Pulang

1149 Words
Matahari belum terbangun saat aku memutuskan untuk meninggalkan kota Surabaya. Tempat aku mengenyam pendidikan berpeluh rindu selama tiga tahun terakhir. Barang-barang seadanya sudah aku packing sejak semalam. Begitu bersemangat untuk pulang ke kampung halaman karena sudah memasuki waktu libur perkuliahan. Akhirnya bisa bernapas lega setelah berperang dengan UAS yang cukup menguras isi kepala. Pagi itu aku pulang bersama teman satu kosku. Kami tak membawa banyak barang bawaan karena tak berencana pulang dalam waktu yang lama. Terlebih aku juga harus kembali ke Surabaya untuk menjalani Kuliah Kerja Nyata. Semester akhir rasanya cukup melelahkan. Tidak hanya KKN, aku juga disibukkan dengan peneltian skripsi yang mulai aku rancang. Aku ingin secepatnya menyelesaikan pendidikanku. Namun seperti teman-teman pada umumnya, kerap kali aku merasa putus asa dan terkadang lebih memilih untuk memeluk bantal guling jika sudah merasa lelah dengan skripsi yang membuat pusing. Namun di tengah keputus asaan itu, aku masih bersyukur karena memiliki sosok yang menggerakkanku untuk terus bangkit, bangkit dan bangkit lagi. Tentu saja dia adalah sosok yang kehadirannya selalu aku syukuri setahun terakhir ini. Seseorang yang tidak lama lagi akan menjadi imamku, Rafi Fahrizal. Kami sudah bertunangan semenjak satu tahun yang lalu. Tepatnya ketika aku masih kuliah semester lima. Hal yang sebenarnya tidak pernah masuk dalam planning hidupku untuk bertunangan di usia semuda itu. Sedikit kuceritakan tentang pertunangan kami, awalnya hubungan ini hanya berdasarkan keinginan orang tua. Aku bahkan baru saja mengenal Rafi, yang kemudian lebih akrab kupanggil dengan sebutan mas, saat dia menangani ayahku di rumah sakit. Kebetulan dia adalah seorang dokter di sana. Orang tua kami berteman sangat baik, makanya ketika penyakit jantung ayah kambuh dan harus dirawat, orang tuanya langsung meminta Rafi sendiri yang menangani dan merawat ayah. Selama satu minggu ayah dirawat di rumah sakit dan aku memilih izin libur kuliah karena merasa bertanggung jawab merawat ayah apalagi aku adalah anak pertama. Aku tidak tenang jika hanya mempercayakan pada ibu dan adikku Sherly yang masih remaja SMP. Lagi pula aku tidak akan tenang dan konsentrasi dengan mata kuliah jika pikiranku masih bergelut dengan kondisi kesehatan ayah. Selama satu minggu di rumah sakit, selama itu pula membuatku harus berinteraksi dengan Mas Rafi terkait perkembangan kondisi ayah. Saat itu aku tahu bahwa dia adalah anak dari sahabat keluarga kami. Tapi aku hanya menganggapnya seperti sosok kakak dan menghormatinya sebagai dokter yang menangani ayah. Orang tua Mas Rafi juga tak jarang menjenguk ke rumah sakit. Mungkin saat itulah mereka melihat kedekatan kami bisa dilanjutkan pada sebuah perjodohan. Ya. Pada awalnya aku dan Mas Rafi dijodohkan. Tentu saja aku awalnya keberatan. Bagaimana tidak? Aku dijodohkan dengan orang yang belum aku ketahui latar belakangnya. Perbedaan usia kami bahkan terpaut sekitar sembilan tahun. Tapi tetap saja itu tidak bisa menjadi alasan ampuh untuk menolak perjodohan kami. Dalam hidup aku punya impian besar bahwa aku akan menemukan seseorang yang baik agamanya dan bisa menjadi imamku untuk membuatku lebih taat pada Allah. Hanya itu pertimbangan utamaku sebenarnya dalam memilih pasangan hidup. Dan Mas Rafi? Aku tidak tahu sama sekali sisi keagamaannya seperti apa. Memang secara fisik dia terbilang tampan bahkan secara finansial dia juga mapan karena sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai seorang dokter. Tapi sekali lagi, bukan itu tolak ukurku dalam memilih seseorang. Meski sudah menjelaskan bagaimana metode pengukuranku dalam memilih pasangan hidup pada ayah dan ibu, tetap saja tidak membuat mereka lantas membatalkan perjodohan kami. Bahkan ayah semakin yakin karena merasa aku sudah dewasa dengan memiliki pemikiran seperti itu dan mengatakan bahwa Mas Rafi adalah pasangan yang tepat untukku. Alasan keberatan yang sempat aku ajukan selanjutnya adalah pendidikan. Aku mengatakan masih ingin menyelesaikan kuliah bahkan masih ingin melanjutkan lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Tentu saja alasan itu dengan lebih mudah ditepis oleh ayah. Dia mengatakan bahwa membina hubungan itu tidak akan membuatku diberhentikan untuk mengenyam pendidikan. Bahkan ayah juga yakin laki-laki berpendidikan seperti Mas Rafi juga pasti akan memahami dan mengizinkan jika aku masih ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Intinya hubungan kami tidak akan menghambatku untuk mendapatkan pendidikan. Ayah sudah menjamin itu. Baiklah! Pada akhirnya aku menyerah. Lalu bagaimana dengan Mas Rafi? Aku sendiri tidak tahu pasti apakah dia menerima dengan lapang hati atau sama terpaksanya seperti aku. Pikirku, seorang dokter keren seperti dia mana mungkin belum memiliki calon pasangan sendiri? Melihat tampangnya saja aku yakin pasti banyak perawat di rumah sakit ingin mengambil antrian terdepan jika diadakan open rekrutmen jodoh untuknya. Ditambah lagi dengan otaknya yang juga cemerlang. Aku yakin perempuan mana pun tidak akan menolak. Apakah termasuk aku? Entahlah! Mungkin aku masuk bagian pengecualian. Aku memang tidak tahu pasti tentang pertimbangan Mas Rafi. Tapi yang jelas dia juga diam saja dengan perjodohan kami. Entah itu juga sudah melewati proses perdebatan panjang sebelumnya seperti aku atau tidak. Bahkan saat aku menanyakan tentang hubungan kami secara pribadi, dia hanya mengatakan tidak ada salahnya mencoba untuk membahagiakan orang tua. Jujur hal itu membuatku merasa sebenarnya tidak diinginkan. Ditambah lagi jauh lebih sakit saat aku juga menyadari bahwa statusku hanya mahasiswa dibandingkan dia yang sudah menjadi seorang dokter. Meski pada akhirnya aku tahu bahwa dia tidak pernah bermaksud merendahkan siapapun. Dan pada akhirnya aku tahu pula bahwa dia terlalu baik untuk bisa melakukan hal seperti itu. Oh Tuhan! Dia sangat baik. Tak lama kemudian kami bertunangan. Selama membangun hubungan ini kami lebih menggunakan cara berteman dan itu efektif membuat kami lebih akrab. Belakangan aku tahu bahwa Mas Rafi adalah sosok yang sangat baik. Dia sangat pengertian dalam menghadapi aku yang terkadang masih kekanak-kanakan. Namun tidak selalu dia bersikap lebih dewasa, kadang kala dia juga meladeniku bercanda seperti anak kecil. Bagiku dia sosok yang sempurna. Dia baik, penyayang terutama pada keluarganya, sopan santun, pintar, bertanggung jawab, sedikit pendiam, cukup mandiri dan bisa masak, tidak gengsi membantu siapapun, dan yang terpenting agamanya. Ya. Dia seorang yang taat. Puasa senin kamis serta shalat sunah duha dan tahajjud selalu istiqamah ia laksanakan. Dan setelah mengetahui sisi ketaatannya itulah aku berhenti mengafirmasi penolakanku sendiri. Aku tidak punya alasan lagi untuk tidak setuju. Benar kata ayah, dia bahkan jauh lebih baik dari yang bisa aku perkirakan. Bahkan dia juga memiliki suara yang indah dan terdengar menenangkan saat pernah aku mendengarnya membaca ayat al-Qur’an dan bershalawat. Membuatku meneriakkan tasbih berkali-kali dalam hati. Begitu meneduhkan. Selama satu tahun bertunangan, kami tetap berusaha menjaga interaksi karena kami tahu bagaimana pun juga ikatan kami belum halal. Sejauh ini hubungan kami baik-baik saja meski hanya diawali perjodohan orang tua. Kami sudah bisa saling menerima. Sejak saat itu pula dia menjadi salah satu supporter terbaikku dalam urusan kuliah terlebih di semester akhir ini aku selalu mengeluhkan tugas skripsi dan sebagainya. Mungkin aku terlalu banyak menceritakan tentang dia pada bagian ini. Tapi sungguh itu bagian dari luapan rinduku padanya. Kesibukan kuliahku dan pekerjaannya di rumah sakit membuat kami tidak bisa sering berkomunikasi. Apalagi kami juga harus menjalani long distance relationship karena aku yang menjalani pendidikan di luar kota. Tapi hari ini aku sangat senang karena pulang ke rumah dan bisa bertemu dengan kekasih hatiku itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD