratan buat lamar kerja apa aja?” “Suruh bawa ijazah aja, lamaran kerja yaa kayak biasanya aja sih. Kek ngga pernah ngelamar aja dah lu.” Tukas Fikar. Dzakki tertawa sejenak, “Lamar kerja mah sering banget yang belom ngelamar anak orang.” Tawa Dzakki langsung membuncah diikuti oleh Fikar. “Lu kan si Dewi ada.” Ujar Fikar yang mengetahui perihal kedekatan sahabat sekaligus bawahannya di kantor. “Kan cuman temen Fik. Gue ngga mau ngasih harapan apa-apa sama anak orang, masih ada adek gue yang sekarang jadi tanggung jawab gue. Nanti kalo gue pacaran, entar yang ada adek gue terlantar.” Fikar yang tadinya fokus dengan laptop di depannya, mengalihkan sejenak kepalanya kesamping, “Kan adek lu udah gede. Masa dijagain mulu.” “Ngga gitu Fik, kan dia ngerantau juga di sini. Lah kalo elu mah, si Dania ada orang tua di Jakarta. Adek gue kan harapannya cuman sama gue bro.” Fikar langsung menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu, “Salut gue punya sahabat kayak lu.” Setelah itu, keduanya langsung disibukkan oleh pekerjaan yang ada. Dzakki sebenarnya hanya membantu saja, tapi keberadaannya sangat membantu Fikar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD