Rumah
Pagi hari biasanya disambut dengan ceria dan di pagi hari juga biasanya disambut dengan senyuman keluarga yang menyapa di meja makan, itu hanya biasanya di luaran sana tidak dengan kehidupan Diandra.
Seharusnya memang seperti itu, tapi tidak untuk Diandra. Pagi harinya sebelum berangkat kerja disambut dengan suara panci dibanting-banting dari arah dapur dan tentunya dengan dibumbui omelan ibunya. Bahkan Diandra enggan untuk menghampiri hanya untuk berpamitan.
"Di berangkat dulu Bu Yah," ucapnya sedikit berteriak seraya berlalu keluar rumah. Tangannya meraih helm dan kunci motornya yang tergantunh di pintu.
"Mbak?" mendengar ada yang memanggilnya, Diandra menolehkan kepalanya ke belakang, "Apa Vin?"
Kevin -adik kandung Diandra- menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Eeee itu..."
Diandra menunggu apa yang akan adiknya sampaikan, "Apa cepet? Mbak udah kesiangan ini."
"Aku kehabisan duit Mbak buat print makalah buat tugas akhir, duit yang Mbak Di kasih udah habis."
Perlahan Diandra menghembuskan nafasnya, "Nanti Mbak transfer ya, kamu udah mau berangkat?" tanyanya melihat pakaian sang adik sudah rapih.
Kevin menganggukan kepalanya, "Sebenernya aku matkul siang Mbak, tapi males di rumah mending aku ke rumah Mas Rafa aja."
Benar, lebih baik adiknya ke rumah sepupunya. Mentalnya akan terjaga di sana dari pada di rumah sendiri. Tempatnya mengistirahatkan badan tidak bisa di bilang 'rumah'. Definisi 'rumah' yang sesungguhnya bagi Diandra adalah di dalamnya terdapat canda tawa yang membuat jiwanya tenang bukan malah sebaliknya.
Terkadang Diandra berfikir untuk menyewa kost-kostan saja dari pada tinggal di rumah. Tapi dia tidak lepas hati meninggalkan Kevin di rumah. Bukan seolah-seolah tidak memikirkan orangtuanya, tapi keadaan yang membuatnya menjadi seperti ini.
Bahkan jika disuruh memilih, Diandra lebih menyarankan orangtuanya untuk berpisah saja. Percuma jika masih bersatu tapi saling menyakiti. Walaupun ayahnya tidak main tangan, tapi perlakuan ayahnya yang membuat sang ibu meluapkan emosinya. Ayahnya berselingkuh dengan mantan teman kantornya.
Perilaku ayahnya yang seperti itulah yang membuat Diandra sampai detik ini belum mau membuka hatinya, sebuah trauma yang melekat di hatinya. Walaupun dia tahu tidak semua pria seperti ayahnya.
Sepanjang perjalanan fikirannya tidak ditempat. Banyak yang harus dirinya fikirkan. Bahkan seringkali, Diandra mengesampingkan urusan pribadinya.
Ketika fikirannya sedang kalut, tanpa dia sadari dirinya menabrak bumper bagian belakang mobil.
"Allahuakbar," lirihnya menatap yang dia tabrak. Entah kesialan apa lagi yang akan dia hadapi hari ini.
***
"Van makan dulu Nak."
Mendengar teriakan yang dia suka, Yoovan bergegas menuruni tangganya untuk menyambut panggilan merdu itu dengan senyumnya yang merekah.
Setibanya disamping wanita yang tadi memanggil dirinya, Yoovan menyempatkan diri mencium pipi kanannya, "Masak apa Mi pagi ini?" tanya Yoovan seraya menarik kursi meja makan.
"Main ciam cium aja, punya Papi itu," sungut seorang pria yang duduk diujung meja makan.
"Udah ih, plis yaa jangan rusak pagi Mami. Ngga anak ngga bapak sama aja cemburuannya," omel Safira -Mami Yoovan- pusing mendengar masalah kecemburuan yang sering terjadi.
Yoovan mendengar itu terkekeh, sudah biasa baginya menggoda sang papi, "Ara mana Mi?"
"Yuhu... Ara di sini.."
Yoovan menoleh ke arah adiknya yang tengah berjalan ke meja makan, "Rapih banget kamu pagi-pagi? Bukannya udah selesai ya semesterannya?"
Clara -Adik Yoovan- duduk disamping Papinya, "Mau ke rumahnya Bang Al, anterin sekalian ya Mas?" pintanya dengan menaik turunkan alisnya disertai senyuman manis yang biasanya membuat orang di rumah ini akan luluh.
Yoovan memutar kedua bola matanya jengah, "Hm."
Acara makan pagipun selesai, Aditya -Papi Yoovan- menyudahi lebih dulu, "Kamu mau ke studio Van? Atau ke kantor?" padahal hanya melihat pakaian yang dikenakan putranya, Adit sudah bisa tahu kemana putranya akan pergi. Tidak lain dan tidak bukan rumah keduanya, studio.
"Papi ngga liat pakaian Mas Yo, itu bukan pakaian kerja Papi," bukan Yoovan yang menjawab melainkan adiknya yang sangat cerewet.
Adit terkekeh mendengarnya, "Papi tahu sayang. Ya sudah Papi berangkat dulu ya. Yuk Mi, anterin sampai depan."
Safira mengangguk menuruti apa yang suaminya katakan, "Padahal cuman ke depan ya Mas Papi manja banget pake dianterin," cicit Clara yang dibalas kekehan Maminya, "Itu namanya taat sayang. Ya sudah, nanti tinggal aja piringnya ya biar Mbak yang beresin."
Setelah menyelesaikan sarapannya, Clara dan Yoovan ikut berpamitan ke Maminya, "Udah dibawain rantang yang Mami siapin Dek?" tanyanya kepada sibungsu.
Clara mengangkat rantang yang dia bawa, "Ini 'kan?" tanyanya yang diangguki sang Mami.
"Yoovan jalan ya Mi, assalamu'alaikum," pamit Yoovan seraya menyalimi Safira begitupun Clara melakukan hal yang sama.
"Mas," panggil Clara ketika keduanya sudah di dalam mobil. Yoovan hanya membalas panggilan itu dengan dehamannya.
"Bang Al ngga mau nyari ibu baru apa ya buat Feli?"
Pertanyaan yang sebenarnya Yoovan juga tidak bisa menjawab. Sudah kesekian kalinya Yoovan juga bertanya hal yang sama dengan Abangnya, tapi tetap dianggap angin lalu.
Yoovan mengedikkan kedua bahunya, "Mas juga ngga tahu. Abang kamu itu orangnya susah ditebak. Biarin aja gimana dia jalanin hidupnya. Yang penting Feli ngga kehilangan sosok orangtua."
"Iya sih, tapi aku kesian ngeliatnya Mas."
Mobil yang dikemudikan Yoovan sudah tiba di depan rumah kakaknya, "Di dalem nanti, jangan sekali-kali kamu tanya ini ya ke Bang Al ya Dek. Akhir-akhir ini kerjaan di kantor numpuk, jangan tambahin beban ke Bang Al," pesan Yoovan mengultimatum sang adik, jika tidak seperti ini Yoovan yakin Clara akan mencecar Abangnya dengan pertanyaan yang tadi dia tanyakan.
Clara mengangguk patuh, "Nanti aku izin main boleh? Mau nonton aja kok."
Tangannya meraih dompet disaku celana belakangnya, "Izin sama Papi Mami jangan lupa," sudah menjadi kebiasaan Yoovan memberikan uang jajan ke adiknya. Walaupun orangtuanya juga tetap memberikan Clara uang bulanan, tapi Yoovan tetaplah Yoovan yang sangat menyayangi keluarganya.
"Mas ngga mau mampir?" tanya Clara sebelum membuka pintu mobil, kepalanya menoleh sejenak kearah Yoovan. Yang ditanyapun menjawab dengan gelengan kepala, "Salamin aja sama Bang Al. Nanti sore aja Mas mampir dari studio."
Setelah memastikan sang adik masuk ke dalam rumah Abangnya, barulah Yoovan menjalankan kembali mobilnya menuju studionya di bilangan Jakarta Selatan.
Dipertengahan perjalanannya, ponselnya bergetar tanda ada panggilan masuk dan tertera nama Abangnya yang menelfon
"Halo, kenapa Bang?" jawabnya dari sambungan blueetooth di audionya.
"Kenapa ngga turun? Si Feli nanyain lo ini."
Yoovan terkekeh sejenak, keponakannya itu memang sangat menyukai dirinya.
"Nanti deh ya balik dari studio. Ada yang mau gue urus dulu soalnya."
"Kerja mulu Van, cari istri gidah."
"Idih sengak banget duda ini. Ngga ngaca apa, dirinya juga ngga ada pasangan," timpalnya membuat Alvaro -Abang Yoovan- terkekeh diseberang sana.
"Ya setidaknya gue udah ngerasain. Lah lo?"
"Kawin mah gue sering, nikah yang beloman."
"Skip lah skip, omongan dewasa ini. Gue cuman mau nyampein itu aja udah ponakan lo nyariin ayahnya."
"Iya nanti gue ke ru-"
Suara debuman keras terdengar dari belakang mobilnya, membuat Yoovan menatap kamera belakang mobilnya yang tertera di layar dashboard.
"Kenapa Van?"
"Gue matiin dulu ya," tanpa ada salam, Yoovan memutuskan sambungan panggilan sepihak.
Niat hati ingin turun melihat apa yang terjadi, tapi apa dayanya lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau. Jadilah Yoovan memilih menepikan mobilnya yang diikuti sipenabrak tadi. Menyelesaikan apa yang baru saja terjadi.