5. Bunglon

267 Words
Rutinitas Talita di sore hari sudah dia lakukan semua. Dari mulai menyapu, mengepel sampai mencuci piring sudah semua. Talita menang sudah biasa mengerjakan itu semua di kampung. Ibunya lah yang membiasakan dirinya. Sekarang Talita tengah asik menonton siaran televisi. "Eh, astaghfirullah." Talita menepun dahinya, "Gue lupa, kan belum cetak foto." lanjutnya dan segera bangkit dari sofa menuju kamarnya. Untungnya Talita saat ini mengenakan piama panjang baju pendek, jadi tidaj terlalu ribet. Talita baru sadar, di rumah ini tidak ada kendaraan. Jadi dengan terpaksa, Talita jalan kaki sampai menemukan tukang cetak foto di depan perumahannya. Jarak tempuh dari rumahnya sampai tempat cuci foto tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dan sekarang Talita sudah sampai di tempat cuci foto. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga kasir di toko itu. "Saya mau cetak foto ukuran 3×4 bisa Mbak? Backgroundnya merah." "Oh bisa. Kirim saja ya fotonya ke gmail." Talita mengikuti instruksi dari penjaga kasir tersebut. "Sudah Mbak." lapor Talita setelah selesai mengirim foto ke pencetak foto. "Baik, silakan di tunggu ya Mbak." Talita mengambil bangku yang tidak jauh darinya untuk dia duduki, dan langsung memainkan ponselnya. "Bang, foto copy biasa." Seketika fokus Talita berubah mendengar suara bariton yang mulai dia kenali. Benar saja ketika dia mengangkat kepalanya dan mendapati Fikar ada di hadapannya. Talita bangkit dari duduknya dan berdiri tepat disamping Fikar, "Selamat sore Pak." Harapan Talita memang hanya sekedar harapan semata. Nyatanya, Fikar tidak menatap kearahnya. Hanya melirik sekilas, catat sekilas. Talita mengerutkan kedua alisnya, tadi ramah sekali di kantor, sekarang tidak ada ramah-ramahnya. Aneh, seperti bunglon saja yang bisa berubah warna semaunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD