4. Jadi Candu

2375 Words
Akhirnya tugas yang masnya berikan sudah selesai. Setelah menyiapkan semuanya ke dalam kotak makan, Talita bersiap ke kamarnya guna membersihkan dirinya. Walaupun waktu belum menunjukkan siang hari, tidak ada salahnya Talita berjalan lebih dulu. Dia ingin tahu bagaimana sekeliling kantor masnya itu. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Talita untuk membersihkan badannya. Talita sudah tampil dengan pakaian casualnya. Dia mengenakan kaos putih yang di lapisi dengan jaket levisnya. Di padukan dengan celana jeans, jangan lupakan rambunya yang dia ikat kuda. Jarang sekali ketika keluar rumah, Talita menggeraikan rambutnya. Pasti selalu dia kuncir. "Oke, let's go." Mengingat sesuatu, langkah Talita berhent, "Kan gue ngga tau kantor mas Dzakki ya." gumamnya dan langsung mengeluarkan ponsel dari sligbag yang dia pakai. Lumayan cukup lama untuk masnya itu mengangkat panggilan darinya. [Halo, kenapa Ta?] "Mas, alamat kantor Mas di mana?" Di ujung sana, Talita mendengar masnya itu terkekeh. [Astaghfirullah, Mas lupa Ta. Yaudah, ini Mas share lock ya. Kamu naik taxi aja ke sininya.] "Oke Mas." Tut, Panggilan terputus dan Dzakki langsung mengiriminya pesan yang mana berisikan lokasi kantornya. "Ini mah deket dong." guman Talita setelah melihat jarak antara rumah masnya dengan kantor tempat masnya kerja. Hanya di tempuh setengah jam di maps. Sangat kebetulan sekali, ketika dirinya keluar rumah, Talita melihat sebuah taxi yang mana baru menurunkan orang. Tangannya langsung menghentikan taxi itu ketika melewati dirinya. Dan masuk ke dalam taxi. "Pak, ke Abraham CORP ya." "Baik Mbak." Dzakki tadi mengatakan kepada adiknya itu, kantor tempatnya kerja lumayan terkenal. Jadi tidak susah untuk Talita menuju kantornya. Selama perjalanan, Talita memainkan ponselnya. Dia masih penasaran dengan sosok pria yang tadi pagi dia lihat. Siapa tahu dewi keberuntungan bersamanya dan dia bisa langsung menemukan akun pria itu. Di benaknya mengatakan untuk mengunjungi akun masnya. Dan benar saja, dia melihat salah satu postingan masnya itu. Foto di mana menunjukkan masnya bersama dengan pria yang tadi pagi dia lihat. Walaupun pria yang tadi pagi itu mengenakan kaca mata, tapi Talita bisa mengenalinya sangat jelas. "Yes." gumam Talita dengan tangan yang dia gerakkan. "Kalo ngestalking doi, cewe emang jagonya." kekeh Talita ketika mengingat fakta yang baru saja dia ucapkan. Memang benar, kata kunci berada di orang sekitat dan juga mengantongi nama lengkap orang yang di cari. Tidak mencapai satu jam, orang yang di cari sudah di dapatkan. "Sudah sampai Mbak." Talita langsung mengangkat kepalanya dan menatap sekelilingnya. Benar, dia sudah sampai di depan lobby yang mana tempat khusus untuk penurunan orang dari dalam taxi. Kesan pertama yang Talita berikan adalah takjub. Kantor ini begitu besar, sangat besar bahkan. Setelah menyerahkan selembar uang simpanannya, Talita turun dari dalam mobil. Berhubung masnya tidak memberikan uang tunai, Talita jadi menggunakan sisa uangnya saja dari kampung kemarin. Senyum langsung mengembang di wajahnya ketika melihat sosok wanita yang mengenakan style setelan jas kantor atas bawah yang sangat dia suka. Dia membayangkan jika nanti dirinya akan seperti itu. Pasti terlihat keren. Lamunannya terhenti ketika merasa getaran di ponselnya. Ketika melihat id sang pemanggil, ternyata masnya lah yang menelfon. "Halo, Mas Lita udah di depan kantor." [Oke, kamu masuk nanti ada ruang tunggu kayak sofa gitu di deket resepsionis. Tunggu Mas di situ ya.] Jujur, Talita merutuki dirinya sendiri. Dia lupa membawa paper bag, hanya kotak makan yang saat ini dia genggam. Ketika ingin memindahkan kotak makan itu dari pelukannya di sebelah kiri, Talita menghimpit ponselnya antara pundak kiri dan kepala yang dia miringkan. Pasalnya, ada dua kotak makan yang dia bawa. Naas memang dia hari ini. Seseorang datang dari belakang menabrak dirinya dan kotak makan yang dia bawa tadi sudah jatuh dan isinya berhamburan ke mana-mana. "Jang—" baru saja mulutnya mau mengucapkan sumpah serapah, tapi dunia seolah berhenti ketika melihat siapa yang menabrak dirinya. "Eh, astaghfirullah. Sorry, saya ngga liat." pria yang menabrak Talita langsung membantu Talita mengambil kotak makan yang terjatuh. Talita sendiri? Masih terpesona dengan pria itu. Bahkan senyum sudah mengembang di wajahnya. "Iya gak papa kok." padahal tadi dia mau mengeluarkan sumpah serapahnya tapi dia urungkan ketika melihat siapa yang menabraknya. "Mau saya ganti aja?" Mendengar apa yang pria itu katakan, membuat senyum Talita tambah mengembang. "Boleh Pak." Talita yakin, pasti pria itu menganggap makanan ini miliknya yang akan dia santap dan mengajaknya makan bersama untuk mengganti makanan yang jatuh itu. Talita langsung mengernyitkan dahinya bingung ketika melihat pria itu mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya. Tidak, ini tidak benar. Bukan begini caranya meminta maaf bagi Talita. Dia tidak pernah di ajarkan oleh orang tuanya jika melakukan kesalahan bisa di tebus dengan uang. "Ini," pria itu menyodorkan selembar uang yang dia keluarkan. Bukannya menerima, Talita malah melipat kedua tangannya di depan d**a. "Maksudnya apa ya Pak?" tanya Talita masih berusaha berbicara dengan nada sopannya. Bapak dan ibunya sering berpesan, di mana pun dia berada harus mengedepankan attitudenya. "Ini, kamu bisa beli lagi makanan ini di depan sana." Talita ikut menatap ke mana tatapan pria itu menuju. Ternyata pria itu menunjuk ke sebuah jejeran penjual makanan. "Kurang?" tanta pria itu merasa uang yang dia sodorkan tidak diambil juga. Merasa tidak ada jawaban, pria itu kembali mengeluarkan dompetnya dan uang yang ada di dalamnya. "Stop. Apa semua itu bisa di beli dengan uang?" "Terus?" "Ya.." Talita bingung ingin mengatakan apa. "Loh, Ta? Kenapa masih di sini?" Sontak Talita langsung melihat ke mana arah suara itu berasal, suara yang sangat dia kenali. "Ini Mas, makanannya—" "Lah, lu ngapain disini Fik?" Pria itu menatap kearah Dzakki dan gadis yang ada di hadapannya secara bergantian. "Dia—" Dzakki yang paham langsung menganggukan kepalanya, "Iya dia Adek gue." Dalam hatinya, Talita bersorak gembira mengetahui fakta yang baru saja dia lihat. Dan dirinya seolah melupakan kesalahan pria itu. Amarah yang ada di hatinya juga sudah meluap entah ke mana. "Ta, kenalin, dia boss Mas di sini." Baru saja Talita mengulurkan tangannya, tapi yang dia dapat hanya tangan yang mengambang di udara. "Fikar." sahut pria itu dengan tangan yang dia sedekapkan di depan d**a. Melihat hal itu, Dzakki terkekeh. Dia lupa, jika sahabatnya ini sangat agamis. "Yaudah, gue masuk dulu ya Dzak." Fikar menatap kearah Talita yang juga tengah menatapnya, "Maaf ya Mbak soal ini." "Iya Pak, gak papa kok." Melihat punggung Fikar sudah berlalu, Talita memegang d**a bagian kirinya. Dia merasa dadanya berdebar kencang. Dan senyumpun tidak luntur dari bibirnya. Tatapannya pun tidak lepas dari punggung Fikar yang menjauh. Sampai Talita terlonjak karena tangan Dzakki yang memukuk bahunya pelan. "Oy," "Eh, astaghfirullah. Mas ih, ngagetin aja." dumel Talita yang merasa tidak suka di kagetkan seperti itu. "Lagian bengong aja." "Mas, makananan Mas jatoh." Talita menundukkan kepalanya, menatap nasi beserta lauknya yang sudah berhamburan. Dzakki terkekeh melihat wajah sendu adiknya itu, "Di rumah masih ada kan masakan yang kamu masak?" Talita mengangkat kepalanya, "Masih." "Yaudah, nanti aja di rumah Mas makan masakan kamu nya. Sekarang, kita makan di kantin kantor Mas aja." Tunggu, tadi pagi bukannya masnya itu mengatakan lebih suka masakan rumah dari pada masakan di luar? "Katanya ngga suka makanan di luar. Tapi kok ngajak makan di kantin." sindir Talita. Bukannya menjawab, Dzakki lebih memilih menarik pergelangan tangan adiknya. Talita yang mengikuti langkah Dzakki, mencibir pria itu dari belakang. Sedikit kesal sebenarnya, kalau mau makan masakan luar, kenapa juga dia harus mengantarkan masakan rumah. "Terpaksa. Masa Mas ngga makan siang? Kan makanannya kamu tumpahin." Merasa tidak terima dengan apa yang masnya katakan, Talita langsung menghentikan langkahnya. "Kok aku? Temen Mas itu loh yang salah." Dzakki yang langkahnya ikut terhenti, langsung membalikkan badannya menatap lekat wajah adiknya. "Eh, kenapa jadi salah menyalahkan?" Talita langsung menundukkan kepalanya, dia takut jika Dzakki sudah mengeluarkan nada tegasnya. Lebih menyeramkan dari apapun bagi Talita. "Kamu yang salah kan tadi?" tanya Dzakki yang langsung mendapatkan anggukan dari Talita. "Good. Inget, jangan pernah melempar kesalahan yang kita lakukan ke orang lain." Dzakki kembali menarik pergelangan tangan adiknya menuju kantin. Ini yang Talita rindukan. Omelan dari masnya, hanya perihal masalah kecil seperti ini. Bagi Dzakki, masalah kecil akan menjadi besar jika tidak di selesaikan secepatnya. Dzakki menyuruh adiknya itu untuk duduk lebih dulu. Biar dia saja yang memesan makanan. Talita bingung ingin duduk di sebelah mana. Dan tatapannya langsung menuju pria yang mana boss masnya itu. Dan sangat kebetulan, tidak ada siapapun di sebelahnya. "Permisi, di sini masih kosong Pak?" tanya Talita dengan senyum yang mengembang. Tatapan semua orang yang ada di kantin langsung menuju ke arah Talita. Diam-diam mereka memberi acungan jempol kepada Talita yang sangat berani menumpang duduk di tempat atasan mereka yang terkenal sangat dingin kepada siapapun. "Silakan, saya juga mau pergi." sahut Fikar dengan nada datarnya. Talita diam-diam bertanya di dalam hatinya. Tadi pria yang di depannya ini tidak sedatar ini. Tapi sekarang, menjadi pribadi yang berbeda. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Fikar bangkit dari duduknya ketika sudah menyelesaikan makan siangnya. "Fik? Tumben makan di kantin?" tanya Dzakki yang baru datang dari tempat membeli makanan. Dia tadi sempat kebingungan di mana keberadaan adiknya. "Udah selesai Dzak. Oh iya, abis ini langsung ke ruangan gue ya." tanpa menunggu jawaban dari Dzakki, Fikar sudah lebih dulu melangkahkan kakinya. Meninggalkan meja makan yang mana ada Talita masih diam seribu bahasa. Dzakki yang memang sudah hafal dengan karakter sahabatnya itu, hanya diam saja. Percuma juga membantah, ujung-ujungnya Dzakki akan langsung di datangi di divisinya oleh Fikar. "Mas, tadi orang yang sama kan ya? Yang kayak nabrak aku tadi di lobby?" tanya Talita masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Dzakki menyodorkan piring yang berisikan nasi putih dan kuah soto ke hadapan adiknya. "Iya, kenapa emang?" "Aneh Mas." Dzakki terkekeh, "Biasa dia begitu. Nanti juga kamu tahu sendiri." Talita hanya menganggukkan kepalanya saja. Dapat dia simpulkan di sini, pria yang bernama Fikar itu berpribadi ganda. Bisa berubah-ubah seperti layaknya bunglon. "Oh iya Dek, udah bawa semua yang Mas bilang kemarin kan?" Talita mengernyitkan dahinya bingung, "Surat-surat buat lamaran kerja itu tah Mas?" "Iya, bawa kan?" "Alhamdulillah bawa." "Yaudah, pulang dari sini kamu langsung siapin semua keperluan buat lamaran besok. Nanti Mas kirimin secara lengkap persyaratannya. Kalau kamu belum ada foto, bisa ke depan komplek aja. Di sana ada tempat cuci foto ya." Talita mengacungkan ibu jarinya ke hadapan Dzakki, "Siipp." Keduanya kembali melanjutkan makan mereka yang sempat tertunda. "Abis ini langsung balik ya Dek." ujar Dzakki setelah menelungkupkan sendok dan garpunya di atas piring. Talita yang belum menyelesaikan makannya, langsung menatap kearah Dzakki dengan mulut yang penuh dengan makanan. Dzakki terkekeh melihat ada sesuatu di pinggiran mulut adiknya. Tangannya langsung terulur, menyingkirkan satu butir nasi yang ada di pinggir mulut Talita. "Pelan-pelan apa makannya." "Hehe, kebiasaan Mas." Talita menunjukkan deretan giginya. Dzakki hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan adik semata wayangnya. Tanpa mereka sadari, ada tatapan seseorang menghunus kearah Talita. "Nanti aku pulang naik apa Mas?" "Ke sini naik apa tadi?" "Naik taxi." "Terus kenapa nanya lagi?" Talita berdecak mendengar jawaban yang bertele-tele dari masnya itu, "Kenapa bertele-tele sih. Tinggal bilang naik taxi aja, pake ribet gitu." kesal Talita. "Berapa tadi naik taxi ke sini?" "Dua puluh ribu. Tapi tadi pake duit aku loh Mas." Dzakki langsung menatap adiknya dengan kernyitan di dahi, "Kok gitu? Kan Mas udah kasih ATM." "Aku belum sempet ngambil Mas." Tidak mau ambil pusing, Dzakki mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya dan memberi adiknya itu selembar uang berwarna merah. Untung saja di dalam dompetnya masih tersisa uang tunai. "Cukup?" Talita langsung mengambil uang yang Dzakki sodorkan, "Cukup." sahutnya dengan senyum yang mengembang. Setidaknya uang yang masnya berikan bisa menggantikan uangnya yang sempat terpakai dan pasti sisa uangnya. "Yaudah, Mas duluan ya. Mau ke ruangan Fikar." pamit Dzakki. Sebelum Dzakki meninggal adiknya itu, seperti biasa, dia menyodorkan tangannya yang langsung di tanggapi oleh Talita untuk dia salimi. "Pulang jam berapa Mas?" "Kurang tahu, nanti Mas kabarin kalau mau pulang ya. Kamu hati-hati pulangnya." Apa yang kakak beradik itu lakukan menjadi pusat perhatian di kantin tanpa mereka sadari. Secara siapa yang tidak mengenal sosok Dzakki yang terkenal dekat dengan boss mereka. Dzakki juga termasuk golongan pria tampan yang menjadi incaran satu kantor selain Fikar. Jika Dzakki berjalan beriringan bersama Fikar, keduanya pasti akan menjadi pusat perhatian. Melihat masnya sudah menjauh, Talita bersiap untuk pulang. Baru saja dia mau mengangkat bokongnya, tiba-tiba di depannya sudah ada seorang wanita yang tidak dia kenal duduk. "Siapanya Dzakki?" tanya wanita itu dengan geramnya. Talita mengernyitkan dahinya, "Maaf, kamu siapa ya?" "Udah deh, ngga usah banyak cincong. Lu siapanya Dzakki? Tolong ya cukup Dewi yang jadi saingan gue." Kebingungan bertambah di fikiran Talita. Siapa wanita ini? Tidak mungkin jika dia wanita yang dekat dengan masnya. Talita cukup mengenal bagaimana kriteria wanita yang masnya inginkan. Dan wanita yang ada di hadapannya, tidak masuk ke dalam list untuk masnya. "Maaf banget ya Mbak. Mbak siapanya kalau boleh tahu, sampai mau tahu saya siapanya mas Dzakki?" Talita masih sama, mengedepankan etika di manapun. Brak, Talita tersentak kaget ketika mendengar wanita di depannya menggebrak meja. "Ngga usah sok deh lu. Jawab aja sih, susah banget tinggal bilang siapa." Tidak, Talita tidak mau mengatakan jika dia adik dari Dzakki. Sebelumnya hal semacam ini sudah dia fikirkan matang-matang. Talita tidak mau di sangkut pautkan dirinya dengan Dzakki sebagai status kakak dan adik. Baginya biar saja orang-orang mau berekspektasi apa perihal dirinya dan Dzakki. "b***h. Lu siapanya Dzakki anjir." Talita menggelengkan kepalanya. Dia jadi berfikir, wanita di depannya ini bukan wanita berkelas. Tidak nampak seperti wanita yang berpendidikan. Tingkahnya sama seperti orang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. "Maaf ya Mbak. Maaf banget, kenapa Mbaknya harus tahu ya? Apa penting buat Mbaknya?" "Ya iyalah penting." "Ada apa ini ribut-ribut?" Kantin yang tadinya ramai, mendadak sunyi ketika suara seseorang menggema. "Ada apa Tiara?" Bukannya menjawab, wanita itu lebih memilih meninggalkan Talita dan Fikar yang baru saja datang. Fikar hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan karyawan sekaligus anak sahabat abinya itu. Sudah lama, Fikar sebenarnya ingin memecat Tiara. Tapi dia ingat, ayah Tiara merupakan kerabat dekat abinya. Dia hanya takut, jika Tiara mengadu yang tidak-tidak ketika dia memecatnya. "Langsung pulang." setelah mengucapkan kalimat itu, Fikar kembali melanjutkan langkahnya. Talita diam, dia masih mencerna apa yang Fikar katakan. Dia menatap sekelilingnya, takut Fikar bukan berkata seperti itu kepadanya. Tapi nyatanya, meja yang dia tempati jauh dari banyak orang. Tempatnya berada di ujung ruangan. Hatinya tiba-tiba menghangat ketika menyadari hal itu. Mulai detik ini, Talita akan menjadikan Fikar sebagai candu untuk dirinya. Candu dalam berbagai hal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD