Part 2_kado mendiang

1112 Words
"Tunggu!" Delano menghentikan langkahnya lalu menatap sang ayah yang tepat berada dibelakangnya. Tidak lupa parasit keluarga Hilton juga ada disamping sang ayah. Siapa lagi kalau bukan! Dera Andrea. Wanita pribumi asli yang sangat cantik. Paras khas wanita indonesia namun sayang Delano tidak menyukai sikap buruknya termasuk kelicikan anaknya. Oh sial! "Ada apa?" Rich melepas tangan Andera yang membelit lengannya,tanpa menatap wanita itu terlebih dahulu Rich segera melangkah mendekati Delano. "kapan kau siap menjadi penerusku?" Delano menyeringai samar-samar ia melihat bibir Andera berdecih. Menarik! Fikirnya. "Maaf dad sepertinya Lano tidak begitu tertarik menjadi penggantimu." Tentu saja jawaban Delano membuat Rich marah. "sampai kapan kau akan seperti ini! Hentikan semuanya Lano! Daddy sudah mempersiapkan semuanya!" "Maaf dad! Perusahaanku lebih membutuhkanku!" "b******n!"  Plak.... Rich melayangkan tamparan keras dipipi Delano. Membuat Delano terkejut setengah mati, ayahnya menamparnya hanya hal kecil? Benarkah ini? "Lano daddy--" "Dan pada ahirnya Lano merasakan apa yang pernah mommy rasakan dad!" ucap Delano dengan nada kecewa. "Lano daddy--"   Delano menepis tangan ayahnya yang akan terulur mengusap pipinya yang memerah. "urus saja keluarga barumu! Lano tidak tertarik." Delano berjalan mendekati Andera.   "dan kau...jaga daddyku baik-baik jika kau berani berselingkuh! Akan aku pastikan hidupmu dan keluargamu hancur." "Lano jaga ucapanmu!!" Teriak Rich. Namun Delano lebih memilih mengabaikan teriakan ayahnya. Sorot matanya tetap fokus pada Andera yang mulai berkeringat mendapat tatapan membunuh dari Delano. "meski daddy sangat mencintaimu." Delano memajukan wajahnya mendekatkan bibirnya tepat ditelinga Andera. "aku akan pastikan jika Leon tidak akan bisa mendapatkan apa-apa dari keluarga Hilton." Delano kembali menegakkan tubuhnya lalu melangkah pergi, mengabaikan ayah dan ibu tirinya yang masih memandangnya dengan tatapan tidak percaya. . . . . . "Huam!" Airin menguap sempurna tanpa tau tata krama dan juga rasa malu, baginya hidup perlu dinikmati,tidak mudah mernyerah pada hidup juga harus tetap kuat bertahan hidup meski didunia ini tidak ada yang menyukainya selain-- "Butet! Lo cari mati ya!" Teman sekolah Airin dulu. Jingga! Airin biasa memanggilnya jigong karena mulut bawel dan juga menyebalkannya! Dengan malas Airin membuka pintu rumahnya. Sial! pintu reotnya membuat Airin harus bersusah payah untuk sekedar membuka, karena jika tidak berhati-hati bisa jatuh pintu reot yang terbuat dari papan kayu. Mengenaskan! Persetan! Karena bagi Airin rumah adalah surga baginya. Karena didalam rumahnya dia bisa seenak hatinya melakukan apapun meski hanya seorang diri Airin suka. "Apaan? Berisik banget kamu!" Jingga masuk menerobos begitu saja tanpa ada rasa iba untuk membantu Airin membetulkan pintunya yanh sedikit miring. Ck. Rumah tua, Maklumlah! Entah kapan uang tabungan Airin cukup untuk membetulkannya. "Rin! Masih kerja dirumah tuan Hilton?" Airin mengangguk sambil melangkah mendekati Jingga yang sudah duduk disofa kayu miliknya. "Iya kenapa?" "Apa kagak ada kerjaan paruh waktu disana?" "Kamu ingin kerja?" "Ho'oh..!! Uang jajan dari ibu kagak cukup buat bayar spp bulan depan Rin! Lo ada duit?" Airin memutar bola matanya malas. "alasan gak masuk akal. Jelas-jelas keluargamu kaya kenapa pinjam uang ke aku. Dan lagi gak mungkin ibumu gak kuat bayar" Jingga hanya nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Sebenarnya spp udah dibayar dua bulan kedepan tapi masalahnya-" "Kamu pakek hura-hura lagi?" Jingga lagi-lagi hanya mengangguk. "Ya udah nanti pulang kerja aku pinjami. Sekarang kamu pulang gih! Aku mau kerja dulu." "Wah songong! Ngusir nih?"kesal Jingga. "Tidak hanya! Mengingatkan!" Airin segera melangkah meninggalkan Jingga begitu saja. Diliriknya jam menunjukkan pukul enam pagi berarti dirinya harus segera mandi dan mengayuh sepedahnya dengan cepat, waktu kerjanya kurang dua jam lagi sedang rumahnya dan tempat kerjanya lumayan jauh mengayuh sepeda membutuhkan waktu empat puluh lima menit. Airin tidak boleh terlambat jika tidak mau gaji bulan ini tidak terpotong lagi oleh-- kumbang ompong.? Seperti dugaan Airin, kumbang ompong sudah berdiri didepan pintu kamar pria itu. Bersetelan rapi dengan wajah yang terlihat masih sangat fress untuk dipandang. Ya meski umurnya sudah tidak bisa dibilang ABG seperti dirinya namun aura ketampanan pewaris satu-satunya Hilton sudah menetap sempurna ditubuh kekarnya namun sayang dibalik kesempurnaannya tersimpan luka yang mendalam, dan lagi kepelitan yang hakiki. Ingat itu kepelitan yang hakiki! Heran ada ya orang tajir melintir kayak dia masih mikirin uang receh. Ckck! bukan lagi pelit mah kalau gitu tapi sudah tergolong kikir. Anyoeng gak tuh! Seperti biasa Airin dengan wajah kesal menghampiri Delano lalu mengucap salam seperti biasa. "Pagi tuan!" Hanya Airin yang berani,yang lain mana berani. Ck! gadis tidak tau diri. Delano menatap sekilas Airin lalu kembali fokus menyilangkan dasinya tanpa cermin. Wauw! ngerasa hebat dia menggunakan dasi tanpa cermin. Airin berdecak kesal lalu melangkah mendekati Delano. "Mau apa lo?"  Otomatis Delano mundur selangkah saat Airin tiba-tiba saja berdiri tepat didepannya. Tanpa banyak bicara lagi, Airin segera meraih dasi Delano, sedikit manariknya hingga membuat kepala Delano tertunduk otomatis tangan Airin leluasa menyilangkan dasi Delano. Aish..!! Macam istri muda saja. "Sudah! Begini saja tuan tidak pernah berhasil." Delano berdecih lalu kembali menegakkan kepalanya. Tangannya meraba darinya lalu berkata."jangan senang dulu. Ini tidak akan membuat gue berubah fikiran!" Airin berdecih. Susah ya kalau berurusan dengan pria pelit macam Delano. "Iya saya tau. Saya telat dua menit kan tuan. Masak tuan tidak memberi kelonggaran meski hanya dua menit." Delano menatap Airin. "meski hanya dua menit bagi gue berharga! " Setelah itu Delano berjalan meninggalkan Airin, namun baru beberapa langkah Delano kembali bergumam. "ingat bersihkan toilet kamar gue." "Lagi dan lagi! Tidak ada perkerjaan lain lagi kah?" gumam Airin kesal. "Bagaimana kalau membersihkan kamar gue saja!" Ini bukan Delano yang menjawab melainkan Leon. Adik tiri Delano, pria yang selalu berhasil membuat Delano geram. Perlahan Delano membalikkan badannya, lalu melangkah mendekati Airin meriah tangan Airin lalu menatap tajam Leon yang berusia jauh dibawahnya. "hanya saya yang bisa memerintah Airin. Dan kamu!" tunjuk Delano tepat didepan wajah Leon. "sebaiknya suruh pembantu lain untuk membersihkan ranjang kamu! Airin bukan wanita yang bisa kamu ajak tidur seenaknya." Leon tertawa sumbang. "ah! ini menyebalkan. Tidak seru." Leon mengerdipkan sebelah matanga kepada Airin.  "Lain kali kita bertemu lagi ya babe.!" Otomatis kerlingan mata genit Leon membuat Airin risi. Sontak tubuhnya bersembunyi tepat dibelakang Delano. Tentu saja ketakutan Airin membuat Delano sedikit curiga, setelah Leon pergi Delano menarik tangan Airin mengajaknya untuk ikut bersamanya, menemui maid kepala yang sudah puluhan tahun berkerja dikediaman Hilton. Siapa lagi kalau bukan nenek Carla, wanita tua yang terlihat masih sangat tegas meski tongkat kayu sudah imut menemani langkahnya. "Nenek! Saya ingin tegaskan jika Airin tidak boleh bekerja selain dibawah kendalu saya." Andera menatap Delano sejenak lalu beralih keAirin. Wanita pribumi yang beberapa tahun lalu dibawa mendiang Erika sebagai kado ulang tahun anak tunggalnya. "Siapa yang berani memerintahnya tuan muda.?" "Leon! Saya tidak suka jika harus berbagi dengan Leon."adunya. Tentu aduan Delano membuat Carla ingin tersenyum. "saya tidak akan pernah mengijinkannya tuan muda." Seketika Delano memeluk Carla. "terimakasi nenek! Jaga kado dari mama untuk saya ini." Bisiknya perlahan membuat Carla mengangguk paham. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD