Siskamling

2701 Words
            Siskamling itu berjalan seperti jaga-jaga malam pada umumnya. Ada beberapa bapak yang memang sengaja ikut karena bosan di rumah. Ronda-ronda malam begini lumayan membuat saya merasa lebih mengenal para bapak di sini. Mereka cerita soal keluarga mereka, lalu bahas soal hal-hal acak lainnya. Saya ini ndak tahu apa-apa. Saya belum berkeluarga, jadi saya hanya menggunakan cerita mereka untuk referensi. Pacar saja saya ndak punya, kok malah ikut campur topik bersuami-istri! "Saya ini masih ingin tahu lho, Pak!" Saya nyengir, tersenyum iseng. "Soal apa, Mas Ndalu? Mau tanya soal nikah-nikahan? Silakan..." Saya menggeleng kencang. Saya ndak mau bahas hal yang bukan ranah saya untuk bicara. Saya ini hanya anak bawang. "Bukan soal itu, Pak." "Lah, terus?" Para bapak itu menatap saya seolah mereka sedang mencari tahu jawabannya. Saya mesem, tersenyum penuh rahasia. Ketika masih kecil dulu, saya sering dijuluki mulut berbisa. Mungkin ini keturunan. Simbok juga memiliki kemampuan ini. Kami sama-sama bisa mengajukan pertanyaan yang nyentil pada seseorang. Saya menghela napas dan mulai mengajukan pertanyaan. Pertanyaan mematikan. Menakutkan. Membuat orang merasa jleb-jleb bagai ditusuk ribuan jarum santet. Jadi pertanyaannya adalah... "Kapan kira-kira saya boleh pulang? Saya sudah ngantuk, Pak." Saya bosan dengan cerita yang monoton. Saya ingin cerita yang menggebu seperti dalam adegan film horror. Begini-begini saya juga sering baca cerita seram, pinjam buku di perpustakaan desa. Biasanya yang paling saya favoritkan itu yang sampulnya gambar perempuan seksi. Perempuan yang menutupi tubuhnya dengan baju putih menawan itu, lho! Ah, saya ingin pulang. "Kalau Mas Ndalu sudah ngantuk ya tidur saja toh, Mas! Tapi jangan pulang dulu, lah! Kita baru saja datang." Kita? Kalian saja, saya kan sudah dari tadi ada di sini. Awalnya obrolan seputar kisah-kisah sejarah, seperti peninggalan-peninggalan begitu. Tapi setelah bapak-bapak RT datang, obrolan kami berbelok jadi soal istri dan anak. Jelas saja, mereka kan bapak RT. Bapak Rumah Tangga. "Kalau gitu saya mau keliling dulu ya, Pak! Daripada diam di sini saya ngantuk." Saya berdiri dan melangkah pergi. Saya memutuskan untuk berkeliling seorang diri. Mungkin namanya bukan Siskamling. Namanya Siskamling ya pasti keliling-keliling mengawasi dan menjaga, tapi dari awal sampai akhir kegiatan kami hanya nongkrongi poskamling. Saya melangkah seorang diri menyusuri gang-gang di rumah warga. Di desa saya, banyak sekali ranjau. Ranjau itu berbahaya. Kalau ndak hati-hati, bisa terluka. Salah satu ranjau yang paling berbahaya adalah duri ikan dan ular laut. Ah, itu bukan salah satu, tapi salah dua. Dapat delapan puluh. Saya menyalakan senter dan mulai meneropongi beberapa sudut. Lagak saya sudah seperti petugas razia tempat pelacuran saja. Saya senteri seluruh sudut tempat, bahkan dua kucing yang sedang kawin saja saya ganggu. Pol PP, Pol PP! Malam memang masih belum terlalu larut. Beberapa orang yang ndak kebagian jaga malam sudah bersiap-siap pergi melaut. Mereka memanfaatkan angin darat untuk melaut. Angin ini ada ketika malam hari. Lihat, betapa kerennya Tuhan itu! Duh, Gusti itu luar biasa. Masa mau melaut saja dibuatkan angin darat untuk mempermudah kita melancong. Kata Pak Kampung dulu, "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" Pak Kampung mengatakan ayat itu dalam surat al-quran dengan makna Maha Pemurah. Lihat, lha wong Gusti saja pemurah sekali begitu... kok ya kita pelitnya naudzubillah. Saya melihat-lihat beberapa sudut tempat lagi. Mungkin simbok di rumah sudah tidur jam segini. Simbok saya punya asma. Kalau terlalu dingin, asmanya kambuh. Untungnya saya tinggal di daerah pesisir, jadi panasnya juga luar biasa. Lihat, Gusti itu Maha Adil, toh? Saya masih menyusuri gang-gang sempit di rumah warga. Ranjau-ranjau berupa duri ikan sudah saya lewati. Bahkan saya sempat terjungkal gara-gara jala nelayan yang menghalangi jalan. Ndak, bukan menghalangi jalan, tapi saya memang yang ndlangar. Saya ndak lihat-lihat kalau jalan. Kata simbok, ndak boleh menyalahkan sesuatu karena kesalahan kita sendiri. Kalau tersandung meja, ya masa bilang, "Dasar meja! Untuk apa kamu di situ?" Saya ndak boleh begitu! Malam makin larut dan mencekam. Dulu saya percaya dengan adanya makhluk-makhluk penculik yang aktif tiap maghrib. Seperti yang simbok ceritakan itu, lho! Jangan keluyuran habis maghrib, nanti diculik setan. Untungnya tiap maghrib saya sudah buka lapak di surau, ngaji bersama Pak Kampung. Sungguh, saya ndak takut setan sekarang. Dulu sih iya, tapi sekarang ogah. Saya mengerjap beberapa kali. Perasaan saya tiba-tiba jadi ndak enak. Saya memang ndak takut setan, tapi saya percaya adanya makhluk seperti itu. Makhluk itu ada. Kalau kata orang Jawa, Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Artinya sedikit bicara, banyak kerja. Ah, kok ndak nyambung ini, ya? Pokoknya makhluk seperti itu ada. Kalau di kitab saya sebutannya jin tanpa Jun. Jun itu mas-mas ganteng yang sekarang ndak tahu ada dimana. Ketika saya sedang mencari paribasan alias peribahasa yang pas untuk situasi dan kondisi saya sekarang ini, tiba-tiba suara lolongan anjing membuyarkan lamunan saya. Di desa kami masih ada anjing, banyak malah. Anjing liar begitu. Meski mayoritas orang-orangnya sudah beragama muslim, tapi kami semua menyayangi ciptaan Tuhan. Apapun bentuknya. "Auuuuuu...." Begitu lolongannya, membahana di sekitar saya. Lolongannya terdengar menakutkan dan menyayat. Ini malam jumat. Saya tahu, saya paham. Lolongan itu kembali bersahutan, membahana memecah malam. Suara mereka bersahutan, membuat sebagian perasaan saya yang awalnya adem ayem jadi agak adem sari. Ah, ndak boleh sebut merk! Suara lolongan anjing itu bersahutan dan makin ramai. Mungkin mereka sedang mengadakan rapat terbuka, jadi saling sahut-menyahut menjadi kesatuan nada seriosa begitu. Saya ini bahas apa, ya? Saya merinding. Jiwa senterisasi saya menguap begitu saja. Saya ndak ada minat untuk menyenteri berbagai sudut tempat lainnya. Saya ogah dikata kepo dengan urusan gelap. Saya berhasil melewati ranjau-ranjau berupa kotoran ikan. Orang-orang di sini sering menjemur ikan untuk dibuat ikan asin. Atau kerupuk. Pokoknya kotorannya dibuang dulu begitu, lalu ikannya dibelah dan dijemur. Kenapa saya bahas itu? "Auuuuu...! Guuuk... Guuukkk... Aing!" Ah, yang itu pasti anjingnya bersin di tengah-tengah paduan suaranya. Dia pasti perusuh dan perusak susunan nada! Saya bersiap-siap pergi kalau saja lolongan itu ndak terdengar. Tapi saya salah. Mereka malah makin semangat dan bersahut-sahutan. Beberapa pintu rumah terbuka. Kepala mereka melongok keluar, lalu masuk lagi begitu melihat saya. Mereka memang begitu. Kalau sudah ada yang jaga, mereka ndak mau ikut campur. Lah? Kalau saya diculik setan bagaimana? "Semangat, Mas!" Hanya itu kalimat yang saya dengar dari mereka. Aseeeem! Saya melangkah cepat menuju bapak-bapak yang lain. Saya ndak mau mati konyol sendirian di sini. Kalau sampai ada geng anjing yang sedang tawuran bagaimana? Saya jadi wasit di tengah-tengah, lalu dikeroyok juga? Saya ndak mau begitu. Saya sedikit berlari ke arah poskamling. Tapi poskamling sepi. Bapak-bapak itu sudah ngilang ndak tahu kemana. Saya melongo. Mereka kabur. Saya bisa menyimpulkan kalau mereka kabur adalah dari sandal yang tertinggal, lalu kartu remi yang masih ada di sana. Bahkan mainan monopoli Pak Yu masih ada di sana. Mereka meninggalkan saya. Lolongan itu masih belum berhenti dan terdengar makin menyayat. Saya melangkah cepat, baca-baca doa yang saya bisa. Ayat kursi sudah, An-naas juga sudah, bahkan saya juga sudah membaca doa sebelum makan dan bangun tidur. Saya melangkah seorang diri. Saya harus pulang sekarang. Saya berlari cepat, sendirian. Grussuukkkk... Grusuuukkkk... Kaki saya terhenti seketika. Suara apa itu? Saya takut, tapi saya ndak percaya kalau itu anjing. Ndak ada aura peranjingan di sana, jadi saya ndak ingin percaya itu anjing. Saya berani. Minimal kucing, lah! "Meoooong..." Saya menirukan ucapan kucing. Kalau diartikan, saya sedang nanya, "Siapa itu?". Begitu... Trik ini saya pelajari dari cerita yang dulu simbok ceritakan pada saya. Cerita soal kucing jadi-jadian. Saya memang sering diceritakan soal jadi-jadian. "Siapa di situ?" Saya mengarahkan senter ke arah suara itu. Suara grusak-grusuk itu masih terdengar. Saya merinding hebat. "Siapa?" tanya saya lagi. Sepi. Suara grusukan itu ndak terdengar lagi, tapi saya yakin kalau barangnya masih di sana. Kalau memang itu binatang, dia pasti akan mengeluarkan suara. Saya mulai curiga. Mungkin dia maling ayam! Maling yang selama ini mengganggu ketentraman warga hingga saya harus kena getahnya. "Mau maling, ya?" Kenapa saya bodoh sekali, ya? Kenapa saya wawancara dulu? Saya yakin dia pasti maling. Saya mengendap-endap, meraih batu sebesar genggaman tangan di bawah kaki saya. Saya melangkah lambat-lambat. Lalu saya ingat petuah simbok. "Kalau memang ndak yakin bisa melawan, kamu lari saja!" Saya ragu untuk kembali melangkah. Saya harus melaksanakan petuah simbok. Ndak boleh ya saya ingkar begitu. Daripada ada apa-apa, saya lebih memilih kabur. "Kamu pasti maling!" tebak saya yakin. "Ta... Tapi saya ndak ada waktu untuk nangkap kamu, jadi saya pulang dulu!" Saya berbalik dan berlari kencang. Suara lolongan anjing ndak terdengar lagi, bahkan sudah berganti jadi gonggongan. Saya harus segera pulang Ketika saya sampai di depan pintu rumah, simbok rupanya sudah menyambut saya. Begitu saya masuk, simbok menutup pintu rumah. Napas saya sudah ngos-ngosan. Saya ndak tahu cerita dari mana ini. "Kok tumben Simbok belum tidur?" tanya saya cepat. "Mana mungkin Simbok tidur kalau anak belum pulang?" Simbok merengut ndak terima karena ditanya tumben belum tidur. "Kenapa kamu lari-larian?" Saya siap menjelaskan. Saya dicurangi, saya dikhianati. Saya ditinggalkan. Saya bercerita panjang lebar soal kejadian tadi. Soal grusukan yang saya temukan juga. Simbok melongo dan menepuk bahu saya. "Mau didongengi sesuatu, ndak?" Saya mengerjap. "Ada hubungannya sama kejadian tadi ndak, Mbok?" Simbok mengangguk cepat. Saya menunggu cerita simbok. Biasanya simbok ini senang sekali cerita kalau soal yang seram-seram. Dulu saya mengira simbok ini berbakat sebagai penulis film horor. Agar horornya Indonesia bisa lebih mencekam, bukan m***m. Saya nyengir lagi. Simbok duduk di depan saya dan berdehem. "Simbok mau cerita. Dengarkan..." Saya mengangguk. Itu prolog yang selalu simbok katakan. Ah, saya juga tahu istilah prolog itu gara-gara baca kiat-kiat mengarang cerita. Prolog adalah awalan. 'Pro' itu singkatan profesional, lalu 'log' singkatan dialog. Jadi dialog profesional. Eh? Bukan, bukan! Prolog itu sebuah bab pembuka sebelum masuk ke cerita. Tolong jangan dibuat serius apapun yang saya katakan. Percaya itu ya ke Tuhan, bukan ke saya. Namanya musyrik nanti kalau percaya saya! Ah, saya ngaca dulu saja! "Kamu sudah tahu bagaimana kisah siluman anjing di desa ini, kan?" Saya mengangguk dan berbisik pelan, "Pak Kampung sering cerita itu ketika Ndalu masih kecil dulu, Mbok." "Kamu percaya?" Saya percaya? Saya percaya kalau setan itu ada, tapi kalau menganggap kejadian ini adalah ulah siluman anjing, saya kok ya ragu. Untuk apa siluman anjing kembali setelah sekian tahun ditolak lamarannya? Lah, katanya juga dia sudah meninggal. Bahkan kuburannya juga masih ada. Dulu sih ada isu kalau kuburan baru harus ditunggui. Alasannya adalah karena selalu ada yang nggali. Entah manusia kurang kerjaan atau ulah binatang buas, tapi karena itulah desa saya heboh dulu. "Tapi ya masa siluman anjing datang ke desa kita, Mbok?" "Kan memang asalnya dari sini, Ndalu." "Dia mau ngapain ya, Mbok? Masa iya mau cari jodoh!" Simbok menatap saya, lalu mengerjap setelahnya. Wajah keriput beliau membuat saya trenyuh seketika. Duh, kalau bisa saya ingin membuat simbok saya terus sehat. Tapi kesehatan itu tergantung dari simbok sendiri dan juga kuasa Tuhan. "Siluman itu memang benar-benar ada. Kamu percaya soal azab?" Saya mengangguk. "Percaya jin?" "Itu memang ada, Mbok. Dulu mereka yang jadi pelayan nabi Sulaiman." "Betul, Ndalu. Jadi kalau memang dia datang mengganggu desa kita, apa kamu percaya?" Ini dunia fantasi, ya? "Tapi Ndalu masih bingung, Mbok. Kalau memang ulah makhluk ndak kasat mata begitu, harusnya diam-diam saja. Ndak perlu sampai gembar-gembor. Masa iya kabar-kabari kalau mau datang? Ndak takut apa kalau tiba-tiba dia diburu jamaah sama warga?" Manusia itu kepoan tahu, ndak? Setan saja diwawancarai! Itu yang kerasukan itu! Kok ya masih sempat-sempatnya kepo ke dunia lain, lah dunianya sendiri saja diabaikan dan ndak diurusi. "Simbok ada tips." Nah, simbok saya ini kekinian orangnya! Kami ndak pernah bermain dengan internet karena sinyal internet susah. Sinyal memang ada, namun sebatas kartu-kartu tertentu saja. Siaran televisi alhamdulillah masih lumayan. Sekarang sudah zamannya TV kabel, jadi kami ndak perlu putar-putar antena untuk cari channel. Saya? Saya tahu dari mana? Saya ini Ndalu Subuh. Saya malam dan subuh. Saya suka membaca. Kata orang, membaca adalah jendela dunia. Ajining raga saka busana, ajining diri saka lathi. Seseorang dilihat raganya dari busana, tetapi kepribadiannya dilihat dari mulutnya. Apa yang dia ucapkan. Kok ini lama-lama jadi ndak nyambung, ya? "Tips apa, Mbok?" Saya kembali fokus dengan ucapan simbok sebelumnya. Simbok tersenyum, lalu menepuk bahu saya. Biasanya itu gestur simbok kalau sedang mencoba meyakinkan saya. Jadi apapun ceritanya nanti, saya ndak akan diizinkan untuk tertawa. "Tips mengetahui itu siluman anjing atau bukan." Saya menelan ludah gugup. "Pertama-tama, gunakan mata." Simbok menatap saya serius. "Kalau bulan sedang bersinar terang dan tertutupi awan hitam, maka hati-hati!" Saya mengangguk. "Kedua, pakai telinga. Biasanya siluman anjing itu suka undang-undang teman yang lain, jadi mereka pasti akan ribut. Lolongan dan gonggongan anjing akan terdengar, bersahutan." Lihat, simbok saya begitu ekspresif ketika bercerita! "Lalu yang ketiga..." Simbok menarik napas, bersiap mengatakan sesuatu pada saya. "Gunakan hidung. Kalau ada bau daging, maka itu artinya dia ada." Saya mulai penasaran. "Kalau ada keluarga yang kebetulan masak daging bagaimana, Mbok?" Simbok tersenyum, lalu menatap lagi. Saya tahu maksud tatapan itu. Simbok selalu penuh dengan rahasia dan juga kejutan. Biasanya kalau cerita, simbok melakukan plot twisting. Jadi membalik alurnya, atau menjadikan alurnya berubah tiba-tiba. Pokoknya yang sekiranya ndak bisa ditebak begitu. Saya pernah baca istilah itu di buku kiat-kiat mengarang pokoknya. "Ada tanda-tanda lain." Saya menelan ludah. "Ada suara grusak-grusuk." Sebenarnya sejak awal simbok bercerita, saya sudah mencoba mencocokkan kejadian-kejadian yang menimpa saya. Misalnya soal grusak-grusuk, lalu lolongan anjing, lalu bau... tadi saya memang ada di daerah duri ikan, tapi saya juga mencium aroma daging. Kalau memang ada warga yang masak daging, tapi kok ya malam-malam? Mereka bukannya sudah tidur? Kok ini jadi scene film horor? Percaya atau ndak, saya mulai yakin dengan satu hal. Saya memang ada di lingkungan dan wilayah siluman anjing tadi. Pasti! Lalu suara grusukan itu pasti siluman! Padahal saya kan sudah me-meong-meongkan diri sendiri tadi. Saya yakin kalau anjing dan kucing itu di dunia nyata bisa berteman, tapi di kartun dibuat bertengkar. Makanya ketika saya bilang meong-meong, dia ndak balas menggonggong. Malam itu saya ndak berani tidur sendiri. Saya tidur bersama simbok, nempel gitu minta kelon. *** Keesokan harinya, saya bertemu dengan bapak-bapak yang semalam. Saya masih bete tahu, ndak? Saya ini juga bisa kesal setengah mati karena adanya pengkhianatan itu. Jangan karena saya lebih muda, saya bisa ditinggalkan dan diam saja begini! "Semalam kenapa saya ditinggal toh, Pak?" Mereka menatap saya dengan tatapan bersalah. Sudah terlanjur! Terlanjur kalian begitu! Sekarang saya jadi penakut. Saya yang dulu-dulu hanya percaya setan itu menghantui anak kecil, akhirnya setelah besar begini malah jadi takut. Saya yang dulu santai-santai saja ketika pergi malam-malam, sekarang jadi ndak berani lagi! "Apa yang terjadi semalam, Mas?" "Kalian ninggalin saya." "Kami takut, Mas. Ya kami pulang. Merinding-merinding gitu, lho!" "Tapi saya kan lagi keliling, Pak. Ndak ada yang beritahu saya untuk pulang." "Kami ndak berani nyusul Mas Ndalu." Saya masih kesal. Meski begitu, saya ndak berani memarahi para bapak itu. Mereka lebih tua daripada saya. Saya ini anak muda, jadi harus tahu menghormati yang lebih tua. Harus tahu tata krama, meski saya ingin sekali mengadili bapak ini satu-persatu. Saya bekerja lagi seperti biasa. Menghitung jumlah ikan yang masuk hari itu, lalu membantu memasukkan ikan-ikan itu di atas pick up. Saya ini kuat, lho meski badan saya kurus. Saya kurus, tapi p****t saya semok berisi. Orang Madura mengatakan begitu. Semok. b****g besar dan seksi tanpa suntikan fermipan. Ndak tahu fermipan? Fermipan itu ragi pengembang kue. Murah meriah. Saya juga lumayan ganteng. Hidung saya mancung ala mas-mas Jawa. Kulit saya coklat karena kebanyakan berjemur di pantai. Rambut saya agak ikal, tapi ndak kriwil-kriwil sekali. Ada tahi lalat tipis di atas bibir saya, di pojok kiri. Lihat, saya manis, kan? Ganteng? Tapi sayangnya saya ndak tahu kenapa saya masih jomblo. Atau mungkin karena saya miskin? Akhirnya di malam-malam siskamling saya selanjutnya, saya mengalami hal itu lagi. Hal yang disebutkan simbok dalam tipsnya itu, lho! Saya melihat bulan sedang galau karena tertutupi awan hitam. Lalu ada lolongan anjing. Ndak tahu itu anjing orang atau anjing liar, tapi suaranya mengganggu sekali. Dan bau daging! "Pak, bau daging ndak, Pak?" tanya saya cepat. Para bapak itu menggeleng. "Mas Ndalu lapar, ya?" Saya yakin kalau saya benar-benar mencium bau daging. Bapak-bapak lainnya menggeleng dan mengatakan ndak mencium bau apa-apa. Saya benar-benar ndak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Mungkin hidung saya yang bermasalah? "Sungguhan Bapak ndak mencium aroma daging?" Mereka menggeleng lagi. Fix, saya yakin kalau siluman anjing itu ada! Saya sudah mencium bau daging itu berdasarkan petunjuk simbok, jadi sekarang bagaimana? Saya diam saja. Saya hanya harus menunggu hingga diperbolehkan pulang. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD