BAB 2 - Mengakhiri pertemanan

1048 Words
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Lima hari sebelum Valerie menghilang. Nasi sudah menjadi bubur agaknya tepat mewakili situasi yang terjadi saat ini. Valerie sudah memutuskan untuk tidak lagi berteman dengan seseorang yang mengkhianatinya dan juga memilih untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan seseorang yang sudah membohonginya. Jika diingat-ingat kembali, kecurigaan Valerie sudah dimulai sejak satu bulan ke belakang. Dimana Andreas mulai lebih sering memberi perhatian-perhatian kecil kepada Rain. Awalnya Valerie biasa saja, tetapi setelah malam itu, setelah matanya melihat semua kebenaran, barulah ia menyadari bahwa hati Andreas tak sepenuhnya jatuh untuk dirinya. Andreas hanya memanfaatkan situasi. Ketenaran yang dimiliki Valerie dipergunakannya untuk kepentingan pribadi. Hingga ia menjadi egois, mengesampingkan perasaannya yang justru jatuh kepada Rain alih-alih Valerie. Namun menjalin hubungan dengan Valerie memang terlihat jauh menguntungkan dibandingkan Rain. Andreas mendapatkan banyak kemudahan setelahnya dan kini, Valerie akan mengambil semuanya kembali. Seperti saat awal, dimana Andreas dan Valerie belum pernah berpacaran. *** Setelah berhasil membuat kegaduhan, kini waktunya Valerie meninggalkan sekolah. Bel terakhir sudah berbunyi dan murid-murid mulai berlarian keluar dari kelas. Belajar memang melelahkan, terutama untuk anak-anak yang sering dibantu oleh kekuasaan orang tua. Kebanyakan dari mereka hanya pergi ke sekolah tanpa benar-benar memahami ilmu pelajaran yang diberikan. Mereka bilang, sekolah hanya untuk bersenang-senang. Menghamburkan uang, menghabiskan waktu bersama teman, dan lainnya. Tanpa mereka tahu bahwa di luar sana, masih banyak manusia-manusia kurang beruntung yang ingin bersekolah, menggantikan posisi mereka sekarang dan mempergunakan kesempatan itu dengan sungguh-sungguh. Mobil SUV berwarna hitam berhenti tepat di depan Valerie. Kaca jendela di balik kemudi pun perlahan diturunkan, menunjukkan wajah tak asing yang cukup dikenal oleh gadis itu. "Sore, Non," sapa pria di balik kemudi. Dia adalah Pak Jaka. Supir pribadi yang diminta Edwin untuk mengantar jemput satu-satunya anak yang dimilikinya itu ke manapun. Termasuk ke sekolah, ke rumah teman, ke Mall, kemanapun, asal tetap dalam jangkauan Edwin dan Wina. Sudah hampir dari lima tahun Pak Jaka bekerja untuk keluarga Edwin. Ia adalah pribadi yang pekerja keras, sifatnya ramah dan santun. Pantas jika hubungan mitra antara dua orang ini berjalan cukup baik untuk waktu yang cukup lama. Valerie mengangguk sopan sebelum kemudian langsung berjalan masuk ke dalam mobil tersebut. Gadis itu duduk di jok belakang setelah dengan santainya melempar ransel berwarna lilac, warna kesukaannya ke sisi lain jok. Valerie lantas menutup pintu dan memasang sabuk pengaman seperti yang biasa ia lakukan setiap kali berada dalam kendaraan. Mobil pun kembali bergerak maju, meninggalkan area sekolah. "Gimana sekolah hari ini, Non?" tanya Pak Jaka. "Kayaknya mukanya kusut banget, nih." Karena hubungan yang berjalan cukup lama, Pak Jaka sudah seperti keluarga. Mereka cukup dekat untuk membicarakan hal-hal pribadi. Sopan santun dan kebijaksanaan Pak Jaka dalam berbicara berhasil membuat keluarga ini merasa nyaman dan tidak sungkan. Dan sedikit banyaknya ... Pak Jaka juga adalah seseorang yang mengetahui banyak rahasia di dalam keluarga kecil tersebut. "Bad." Pak Jaka mengernyitkan keningnya, lalu mengintip ekspresi sang anak majikan dari kaca. Wajah Valerie benar-benar terlihat sedang tak ingin diganggu. Dan pria berusia empat puluh tahun itu tahu bahwa jika sudah begini, artinya lebih baik diam dan tak membicarakan apapun. Karena seperti yang dikatakan Valerie sebelumnya, bad. Sinyal jelas untuk Pak Jaka menutup mulutnya alih-alih berbasa basi. Perjalanan pun berakhir begitu mereka sampai di depan sebuah rumah dengan cat putih. Bangunan bertema klasik modern yang mengusung American house sebagai panutan. Pak Jaka memasukkan mobil ke dalam garasi dan mematikan mesin. Ia lantas menggeser sedikit tubuhnya untuk bisa melihat Valerie dari posisinya sekarang. "Kalau Non Valerie mau cerita, bapak siap mendengarkan," kata Pak Jaka menawarkan. Namun yang dilakukan Valerie hanyalah tersenyum kecil dan membereskan tasnya. Ia kemudian memakai ransel di satu lengannya dan bersiap turun saat akhirnya berkata, "Pak, jangan bilang-bilang Mama sama Papa ya kalau aku suka ke cafe itu." Dan Pak Jaka pun hanya bisa mengangguk patuh. "Iya, Non." Akhirnya Valerie pun turun dari mobil. Matanya menyapu sekeliling. Hanya ada satu mobil hitam di garasi dan itu artinya kedua orang tuanya tidak sedang berada di rumah. Hal ini sudah sering terjadi. Terutama beberapa hari ke belakang, Edwin jarang sekali pulang dengan alasan tuntutan pekerjaan. Bekerja sebagai salah satu dokter spesialis di rumah sakit ternama memaksanya untuk bersikap profesional. Seringkali Edwin dipanggil secara mendadak hanya untuk menangani pasien di ruang IGD. Awalnya Valerie merasa semua baik-baik saja. Sampai akhirnya gadis itu tahu, bahwa ayahnya ... tak selalu pergi ke rumah sakit untuk menangani seorang pasien. "Ma? Pa?" Meski tahu panggilan itu tak akan dijawab oleh siapapun, Valerie masih berusaha mencoba. Ia kemudian mendaratkan bokongnya di atas sofa panjang berwarna abu-abu yang tersedia di ruang tamu. Pandangannya kembali berkeliling. Hanya ada rumah berukuran besar dengan suasana yang sepi. Barang-barang mewah yang bahkan tak memberikan Valerie kebahagiaan. "Eh, Non Val sudah pulang." Kali ini suara Bi Ina lah yang menyambut indera pendengaran gadis itu. Valerie menoleh dan mendapati wanita yang bekerja di rumahnya sebagai asisten rumah tangga itu berlari kecil menghampirinya. "Mau bibi bikinin makanan atau minuman, Non?" Namun, tawaran itu sama sekali tak terdengar menarik di telinga Valerie. "Mama sama Papa belum pulang, Bi?" Dan ekspresi di wajah Bi Ina pun mendadak berubah. Ia tak lagi menampilkan senyum lebar ala iklan pasta gigi di televisi seperti beberapa saat yang lalu. Melainkan wajah gugup dan tak nyaman lah yang kini tampak jelas di sana. Bi Ina menunduk sungkan, sebelum kemudian akhirnya berkata, "Ibu sama bapak tidak akan pulang malam ibu, Non. Tadi titip pesan, kalau misalnya-" "Alasannya kerja lagi?" sela Valerie. Membuat wanita yang usianya tak berbeda jauh dengan Pak Jaka, karena memang mereka adalah sepasang suami istri, itu pun mendongak perlahan. Raut wajahnya sama sekali tidak berubah. Ia tampak sungkan dan ragu-ragu. Namun tentu saja, berbohong pun tak akan menyelesaikan masalahnya. Bi Ina kemudian mengangguk dan berterus terang kepada Valerie. "Ibu harus datang ke pertemuan penting dan bapak, ada pasien, Non." Embusan napas yang panjang pun keluar dari mulut Valerie. Ia kemudian menatap Bi Ina lurus-lurus dan berkata, "Bilang sama mereka ya, Bi. Kalau lain kali mereka titipin aku ke Bibi dengan alasan kerja, aku bakal bongkar semua perselingkuhan busuk mereka. I swear."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD